Thats How I Always Showed Up Infront of His Room

3.6K 104 13
                                    

DISCLAIMER:
Finally I made an R rated story,
.
YES, THIS IS R RATED STORY WITH MATURE CONTENT, EXPLICIT CONTENT AND SHOULD BE READ BY READERS ABOVE 18.
PLEASE BE WISE.
.
ENJOY
.
mars





*






0812xxxxxxxx
Test



That's how he texted me. No apropriate hellos, salam, or whichever formal casual opening for a text. His number never been saved. Actually, aku pernah menyimpannya beberapa tahun yang lalu dengan nama panjang lengkap dengan rumah produksi kecil asuhannya.

Oh, tunggu. Sebelumnya bahkan aku menyimpan namanya beserta almamater juga jurusannya, karena penghubung kami pun adalah teman kuliahnya dulu.

Tentu saja aku ingat kapan kita bertemu, aku belum setua itu untuk lupa kejadian beberapa tahun lalu. Pertemuan kami casual, sangat casual dengan latar belakang kebutuhan professional, seorang fotografer dan seorang brand manager.

"Call me, Al."

"Laz."

But sadly, the casualities could never hide the dark intention between those eyes, his eyes, and my eyes.

By these simple mesages, thats how I always showed up infront of his door. Menarik nafas panjang bersiap memaki diri sendiri, namun tetap kutarik pintu itu dengan akses yang telah diberikan resepsionis padaku. Mendapati ia santai menyambutku dengan bathrobe yang dikenakannya asal, memperlihatkan tubuhnya yang umm, let me tell you, it's not sixpack which turn you on, but hot body is, the packs just a bonus. I mean, he's hot, at most time.

"You come," sambutnya meledek seperti biasa, sudah bisa menebak akhirnya aku datang sekeras apapun ku mengelak.

Harusnya aku kembali saja, masih sempat untuk putar balik, Al.

Ia mengamit tanganku. Menarikku tersudut antara tembok dan dirinya, "Bercanda, Al. What's with sulky mood?"

"Hngg?" ia menarik ujung alisnya, kembali meledek.

Aish. Belum sempat aku mengeluh, bibirnya telah mendarat di bibirku. Menanamkan ciuman singkat.

"Kangen nggak?"

"Quite talker, huh?" aku menarik kerah bathrobenya, menciumnya lebih dalam. Tangannya menelusuri pinggangku.

Ia mengangkat tubuhku ketika pagutannya mencapai leher kemudian berbisik. "See its easier when you're not playin hard, Al."

"Lo banyak omong, Laz."

"Dan lo banyak pertimbangan," sekarang aku kembali terhimpit, kali ini antara kingsize bed dan lagi lagi tubuhnya. Kembali tersenyum sinis menggoda, ia menatapku.

Aku, menahan nafas agar tidak terlihat tergoda, menantangnya,  "Jadi nggak ini? Atau gue balik?"

Ikut memberi tatapan menantang, aku menahan dada telanjangnya semakin maju.

Masih menatapku, ia malah memberi jeda pada gerakannya, kemudian menelusuri dengan jari pada dada, perut, setelah perut.

"Laz, serius."

Jarinya masih meraba, membuka kancing bawahanku, meringsek masuk memisahkan batas kain atara kulitku dengan jarinya.

Aku terpejam keras menahan sensasi dingin tangannya sekaligus menyenangkan atas sentuhannya. Tarian jemarinya di kedalamanku adalah satu dari sekian banyak keahliannya.

Tubuhnya kembali mendekat, tanpa menghentikan gerakan apapun dari salah satu tangannya, mendekatkan telinga pada bibirku, seolah menanyakan pendapatku.

"You know I hate you."

"Gue juga kangen, Al. Sama," bisiknya lalu menciumi bahuku dan seterusnya.

"You just missed anytouch, not me," sempat-sempatnya aku mendebat saat tanganku sibuk melucuti kancing kemejaku, ciumannya menuju dadaku, dan jarinya makin bergerak cepat di kedalamanku. "Awwh, pelan pelan," aku mengeluh sekaligus melenguh.

Ia makin mempercepat.

"Laz, hei," aku menggeliat dalam dilema untuk memohon ia memelankan gerakannya, namun sekaligus menyukai kecepatannya.

"Laz, please,"

"Laz—"

Seiring dengan pelepasanku, ia merebah di sampingku. Secara otomatis aku gantian merubah posisi menghadapnya, memberikan gestur berjalan pada jari jariku menuju ke bawahannya, melepasnya pelan pelan, menggenggam miliknya menaik turunkan dengan genggamanku.

"Well, anytouch tuh bisa gue tetep dapatin anytime, Al."

Seriously? Aku memandangnya memastikan.

Surprisingly, I'm not surprised. Tentu saja ia masih melakukannya, habit tidak akan mudah dirubah. Namun dengan statusnya saat ini ia masih seperti itu. Oh, harusnya aku tidak terkejut mengingat reputasinya.

Aku bangkit sedikit dari posisiku, menenggelamkan miliknya dalam mulut sampai menuju tenggorokanku.

"Tapi sama lo tuh be... da..  Al," kalimatnya terjeda oleh kegiatanku.

"Al."

"Sensasi lo... tuh..." dalam naik turun sesapanku pada dirinya, ia yang sempat-sempatnya berdialog membuatku menaikkan ritme.

"Beda," lanjutnya.

Sambil melepasnya, Laz memeluk pinggangku. Nafas kami naik turun. Dan jantungku, berdebar semakin cepat.

"Sensasi gimana kita saling kenal tapi seolah nggak ada apapun. Gimana kita ada di sirkel yang sama tanpa merusak apapun. Being professional as is," ia kembali merebahkanku, kembali pada posisi menindihku. Tanganku dikekang dengan genggamannya, di samping kepalaku.

"Adrenalin rush," sahutku.

Dalam hubungan saling berkeuntungan, hubungan kami, atau hubungan apapun antara ia bersama lawan jenis lainnya, ada satu aturan yang katanya dipatuhinya selama bertahun tahun,

"No business related, or school related, totaly stranger," katanya padaku pada sentuhan pertama kami.  "Gila, gue gak pernah kepikiran, sama lo. You're my client. And we've graduated from same uni."

Setengah sadar akibat pengaruh martini pada after party project pertama kami, serta sentuhan yang membawaku berakhir di kamarnya untuk pertama kali, aku hanya berkomentar pelan, "Lo yang gila."

"Can I trust you, miss?"

Sebab seseorang yang saling mengenal dalam hubungan seperti ini, menimbulkan kerumitan sendiri, terutama pada kepercayaan, sekaligus profesionalisme.

Aku waktu itu hanya mengangguk pelan. Tidak sadar bahwa anggukanku membawa kami dalam tahun penuh adrenalin dalam tiap pertemuannya.

"Adrenalin rush yang nggak bisa gue tampik, tapi nagih," sahutku sekali lagi, disusul miliknya yang masuk ke kedalamanku dengan hentakan yang membuatku gila.

*

BLUEBERRY   Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang