Should Shouldn't

527 33 5
                                    


Aku jadi ingin bertanya pada Laz, kapan tepatnya perasaan itu hilang. Apakah benar habis tak bersisa atau sebetulnya tidak pernah ada rasa apapun di antara mereka. Apa semua yang pernah aku duga-duga bahwa ia akhirnya bisa jatuh mencinta hanya pura pura saja.

Belakangan ini Laz mengeluh dengan frekuensi lebih banyak dari semua keluhan di hidupnya. Aku perlahan lupa pada ia yang dulu selalu menyempatkan diri menelepon istrinya sepulang kerja atau apapun. Laz yang dulu kuingat selalu memfoto apapun kegiatannya untuk dikirim ke Clarin. Sekarang, bahkan kini dering ponselnya tidak ia hiraukan, ia lebih memilih mengetik revisi anggaran proyek sembari sesekali mengumpat dibanding mengangkatnya.

"Cuk! Lapo nyatut tandatanganku lek nggak nggenah ngene*," ketika akhirnya ia mengangkat ponselnya, ponsel lain yang berisi kontak bisnisnya, aku hanya memandangnya sejenak kemudian kembali pada tablet dan sederet desain untuk studio seni.

(*Ngapain catut tanda tanganku kalo gak bener gini.)

Aku memandangnya sesekali sambil memakan kentang goreng yang sudah tak renyah. Ia masih mengumpat dengan sisa-sisa kemampuan Jawa Timuran hasil kuliahnya dulu. Sesekali mengusap kepalaku. Sesekali berbisik apa aku bosan atau mau memesan makanan.

Sejujurnya akupun tidak lapar. Ia harusnya tau apa yang ingin kumakan daritadi.

Ponsel pribadinya masih bergetar membuatku tergerak ingin mengangkatnya saja dan bilang kalau ia sedang tidak ingin diganggu. Namun Laz secara mandiri menolak panggilan serta mematikan ponsel dengan santainya. Padahal kontak bertuliskan 'Bojo' itu telah menelepon belasan kali.

"Gue udah bilang Clarin gue lembur, tadi udah gue telpon kok," Laz memahami pandangku penuh tanya. Sambungan bisnisnya telah dimatikan, berganti ia memproses memadamkan laptopnya.

Pernyataannya tak salah, ia memang lembur di kantornya.

"Bener udah ga laper?"

"Balik aja yuk."

"Sorry ya lama, gue jadi gaenak ninggal lo kerja. Gue kira lo lama kelarnya," sambutnya sambil menutup layar laptop, menyajikan wajahku di hadapannya yang tertopang dagu sedikit bosan.

"Ya ternyata arsiteknya udah ngerti mau gue gimana, tektokannya udah gampang."

Aku sedang dalam agenda untuk memugar studio tari yang kukordinir bersama Tante satu tahun terakhir, Tan Mona.

Omong-omong, tari ialah, sebut saja, hobbyku sejak aku sekolah dasar. Aku diperkenalkan pada sampur* dalam pagelaran tari remo komunal di balai ibukota Jawa Timur di tahun ketiga sekolah dasar. Aku yang cenderung ringkih akhirnya jatuh cinta pada gerak mengikuti irama gamelan. Hingga sekarang, apapun bentuk tari, apapun musik pengiringnya, ialah caraku menuangkan emosi dalam diriku.

Tante adalah professional dancer sekaligus akademisi di bidang seni tari khususnya dalam penciptaan tari kontemporer. Kesamaan kegemaran membuat kami bertemu dalam misi relawan pengajar seni ke siswa sekolah dasar. Dengan Alfa yang selalu membersamai kegiatan sosialku, (ya, Alfa selalu ikut dalam aneka pertemuan sosialku, tentu sepanjang menguntungkannya), akhirnya kami menemukan beberapa teman-teman lain dengan visi yang sama.

Tadinya kami mendesain gedung tiga lantai tempat studio Tan Mona berada, bersama untuk menjadi one stop service community, mulai dari LBH, pojok kreatif, hingga lifestyle and wellness center sesuai dengan profesi masing-masing pada lingkaran yang tadinya kukira sahabat.

Namun bermula dari kepergian Alfa, satu persatu anggota memilih mundur dari inisiasi. Bagaimanapun, Alfa selalu didapuk menjadi pemimpin tak resmi dari komplotan kami, ia adalah man of wisdom yang sedikit banyak selalu punya nasihat pada setiap permasalahan seperempat hidup kami, dulu.

BLUEBERRY   Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang