Part 7.| Murka.

10 9 0
                                    

"RANDA!"

"RORA!"

Seperti teletubis, aku dan Miranda--Sahabat kecilku itu--berpelukan sangat erat.

Kini, kami sedang berada di taman bunga mawar yang berada dibelakang istana utama.

Aku dan Miranda memang janjian untuk bertemu disini.

Ada satu bangku taman yang panjang disana, tepat didepan pancuran yang cukup besar.

Dengan malam yang dipenuhi bintang dan dihiasi satu bulan purnama. Aku dan Miranda duduk berdampingan dibangku taman.

"Bagaimana kabarmu, Rora? Sudah lama aku tidak menemui sahabat kecilku ini!" Seru Miranda, sembari mencubit-cubit kedua pipiku. Ini memang sudah menjadi kebiasaan nya dari kecil. Agak aneh memang.

"Kabarku baik, Randa. Aku sangat merindukanmu, kau tau?" Balasku, sambil menariknya kedalam pelukanku.

Mendengar itu, Miranda tertawa. "Haha, iya iya. Aku juga sangatttt merindukanmu! Sudah 1 tahun lebih kita tidak bertemukan?"

Aku mengangguk.

Cukup lama kami larut dalam obrolan singkat. Sampai obrolan kami harus terputus karna Miranda yang sudah mengantuk.

"Hoaammmm, sudah terlalu malam, Rora. Aku juga sangat lelah. Kita akhiri dulu pertemuan kita. Oke?" Aku mengangguk.

"Baiklah, jika kau meminta nya. Selamat malam, Miranda." Miranda mengangguk.

"Selamat malam juga, Rora."

Kami pun berpisah, Randa yang berjalan menuju kedalam istana utama. Dan aku yang berjalan menuju istana milikku.

Saat diperjalanan menuju istanaku, tiba-tiba saja Eric menghadangku.

Aku segera menghindarinya, tidak ingin berurusan lagi dengan dirinya.

Tapi dengan tidak sopannya, Eric memegang pergelangan tangan kanan ku.

"Rora! Tunggu dulu! Aku ingin bicara denganmu!" Tidakku hiraukan lagi panggilannya, segeraku hentakkan tangannya yang memegang pergelangan tangan kananku.

Tapi, bukan nya dilepaskan. Eric malah menarikku kedalam pelukannya.

Tentu saja aku memberontak. Jika ada yang melihat, mungkin mereka akan berpikiran yang tidak-tidak.

"Eric! Lepaskan! Aku ingin kekamarku!" Eric tetap saja memelukku dengan erat.

Ku injak kaki Kanan Eric dengan kerasnya, tetapi tetap saja Eric tidak mau melepaskannya.

Hingga satu suara membuat dia melepaskan pelukannya.

"Pangeran Eric. Perhatikan perilakumu! Apakah pantas kau memeluk seorang yang mulia Ratu seperti itu? Bahkan Rora sudah memiliki suami!"

Areez.

Ya, dia Areez.

Karna aku merasakan pelukan itu mengendur, aku segera berlari berlindung dibelakang tubuh Areez.

"Kau tidak perlu ikut campur!" Sentak Eric. Areez tersenyum sinis.

"Tidak ikut campur? Benarkah? Rora adalah istriku. Jadi aku berhak marah karna ada yang memeluknya!"

Kulirik wajah Areez yang terlihat murka. Entah karena apa dia bisa seperti itu. Yang pasti, kini keduanya sedang melemparkan aura permusuhan.

"Iya. Kau suami Rora. Tapi kau sudah merebut Rora dariku!"

"Cukup!" segera ku hadang Eric yang ingin mendekati Areez dengan pedang tajamnya.

Ku tatap mata Eric dengan tatapan tajam. "Bisa tidak kau tidak mengganggu kehidupanku? Aku sudah memutuskan untuk tidak berurusan denganmu lagi! Camkan itu!"

"Rora, kau tau kan? Aku mencintaimu--"

"Dan aku tidak mencintaimu lagi!" kutarik pergelangan tangan kanan Areez.

Sebelum mengajak Areez pergi, Kutatap kembali Eric dengan tatapan yang semakin tajam.

"Ingat baik-baik! Mulai detik ini, aku sudah tidak ingin melihat wajahmu lagi! Ingat itu baik-baik!"

Setelah mengatakan itu, segera ku pergi dengan tangan kiriku yang menggengam tangan kanan Areez.

Tidak kupedulikan lagi keadaan Eric.

Sudah cukup dengan semuanya.

Samar-samar, kudengar Eric berteriak sangat keras.

"RORA! AKU MENCINTAIMU! TOLONG KEMBALI RORA! AKU TIDAK BISA KEHILANGAN DIRIMU!"

Tidak waras!

Sudah tahu aku mempunyai suami, dia tetap saja mengharapkanku.

Idiot.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Waoowwww! Si Eric cinta mati sama Rora guys ternyata! gak nyangka ya? Sama, aku juga gak nyangka:)

See you next part!

Babayyy!

Otw ramadhan chekkk! ❤🙏🏻

King Of The Queen Fantasy (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang