Trigger warning: ada keputusasaan, overthinking, maki-makian, mungkin ada beberapa yang relate sama kehidupan, pokoknya kalau baca part ini hati-hati ya. Yang gampang overthinking mohon jangan ikut-ikutan.
...
You know he loves you and you loves him. But your prestige... But finally you confess it.
...
Satu minggu kemudian, 22 April 2007
Kondisi Ahsan masih stabil, belum ada tanda-tanda yang semakin parah. Namun ia lebih sering melamun dan menatap ke arah luar jendela ruang rawat. Dengan telaten Hendra, Bona, serta Tantowi mengajak Ahsan bercanda ataupun mengobrol ringan, namun hanya dibalas senyuman atau anggukan oleh Ahsan. Mereka maklum, Ahsan belum sepenuhnya pulih baik mental maupun fisik. Untuk memarahipun mereka segan.
Pada malam hari, Ahsan sering sesekali mengerang kesakitan dibagian kepala, tapi akan selalu kembali stabil 5 menit kemudian. Hendra yang tau Ahsan begitu tak rela meninggalkan Ahsan sendirian di malam hari.
"Ahsan, mau tidur?" Yang ditanya hanya mengangguk. Hendra lalu duduk di tepi ranjang untuk menatap Ahsan lebih dekat. "Mau tidur ke kamar mandi dulu yuk? Kita bersihin badan Ahsan dulu." Ahsan hanya menggeleng. Hendra tersenyum, lalu mengenggam tangan Ahsan yang terpasang alat infus dengan lembut. "Nanti, kalo Ahsan ga bersihin badan ga cepet pulang lho. Mau cepet pulang kan?" Ahsan mengangkat kepalanya, "Mau. Ahsan mau pulang aja. Tapi sama koko." Hendra terkekeh gemas. "Makanya, kitaa bersihin badan dulu, nanti pulang sama saya kok." Ahsan tiba-tiba saja berbinar dan mengangguk semangat.
Setelah bersih-bersih badan, Ahsan kembali terduduk di ranjangnya sementara Hendra kembali berkutat pada laptopnya untuk menyelesaikan proposal skripsi yang banyak revisi setelah bimbingan.
"Koh."
"Hm? Kenapa?"
"Orang-orang kenapa hidupnya pada tenang ya?"
"Karna gaada masalah hidup? Maksudnya, masalah hidup mereka ga sebanyak orang lain."
"Hahaha" Ahsan tertawa sedih. Kemudian menoleh kembali keluar jendela. Hendra menyingkirkan laptopnya dan fokus terhadap penuturan Ahsan.
"Kalo disuruh milih, Ahsan milih gaperlu ditemuin kemarin."
Hendra tersentak. Pikiran Ahsan kenapa begini?
"Ahsan kok mikirnya gitu??" Hendra masih mencoba sekalem yang ia bisa dan tidak menunjukkan ekspresi panik, takut pikiran yang tidak-tidak muncul di kepala Ahsan.
"Ahsan capek. Ahsan udah—"
"— kotor koh!!" Ucap Ahsan dengan penekanan sembari menoleh pada Hendra yang tak sadar tetesan air mata telah mengalir di pipinya. Hendra buru-buru memeluk Ahsan sembari menenangkannya. "Ssstt, gaboleh ngomong gitu. Kamu boleh capek tapi jangan berhenti semangat ya, San?" Ucap Hendra sembari mengecup pucuk kepala Ahsan, mendekapnya, membiarkan Ahsan menangis di dadanya dengan keras. Menumpahkan segala emosi yang ia pendam selama ini.
"San, lihat saya." Didekapnya pipi milik Ahsan untuk menatapnya. "Saya ga peduli kamu masih suci atau ngga atau udah kotor kaya yang kamu bilang. Saya ga peduli. Saya cuma peduli sama Ahsan karna saya mau di sisi Ahsan terus, mau lindungin Ahsan."
"Karna apa? Buat apa koko ngelindungin Ahsan yang udah kotor, suka nangis kaya gini, sama mental ga stabil?? Ahsan gamau koko repot-repot peduliin orang kaya Ahsan. Ahsan cuma bisa bikin koko susah. Ahsan udah kotor koh, udah ga bener." Tangis dan racauan Ahsan membuat Hendra sakit. Sakit mendengar penuturan orang yang ia sayangi seperti putus asa dan menyalahkan dirinya sendiri. Tapi, ia harus tetap senetral dan tak terbawa suasana bukan?
![](https://img.wattpad.com/cover/279576864-288-k362727.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
WE - Story of Hendra/Ahsan
Художественная проза"awalnya coba-coba, tapi lama-lama jadi sayang." Jelas Hendra yang asal nyeplos. "gatau ya, tadinya biasa aja tapi kelamaan ya mikir ini orang mukanya lempeng tapi perhatian banget. ya lama-lama luluh lah wkwk." Jelas Ahsan saat diinterogasi temanny...