"Bagaimana ceritanya kamu diantar pulang oleh Mark Lee tadi malam?!" teror Jaemin pada Donghyuck yang masih berbalut selimut di ranjangnya.
Sahabat sekaligus teman satu asrama Donghyuck itu sudah tidak sabar menunggunya bangun untuk menjelaskan pemandangan yang ia saksikan semalam.
Betul, Jaemin yang kemarin tidak bisa tidur akibat Donghyuck tak kunjung pulang setelah pertengkaran dengan Ayahnya itu, memutuskan untuk menunggu di depan gedung asrama. Baru saja Jaemin ingin menghubungi polisi untuk melaporkan temannya yang hilang, ia lihat ada sebuah mobil hitam mendekatinya. Pemuda yang khawatir itu lekas pergi dan bersembunyi di balik tembok, ia takut jika itu merupakan mobil penjaga asramanya.
Ternyata orang yang ia tunggu sedaritadi keluar dari sana, seorang pemuda lain dari sisi pengemudi juga ikut turun untuk menyaksikan sahabatnya benar masuk ke dalam asrama. Jaemin menebak jika sosok itu adalah Mark Lee, kakak Jeno. Betapa kagumnya Jaemin melihat paras rupawan dari target makcomblang-nya kelak. Lalu kini, pemuda yang penasaran setengah mati itu membangunkan Donghyuck paksa untuk memberinya penjelasan.
"Aku lihat dia berikan senyuman paling tulus dan juga rapuh selama memandangimu masuk asrama dari belakang. Wah, aku bisa gila! Bukan hanya jam tangannya saja yang R*lex, mobilnya juga BWM!" ujar Jaemin memukuli bokong Donghyuck.
Orang yang berhutang cerita hanya menyeringai, masih memejamkan matanya. Jaemin tak sabar lagi, ia guncang tubuh Donghyuck sampai temannya itu mau tidak mau bangkit dari tidurnya. Pemuda yang rambutnya berantakan akibat tidur nyenyaknya semalam akhirnya menceritakan semuanya kepada Jaemin, kecuali tentang apa yang 'hampir' terjadi sebelum hujan turun malam itu.
"Jelas sekali kalian saling jatuh cinta!" ujar Jaemin dengan girang.
"No. No. No," sanggah Donghyuck atas kesimpulan dari sahabatnya. "Aku. Tidak. Akan. Jatuh. Cinta. Titik," tegas Donghyuck.
"Terserah kau bilang apa, tapi hatimu tidak bisa berbohong, Hyuck."
Donghyuck menggelengkan kepalanya, masih kukuh dengan pendapatnya sendiri.
"Setelah melihat kedua orangtuaku, aku sadar kalau cinta itu merepotkan dan tidak ada untungnya. Jadi sebisa mungkin aku tidak ingin terlibat dengan cinta." Donghyuck tersenyum sendu, ia menundukkan kepalanya dan hal tersebut membuat hati Jaemin pilu. "Mark hanya seperti ... teman baru? Ya, aku akan menganggapnya seperti itu."
"Tapi ... bagaimana jika Mark menganggapmu lebih dari itu?" kata Jaemin sedikit meragukan pernyataan Donghyuck yang hanya akan menganggap Mark sebagai 'teman baru'. Pemuda berkulit karamel itu pun menoleh ke arahnya, ia berpikir sejenak sebelum membuka mulutnya.
"Maka aku akan memperingatinya."
***
Seorang pemuda yang baru saja terbangun dari tidurnya itu masih enggan meninggalkan tempat tidur. Ia tatap langit-langit ruangan serba putih itu sebelum mendekatkan telapak tangannya ke arah dada bagian kirinya. Di sana ia rasakan dentuman yang cukup cepat hingga berhasil membuatnya berkeringat di hari Minggu pagi yang dingin. Isi kepalanya mengarah kepada sebuah momen pada pukul 2 pagi di Sungai Han. Momen dimana ia hampir bersentuhan dengan pemuda manis yang kerap kali menjadi alasan dibalik senyumannya akhir-akhir ini.
Tapi mengapa reaksi tubuhnya seperti ini?
Debaran yang ia rasakan ini ... menyenangkan tapi juga menyakitkan.
Memori-memori dari bertahun-tahun lalu itu juga kembali seenaknya ke dalam otak Mark, membuat pemuda itu berkeringat hebat dan kepalanya pusing.
"Alasanku bertahan bersamamu selama ini tidak lain karena latar belakangmu."
"Kamu tahu? Orang-orang di sekelilingmu itu juga mendekatimu karena ada yang mereka incar. Itu resiko sekaligus berkah bagi orang kaya."
"Apakah sesulit itu memberikan uang untuk kekasihmu? Kalau kamu tidak kaya, kamu pikir aku mau menjadi pacarmu? Cepat, pinjami aku kartumu!"
Semua kata-kata itu terngiang di telinganya, membuatnya mual sekaligus kesulitan bernapas. Mark meraba-raba nakas di sebelah ranjangnya, tapi ia tidak menemukan apa yang ia cari. Tentu saja karena saat ini ia bukan berada di kamarnya sendiri, melainkan sebuah hotel. Ia pun meraih ponselnya dan menekan satu nomor di sana.
"Halo, Hyung? Kenapa tidak pulang ke rumah? Ah, tapi sebaiknya jangan pulang dulu deh. Ayah mengamuk," ujar seseorang dari telepon.
"Jeno ... Hhh ... Hah ...."
"Hyung? Kenapa suara napasmu begitu? Kau bukan sedang ... melakukan yang tidak-tidak, kan?"
"Tolong ... bawakan obatku." Mark tak lagi mempedulikan adiknya yang salah paham, ia langsung memutuskan panggilannya dan mengirim lokasinya kini kepada Jeno melalui chat. Setelah itu pandangannya menjadi gelap dan tubuhnya lemas tak berdaya di atas ranjang.
.
.
.
"HYUNG! Jangan mati! Nanti aku tidak punya alasan untuk bertemu Jaemin lagi!"
Jeno, pemuda yang hanya beda satu tahun dari Mark itu berteriak-teriak di depan wajah kakaknya dengan dramatis. Ia naik ke atas tubuh kakaknya dan menampar-nampar pipinya kanan-kiri. Teriakannya mengundang staff hotel untuk datang menghampiri kedua kakak-beradik itu di kamarnya.
"Tolong telpon ambulan!" ujar Jeno kepada salah seorang staff di sisi ranjang. Pria itu pun mengangguk cepat dan mengeluarkan ponselnya, hendak menelpon nomor yang diperintahkan oleh Jeno.
Tiba-tiba saja sebuah tangan menghentikan aksi pria itu. Ternyata Mark sudah sadar dan mengerang akibat pipinya terasa ngilu akibat tamparan Jeno, ia mendorong adiknya dari atas tubuhnya dan kemudian duduk sambil memegangi pipinya. Melihat kakaknya telah sadar, Jeno segera memeluk Mark erat.
Pemuda beralis camar itu membungkukkan kepalanya sedikit untuk berterima kasih kepada staff hotel. Pria yang khawatir itu pun meminta izin untuk pergi meninggalkan kedua pemuda itu. Kini tinggal lah Mark dan Jeno berdua, tidak lupa Mark dorong lagi Jeno agar berhenti memeluknya.
"Nah, obatmu." Jeno mengeluarkan sebotol obat anti-depresan dari saku hoodie-nya. "Kumat lagi?"
Mark tidak menjawab, ia raih botol obat itu dan memakan dua pilnya.
"Tidak mau cerita? Setelah aku mempermalukan diriku berlarian di lobi hotel dan berteriak-teriak untuk membangunkanmu. Tetap tidak mau cerita?" ancam Jeno. Wajah melotot Jeno membuat Mark tertawa, ia pun mengangkat kedua tangannya ke udara tanda menyerah. Untung saja kondisinya telah jauh membaik, entah karena sudah pingsan tadi atau efek obat yang baru saja ia telan.
Mark ceritakan kepada Jeno mengenai pertemuannya dengan Donghyuck, lengkap dengan apa yang ia rasakan selama menghabiskan waktu bersama pemuda manis itu. Jeno sendiri dapat melihat wajah merona kakaknya yang sedang bercerita, serta senyuman yang merekah setiap nama 'Haechan' terlontar dari bibirnya dan pasti empunya tak menyadari hal tersebut. Selama mendengar cerita kakaknya, Jeno ikut berpikir bahwa sepertinya ia dan Jaemin tidak perlu melakukan apa-apa lagi untuk menyatukan kedua pemuda yang sudah jelas memiliki perasaan yang sama atas satu sama lain itu.
"Saat bersamanya, aku tidak merasa tak nyaman sama sekali. Dada ini tidak sesak, kepala ini juga tidak sakit," jelas Mark yang kini senyumannya perlahan pudar. "Tapi ... sepertinya aku masih belum siap jika apa yang kurasakan ini adalah cinta."
Si Adik yang sedang menyimak, turut merasa kecewa atas apa yang menimpa kakaknya.
"Hyung ... tidak usah takut. Cintai saja dia."
Mark menggeleng. "Bagaimana kalau pada akhirnya ada yang terluka lagi? Baik itu aku ... ataupun dia."
Saat itulah Jeno menarik kembali pemikirannya sebelumnya. Ia kini paham betul. Paham bahwa kakaknya memang membutuhkan bantuannya dan Jaemin.
TBC
A/N: Philophobia, Fobia Jatuh Cinta
Orang dengan perasaan tidak rasional yang berlebihan terhadap cinta kemungkinan besar merasa cemas dan panik ketika hanya memikirkan tentang cinta. (sumber: www.orami.co.id)
KAMU SEDANG MEMBACA
BLIND DATE | MarkHyuck
FanfictionBerawal dari Jaemin yang merancang kencan buta untuk Donghyuck dan Jeno. Namun, Malatang Renjun membuat Jeno kena diare di hari-H. Mark yang anti-romantic pun harus menggantikan adiknya kencan buta dan malah jatuh cinta pada kaki Donghyuck. @FullSun...