Hari telah berganti, pagi yang cerah kala itu disambut oleh nyanyian burung-burung kecil yang bertengger di pinggir jendela. Sang surya di langit biru muda itu pun memancarkan cahayanya menembus celah gorden sebuah kamar di lantai lima sebuah motel. Perpaduan kicauan burung serta cahaya tersebut berhasil mengusik nyenyaknya tidur si pemuda bersurai hitam. Ia mengerdip-ngerdipkan kedua matanya dengan berat hati, masih enggan pulang dari alam mimpi namun ia sudah terlanjur kembali ke dunia nyata.
Tapi siapa sangka kali ini dunia nyata terasa lebih indah dari dunia mimpi? Paginya langsung disajikan dengan paras indah dari pemuda berkulit karamel yang masih terlelap persis di hadapannya.
Senyuman terukir pada wajah rupawan Mark, ia pandangi detail wajah cantik di depannya sepuasnya. Bulu mata yang rimbun, hidung mancung yang indah, bibir berbentuk hati dengan warna merah muda alami, serta pipi gembil itu, Mark kagum atas segalanya. Jemarinya tak tahan lagi ingin menyentuh pipi itu, sayang sekali empunya jadi terbangun akibat sentuhan tersebut. Alih-alih merasa kesal, Donghyuck yang baru bangun justru terkekeh kecil dengan kedua manik yang masih terpejam.
"Selamat pagi," ujar Donghyuck dengan suara parau.
"Morning, Sunshine," balas Mark kini mengusap surai coklat Donghyuck, ia singkirkan helai-helai rambut yang menghalangi mata pemuda yang ia cintai. Donghyuck tersenyum kala mendengar sebutan Mark untuk dirinya, ia kini membuka matanya dan menatap sepasang manik hitam lembut di sana sebelum bergerak mendekatinya.
Mark yang menerima tubuh Donghyuck pun langsung merengkuhnya erat.
"Mark, seseorang berkata padaku bahwa aku tidak dilahirkan untuk merasakan kebahagiaan," ujar Donghyuck melepas pelukannya namun masih menghadap Mark, tatapannya sendu tapi bibirnya tersenyum tipis. Pemuda beralis camar yang wajahnya begitu dekat dengannya itu menunjukkan ekspresi tak setuju.
"Lalu, apa kamu mempercayainya?" tanya Mark. Lawan bicaranya diam saja, kemudian menggelengkan kepalanya pelan sebelum kembali menatap manik bulat milik Mark.
"Entahlah ... mungkin aku hanya tidak ingin mempercayainya."
"Maka, jangan." Jemari Mark meraih pipi gembil Donghyuck, mengusapnya lembut lalu berhenti pada bibir hati milik si pemuda manis. Ia dekatkan wajahnya, kemudian menempelkan bibirnya pada milik pemuda di depannya setelah membalas pernyataan Donghyuck barusan. "Karena aku akan membahagiakanmu."
Mereka pun melepaskan ciuman singkat itu dan tersenyum kepada satu sama lain.
"Aku mencintaimu, Haechan," bisiknya pada telinga Donghyuck. "Sangat-sangat mencintaimu."
"Jangan diucapkan berulang kali, nanti jadi tidak terasa begitu istimewa lagi." Donghyuck mendongakkan kepalanya, lalu menutup bibir Mark dengan jari telunjuknya agar pemuda itu bungkam.
Mark kecup jari itu sebelum melandaskan bibirnya pada kening Donghyuck.
"Aku mencintaimu," ujarnya sekali lagi dalam hati.
Kalimat yang dahulu paling sulit ia katakan, kini ingin rasanya ia menghujani pemuda yang dicintainya dengan kalimat tersebut sebanyak yang ia bisa. Tapi ia pikir Donghyuck ada benarnya, mungkin jika terlalu sering diucapkan akan mengurangi keiistimewaan makna kalimat tersebut. Oleh sebab itu, ia memutuskan untuk merapalkannya sebanyak mungkin dalam hatinya saja.
.
.
.
Sebelum tiba di pertengahan hari, Mark dan Donghyuck berjalan bergandengan tangan menuju sebuah kedai berukuran sedang di dekat tempat menginap mereka semalam untuk mengisi perut. Di dalam kedai itu sedang tidak ada pelanggan lain selain mereka berdua, hanya ada pasangan suami-istri yang mengelola kedai turut menyambut kehadiran mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLIND DATE | MarkHyuck
Fiksi PenggemarBerawal dari Jaemin yang merancang kencan buta untuk Donghyuck dan Jeno. Namun, Malatang Renjun membuat Jeno kena diare di hari-H. Mark yang anti-romantic pun harus menggantikan adiknya kencan buta dan malah jatuh cinta pada kaki Donghyuck. @FullSun...