40 : WAKTU LUANG HANYA SEBENTAR

220 37 5
                                    

"Alasan lo, gue tolak! Keluar dari sini!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Alasan lo, gue tolak! Keluar dari sini!"

Gio meringis, begitu tubuhnya didorong dengan paksa keluar dari ruangan, lalu disambut suara hentakkan pintu yang digeser dengan kuat. Rean, tidak bisakah si menyebalkan itu menghargainya? Ia sudah susah payah melewati rintangan untuk ke perusahaan, dengan sekejap mata saja abangnya itu mengatakan tidak dengan mudah lalu mengusirnya.

Seminggu, dua minggu, mungkin tidak masalah, tapi kalau sudah lebih dari itu? Apa tidak putus asa, hm?

"Ah, jadi itu alasannya dia nolak gue, hm?" Gio tersenyum sinis, memberi lingkaran merah pada kalender di ponsel lalu menggeser pintu ruangan Rean kembali.

Rean ingin ia menyerah, hm?

"Bang!" panggil Gio, membuyarkan lamunan seseorang yang tampak menerawang kosong memperhatikan layar laptop. Dari kejauhan seperti ini, bukankah Rean kadang terlihat menyedihkan? Abangnya itu selalu terlihat menahan diri, tetapi siapa sangka jika sudah terlalu dekat?

Menyebalkan? Sangat. Penuh dengan emosi.

"Alasan gue mau mimpin perusahaan ini--"

"Gue tolak! Keluar!"

Ucapan terpotong begitu saja. Gio yang bahkan baru selangkah memasuki ruangan, mendesis seketika. Sepatu ... ah, sepertinya ia harus melemparkan sneakers ini tepat di wajah Rean.

Padahal abangnya yang membuat tantangan terlebih dahulu, Rean akan mengajarkannya banyak tentang perusahaan jika Gio berhasil mengungkapkan alasan mengapa begitu ingin menggantikan posisi bahkan yang sama sekali tidak menyenangkan?

"Gue belum ngomong, elah! Udah diusir aja!" protes Gio, meletakkan tas sandang yang berisi beberapa peralatan kuliah itu ke sofa, lalu memandang kembali Rean yang fokus dengan kegiatannya. "Bang, lo lagi nggak ada jadwal kunjungan ke mana gitu? Gue mau ikut."

"Tadi pagi, gue ngunjungi beberapa anak penerbitan," ucap Rean, datar. Sedatar ekspresi wajahnya.

Gio mendengkus, cowok berkemeja hitam di balik kaus putih itu merentangkan sebelah tangan ke kepala sofa, ingin rasanya ia menjulurkan kaki, tapi cukup sadar diri melihat tempat di mana ia berada saat ini.

"Ala--"

Sontak saja Rean yang tertunduk, langsung mengerling tajam. Kedua punggung tangan yang menumpu dagu itu seakan-akan sudah siap saja mengusirnya dari ruangan ini.

Gio yang melihat perubahan itu, mendengkus. "Gue baru ngomong dikit padahal. Sensi amat. Sesekali terima alasan gue napa? Nggak bosan emang direcokin gue mulu tiap hari?"

"Lo sendiri nggak bosan gue usir tiap hari?" balas Rean, memutar tutup botol air mineral, lalu meneguknya. "Lebih baik lo mundur dari sekarang, Yo. Gue sama sekali nggak ada kepikiran buat nyerahin perusahaan selain ke Dikta."

"Tapi, Bang Dikta alergi sama ini perusahaan. Kalau dia mimpin pasti jauh lebih mudah buat ganti posisi." Gio mengangkat sebelah alis, setengah mengejek. Berhasil, wajah bundar Rean semakin merengut saja. "Kalau lo pikir bisa lemahin mental gue begitu saja, lo salah besar, Bang Re."

Brother Notes [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang