Empat

6K 167 0
                                    

Bantu vote, ya.

20.27

Malam ini, setelah melakukan makan malam, Maxi dan Zhelica bersantai dikamar milik mereka. Dengan suara celotehan Zhelica yang mengalahkan suara siaran tv. Fokus Maxi pun kini sepenuhnya teralihkan pada Zhelica.

Tangan Zhelica sibuk memainkan boneka baru miliknya. Ya, boneka mirip minuman, boneka boba. Maxi sendiri tak habis pikir. Ternyata memang benar adanya boneka menyerupai minuman.

Drtt drtt

Kedua sejoli yang sibuk dengan dunianya, kini terganggu oleh suara getaran handphone mahal milik Maxi.

Dilayar handphone keluaran terbaru tersebut tertera nama sang sekretaris sekaligus asisten pribadinya, Ramos.

Dengan ogah-ogahan Maxi meraih benda pipih tersebut, lalu mengangkatnya. Tak lupa dengan volume yang tinggi agar Zhelica ikut mendengarkan.

"Hallo, Tuan"

"Ya"

"Dibawah ada teman-teman anda dan Nona dat-"

"Om Ram, dibawah ada Stella sama Riri?" tanyanya heboh.

Ucapan Ramos terpotong oleh suara Zhelica yang terdengar semangat.

"I-iya, Nona. Mereka baru saja sampai dan menunggu anda"

Belum sempat Zhelica kembali menyahut, sambungan telfon telah dimatikan sepihak oleh Maxi.

"Lian, kenapa dimatiin? Lica belum selesai ngomong" rengeknya sebal.

"Lain kali kalo ada yang lagi ngomong jangan dipotong, sayang. Gak sopan, paham?" tutur Maxi lembut.

"Iya, paham. Maaf Lian" cicit Zhelica.

"Iya, gapapa. Ayo ke bawah" ajaknya. Meraih pinggang Zhelica untuk ia rangkul.

Sebelumnya ia telah memastikan bahwa gadisnya memakai pakaian yang tertutup.

Ting

Suara pintu lift terbuka mengalihkan atensi lima orang yang tengah menunggu sang tuan rumah di ruang tamu.

"STELL, RIRII"

Sudah tahu bukan itu suara siapa? Yap, Zhelica. Gadis mungil itu berlari kecil mendekati kedua sahabat dekatnya.

Sedangkan Maxi yang melihat itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia melangkahkan kaki jenjangnya menuju empat pria yang tak lain adalah sahabat karibnya.

Mendudukkan bokongnya di sofa single yang mengarah langsung pada Zhelica, sehingga ia dapat memerhatikan interaksi sang gadis yang berbincang dengan kedua sahabatnya.

"Lama amat, Bos" celetuk seorang pria yang terlihat lebih muda diantara empat pria disana.

Aston Wiskey. Di umurnya yang kini menginjak tahun ke 21, ia bekerja sebagai Direktur Keuangan di perusahaan besar milik Maxi.

"Iya, lumutan nih gue nungguin dari tadi"

Pria berkulit sawo matang ikut menyahut.

Dia Revin Danial Benjamin. Sosok sahabat Maxi yang sama-sama seorang pemimpin perusahaan. Pria playboy dengan lesung di pipi kirinya.

Tatapan Maxi berubah dingin. Jangan salahkan Maxi, karena ini salah sahabatnya. Untuk apa datang dimalam hari seperti ini? Mengganggu waktu berdua dirinya dan Zhelica.

"Ada apa?" tanyanya.

"Kita barbeque - an disini lah, Max" ajak Revin.

"Nah iya! Sekalian ngerayain jadiannya si Repin" heboh Aston.

Sontak Maxi menatap Revin, yang dibalas cengiran garing oleh sang pelaku.

"Pacar ke berapa kali ini?" tanya Rogi dengan menampilkan raut datarnya.

Ya, Rogi Bagaskara Kusuma. Sahabat karib Maxi yang sifatnya sebelas duabelas dengan Maxi, si dingin. Jangan salah, dingin-dingin gini Rogi juga sudah berpawang. Hanya satu curut Aston yang saat ini masih ingin menyendiri.

"I don't know either, lupa" jawabnya acuh.

"Baru aja tadi di cafe nembaknya, sebelum kesini" beritahu Aston.

"Bingung gue juga, kok sempet-sempetnya dia nembak cewe dulu" lanjutnya.

"Gue kan cakep, jadi pede aja. Daripada lo, gak laku" ejeknya pada Aston.

"SIALAN LO, REPIN!"

"Your language!" tegur Maxi.

Bukan apa-apa, ia hanya takut gadisnya mendengar umpatan tersebut. Ia tak mau otak polos Zhelica ternodai.

Sedangkan sang pelaku hanya menyengir.

"Jadi gimana, Bos? Bolehkan disini?" tanya Aston mengalihkan pembicaraan. Takut Maxi keburu ngamuk.

"Tanya Lica"

"BU BOSS" teriak Aston lantang.

"Jangan teriak-teriak didepan Zhelica" tegas Maxi.

Zhelica yang merasa terpanggil oleh Aston pun segera menengok ke arah Aston.

"Kenapa, Bang As?" tanyanya.

"Kita bakar-bakar disini, boleh?" tanya Aston penuh harap.

Zhelica mengalihkan pandangannya, yang tadinya ke arah Aston kini mengarah ke Maxi. Tatapannya tersirat penuh kebingungan. Tak berselang lama, ia menatap Aston kembali.

"Bakar apa, Abang? Bakar sampah?" tanyanya polos.

"Duh, Neng Lica mah polos-polos gemesin" sahut Revin dengan tatapan memelas.

"Gini Zhel, maksudnya kita barbeque - an disini, di mansion Maxi" jelasnya.

"Oh" Zhelica mengangguk-anggukkan kepalanya.

Sedangkan Aston hanya melongo. Oh doang? Yang benar saja.

"Oh doang, Zhel?" tanya Revin cengo.

"Terus harus gimana?"

ck!

Terdengar decakan Aston.

"Ya boleh apa nggak kita bakar-bakar disini?"

'Lama-lama gereget juga gue' batin Aston.

"Boleh-boleh. Bebas dong, ini kan mansion milik bersama, kata Bang Rev juga"

"Wih, iya dong" seru Revin menaikturunkan alisnya ke arah Maxi, menggoda pria itu.

"Tidak lebih dari jam sepuluh malam" Maxi kembali bersuara.

"Iya Bos, iya. Tenang aja, santuy"

"Kalian gimana? Ikut kan? Ikut lah" tanya Revin pada kedua perempuan yang tengah bercanda ria dengan Zhelica, Stella Ayunda dan Mauri Hendrayani.

Stella Ayunda adalah gadis dengan rambut sebahu yang 4 bulan belakangan ini diam-diam menaruh hati pada Revin. Ya, Revin si playboy cap badak. Zhelica sendiri tak tahu jika sahabatnya tengah jatuh cinta, sendirian. Bukan tak ingin memberitahu, tapi Stella cukup paham dengan kepribadian Zhelica yang polos itu.

Mauri Hendrayani atau biasa dipanggil Riri. Gadis dengan segala ke bar-bar annya yang sudah mendarah daging. Gadis dengan tinggi semampai itu menjadi teman dekat Zhelica dari zaman baru lahir dulu. Mauri juga sudah kenal dekat dengan keluarga Zhelica.

Riri dan Stella saling pandang. Saling beradu pikiran untuk menjawab ajakan Revin.

"Kita ikut kok, Kak" jawab Stella akhirnya.

"Bagus lah"

"Yaudah, kita ke belakang sekarang" seru Aston.

Maximillian the Possessive GuyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang