Bab 8 Yeobseyoo

67 18 143
                                    


Sejuknya pagi Jakarta tak begitu menusuk tulang Dewi, udara pagi yang masih segar tanpa polusi, membuat kantuk Dewi hilang seketika.

Beberapa pedagang kaki lima mulai membuka dagangannya, dan ada juga beberapa orang yang sedang makan bubur atau bahkan lari pagi, kendaraan pagi ini pun juga sudah mulai ramai tapi tak terlalu padat.

Dewi melihat ke sekitar, sembari mengendarai motornya menuju Pasar Antik Jalan Surabaya di Menteng, yeah itu adalah tujuan Dewi sekarang, dengan kamera yang berada di tas nya dan perut yang sudah sarapan, Dewi siap berburu foto di pasar antik itu, pasar antik yang cukup legend kata bapaknya. Dewi pernah sekali ke sana saat itu, menemani bapaknya membeli sesuatu yang Dewi pun tak tau namanya, jadi saat ia bertanya kepada Bapaknya tentang jalan ke arah pasar sana, Dewi pun pergi walau ia juga menggunakan maps supaya tida tersesat.

Susuai dengan namanya, Pasar itu benar-benar dipenuhi dengan barang antik, dari parkiran Dewi sudah bisa melihat kios-kios yang berjejer di jalan Surabaya daerah Menteng ini. Segera ia mengambil tas nya, dan mengambil kunci motornya.

Lihat, Dewi tampak begitu takjub dengan pasar ini. Begitu banyak barang antik dari banyaknya kios yang Dewi tak bisa menghitung satu persatu, ada berbagai macam kios yang menjual barang antik yang berbeda-beda pula.

Dewi menyusuri pasar itu, kamera yang ada di dalam tas nya sudah ia keluarkan, kini menggantung di leher. Dewi merasa untuk challenge UKM Cinema ia sudah menemukan bahan yang pas disini.

Pasar ini cukup sepi, apalagi sepagi ini tak banyak orang yang minat barang antik, yang Dewi tau sejak tahun 1970 silam pasar antik ini selalu ramai dikunjungi, bahkan banyak turis yang datang ke pasar ini hanya untuk berburu barang antik atau sekedar untuk membawa oleh-oleh ke negaranya.

Tapi, kini pasar itu tak lagi ramai seperti dulu, karena tak banyak yang minat barang antik, orang-orang jauh lebih minat ke barang berteknologi tinggi yang memudahkan pekerjaan mereka daripada barang antik yang kebanyakan hanya jadi pajangan saja, tapi itu bagi mereka yang tidak mengerti, lain lagi untuk mereka yang paham dan mengerti bagaimana sejarah barang antik itu. Walau pasar ini sepi, selalu ada orang-orang yang tak melupakan barang antik atau bahkan mengabadikan sejarah itu.

Dewi terus saja berjalan menyusuri setiap kios yang ada, ia berhenti pada toko yang tampak bersih tapi ada begitu banyak barang antik yang tersusun dan di lantai ada porselen yang amat cantik motifnya, serta ada banyak lagi. Di kios itu juga ada satu dua orang yang melihat-lihat, penjaga kios juga tersenyum ramah kepada calon pembelinya dan melayani dengan baik, segera Dewi mengabadikan momen itu melalui lensanya, ia sudah mendapatkan apa itu semesta alam raya.

Semesta alam raya, yang mengandung masa lalu bersejarah di dalamnya.

"Neng," sapa bapak penjaga kios yang melihat Dewi berdiri di depan kios. Dewi cukup tersentak saat ia sedang melihat hasil fotonya tadi.

"Eh, iya, Pak?" tanya Dewi kepada Bapak-bapak yang Dewi perkirakan berumur 60-80 tahun di hadapannya ini.

"Neng, mau cari apa? Daritadi bapak lihat Neng berdiri sini, ada yang Neng cari? Kalau iya, silakan masuk Neng, silakan lihat-lihat," ucap Bapak itu.

"Eh, iya, Pak. Saya tadi cuma ambil foto saja, Pak. Untuk tugas kuliah, tapi boleh deh. Saya juga mau lihat-lihat sesuatu."

Dewi masuk ke kios itu dan melihat lebih jelas tentang barang-barang yang ada kios itu, ada berbagai macam jam antik disana, setrika jaman dulu pun ada, setrika yang di masukkan arang ke dalamnya serta berbagai macam piringan hitam serta kamera jadul pun juga ada di sana. Kios bapak ini begitu lengkap barang antik.

"Silakan diliat-liat, Neng. Kalau mau tanya-tanya harganya murah kok Neng, ini setrika ini 50 ribu aja," ucap bapak itu menunjuk arah pandang Dewi.

Gadis itu tampak takjub, ia memegang setrika antik itu.
"Ini masih berfungsi, Pak?" tanya Dewi mengangkat setrika arang itu. Terakhir ia melihat barang ini saat ia kecil sekali, itu pun tidak di rumahnya, ia melihat setrika ini di tempat Tulang Bahar, salah satu tetangganya orang Batak yang berprofesi tukang jahit saat itu.

"Masih Neng, masih Fungsi itu. Tinggal masukin arang aja, nanti itu berfungsi itu."

"Wah, keren," puji Dewi mengamati Setrika itu lebih dekat, hingga tanpa sadar akan kehadiran seseorang yang masuk ke kios itu.

"Silakan masuk, Mas. Neng bapak kesana dulu ya, ada calon pembeli." Pamit Bapak itu kepada Dewi.

"Iya, Pak." Jawab Dewi yang melihat ke benda-benda lain. Disini juga ada lampu antik, seperti lampu antik gantung yang berbagai macam  bentuknya, serta beberapa porselen yang dari ukuran besar hingga kecil. Bapak Penjaga Kios, yang Dewi ketahui bernama Ujang itu mengatakan bahwa barang yang paling mahal di sini yaitu lampu antik dan juga porselen, harganya bisa berjuta-juta.

Dewi berjalan ke arah kumpulan piringan hitam berada, ada begitu banyak yang Dewi pahami sebagai album di piringan hitam itu.

"Dewi?" panggil seseorang yang tak jauh darinya.

Segera Dewi melihat ke arah sumber suara, saat tau namanya dipanggil  alangkah terkejutnya ia melihat siapa yang berdiri beberapa langkah dari jaraknya kini.

"Eh, Iya Dewi. Kamu ngapain?" tanya Pemuda itu mendekat ke arah Dewi. Pemuda itu juga melihat piringan hitam, tapi dari sisi lain, jadi saat ia ingin melihat ke sisi lainnya tak sengaja Dewa melihat kepada seseorang yang familiar, dan benar saja itu adalah Dewi.

"Eh, lihat-lihat aja, Kak," jawab Dewi mendadak canggung, kenapa pemuda ini selalu ada dimana-mana. Panggilan tadi supaya ia terlihat sopan, bagaimanapun juga kesan pertama Dewi dengan pemuda ini cukup buruk baginya.

Dewa terkekeh mendengar panggilan Dewi kepadanya itu, "Panggil Dewa aja gapapa."

"Eh, iya."

"Neng ini tadi bapak lihat sedang memfoto sesuatu, Mas. Bapak lihat ia lama berdiri di situ, jadi Bapak suruh masuk aja supaya ia lebih leluasa gak menghalangi jalan gitu," jelas Bapak yang datang antara mereka.

"Oh, kamu sedang foto-foto untuk challenge itu?" tanya Dewa.

"Hm, iya, Kak. Eh Dewa," jawab Dewi canggung. Aduh bagaimana sih menghilangkan rasa canggung ini, gak enak banget.

"Ah, interesting. Masuk akal, tapi ada yang lebih bagus lagi untuk objek foto kamu, mau liat gak?" tanya Dewa.

"Eh, gapapa, gak usah repot. Ini aja cukup, Kok." Tolak Dewi lembut.

"Ikut aja atuh, Neng. Mas-mas ini mau nunjukin sesuatu lebih bagus loh, siapa tau 'kan objeknya lebih bagus."

Ah bener juga. Tapi...

"Yuk?"

Ah, tak salah mencoba 'kan?
Siapa tau memang ada objek yang lebih bagus.
Sial, kenapa Dewi tak bisa menolak lebih tegas lagi.
Ia terlalu lemah dengan tatapan netra coklat Dewa yang memabukkan.

***




Dewa untuk DewiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang