Namanya bab satu

174 33 255
                                    


Terkadang karena kejadian yang orang anggap sepele, menjadi ketakutan besar seseorang untuk masa depannya.

***

Tahun 2018

Gerimis menyapa pagi ini, embun pagi menyatu dengan aroma petrichor
Membuat udara semakin sejuk. Seorang gadis rambut sebahu sudah siap dengan seragamnya, ia sedang berkaca menyisir rambut panjangnya itu, ada ringisan kecil keluar dari bibirnya saat tak sengaja menyentuh leher, ada bekas luka kecil di leher bagian kanan gadis itu.

Perlahan gadis itu menyentuh luka itu dengan tangannya yang penuh dengan bekas baretan silet, ringisan keluar dari bibir gadis itu saat berhasil menyentuh luka kecil itu, luka yang tak tampak dan yang tak ia sadar.

"Dewi, ayo sarapan, Nak." Seorang wanita paruh baya tiba-tiba saja masuk ke kamar gadis itu, membuat gadis itu kaget dan langsung menutup tangannya dengan seragam lengan panjang yang sengaja ia gulung.

"Eh iya, Bu. Ini sebentar lagi Dewi siap kok," balas gadis itu pura-pura memasukkan buku ke dalam tas.

"Oke, Ibu tunggu ya," ucap wanita paruh baya itu menutup pintu kamar Dewi.

Dewi bernapas lega saat ibunya menutup pintu, segara ia menyisir rambutnya secara perlahan agar tidak menyentuh luka kecil di lehernya itu, niat awalnya yang ingin mengikat rambut jadi ia gerai saja, karena jika ia kuncir rambutnya lehernya akan tereskpos dan luka itu akan ketahuan, Dewi tak mau menambah luka baru lagi jika luka itu menjadi sebuah pertanyaan bagi orang-orang.

Walau tak menjamin jika ia tak bicara maka luka baru akan datang lagi, Shinta dan teman-temannya tak akan membiarkan Dewi tenang begitu saja, seolah-olah menjadi buruk rupa adalah sebuah petaka.

Dewi sebenarnya tak mau sekolah hari ini, tapi hari ini ada ulangan matematika dan bahasa Inggris, dua mata pelajaran yang sangat susah bagi Dewi, jadi ia harus datang walau tak siap bertemu Shinta sang primadona sekolah.

"Gapapa, aku harus kuat, demi Ibu dan bapak, semua ini bakal selesai," ucap Dewi kepada kaca yang di hadapannya, lebih tepatnya pada dirinya sendiri mencoba untuk menguatkan.

Dewi menghela napas panjang, lalu berjalan ke arah dapur di mana meja makan berada, setidaknya ia harus sarapan meski ada harapan besar di kepalanya.

***

"Kerjain nih." Perempuan cantik dengan make up tipis di wajahnya menyodorkan sebuah buku ke arah Dewi yang sibuk menghapal rumus.

Ulangan matematika di tunda hingga satu jam ke depan, karena guru lagi ada rapat, jadi mengisi waktu Dewi menghapal rumus-rumus yang kemungkinan akan keluar nanti di soal ulangan. Namun, karena kehadiran Shinta di hadapannya kini membuat rencana Dewi gagal.

"Eh, itik denger gue ngomong gak?" Shinta menepuk kepala Dewi dengan buku.

"Apa," jawab Dewi memandang ke arah Shinta.

"Ini salin buku catatan MTK lo, tulis disini, biar gue ada contekan nanti," perintah Shinta.

"Tapi kan...."

"Gak ada tanya-tanya, pokonya ini harus siap sebelum pak Mahmud masuk, awas aja kalau nggak," ancam Shinta pergi begitu saja.

Dewi memandang kepergian Shinta dengan teman-temannya, Shinta adalah pribadi yang humble, memiliki postur tubuh yang bagus dan wajah yang cantik membuat Shinta tak jarang berganti pacar dan teman-temannya juga tak kalah cantik dengan gadis itu.

Waktu kelas sepuluh Dewi berteman baik dengan Shinta, bahkan nama mereka sering di sambung menjadi Dewi Shinta, tapi semenjak kejadian salah paham seorang yang Shinta suka ternyata menyukai Dewi membuat pertemanan mereka menjadi buruk, hingga jadilah sekarang, Dewi sering di bully.

Karena kasus itu juga, Dewi jarang memiliki teman, perebut pacar orang sudah melekat pada dirinya, sehingga dari itu membuat ia dijauhi, pribadi Dewi yang pendiam membuat ia susah juga untuk memulai berteman. Jadi, kini ia hanya sendiri tidak ada yang membelanya dan mau bercerita dengannya.

Tiga puluh menit berlalu, ternyata Pak Mahmud masuk kelas lebih cepat, Dewi yang lagi menulis rumus untuk contekan Shinta cukup kaget dengan kehadiran Pak Mahmud, siswa kelas XI IPA 2 grasak - grusuk ke kursi mereka, begitu pula Shinta dan teman-temannya yang berlari dari kantin menuju kelas. Shinta langsung mengambil buku di Dewi dan merobeknya, padahal rumus itu belum siap semua Dewi tulis, tapi tak ada lagi waktu jadi ya sudah lah.

"Oke kita mulai saja ulangannya, tas, buku dan alat elektronik seperti ponsel mohon letakkan di depan, tinggalkan kertas selembar dan juga pena," perintah Pak Mahmud.

Semua siswa kelas XI IPA 2 meletakkan tas mereka di depan, meninggalkan kertas selembar dan juga pena, ketua kelas membagikan kertas soal ulangan dan wali kelas membagikan kertas HVS untuk coretan.

Usai mereka membagikan kertas soal dan kertas HVS ujian pun di mulai.

"Dengan ucapan bismilah, ujian di laksanakan."

Semua siswa kelas XI IPA 2 menyingkap kertas soal ulangan, dewi menyipitkan mata memandang soal, ulangan ini cukup sulit ada kombinasi rumus untuk mendapatkan hasil dari perhitungan itu, beruntung Dewi mengingat rumus yang telah di pelajari jadi tak cukup sulit baginya, tapi ntah hasilnya akan benar atau tidak Dewi pun tak yakin.

Pak Mahmud membuka ponselnya, matanya menghadap ponsel tapi ia memperhatikan siswanya dengan mengaktifkan kamera ponsel, ia bersikap seolah-olah tak peduli tapi di balik itu matanya awas mengawasi.

Main ponsel sambil mengawasi ujian itu adalah trik rahasia Pak Mahmud untuk tau kejujuran siswanya, Pak Mahmud yang dianggap lengah itu terkadang membuat siswa merasa ada jalan untuk menyontek padahal mereka sedang di awasi dengan ketat.

Terbukti, kamera pak Mahmud menangkap kertas contekan di bawah meja barisan ketiga dari depan, seorang gadis menunduk begitu dalam untuk melihat kertasnya.

Ada sekitar lima menit memperhatikan gadis itu dan selama lima menit posisi gadis itu tetap tak berubah.

Tertangkap kau, batin Pak Mahmud dengan senyum tipisnya, ia paling tidak suka dengan seorang yang tak jujur.

Pak Mahmud berdiri dari kursinya, membuat siswa menjadi lebih awas, bahkan Shinta pun segera memasukkan contekannya ke dalam saku rok, dan menegakkan kepala seolah-olah tidak melakukan sesuatu.

Pak Mahmud tak langsung menuju ke kursi Shinta, ia berjalan dulu ke arah lorong satunya, ke depan dan masuk la ke lorong kursi Shinta. Lama ia berdiri di belakang, pura-pura main ponsel.

Merasa aman, sesekali Shinta melirik ke arah belakang melihat Pak Mahmud sibuk dengan ponselnya ia pun mengeluarkan contekannya, tapi baru saja ingin mengeluarkan kertas contekan itu, Shinta di kejutkan sesuatu.

"Shinta Ramadhani, maju ke depan." Pak Mahmud merampas kertas contekan di tangan Shinta dan membawa kertas ulangan Shinta yang masih banyak soal yang diisi.

Wajah Shinta pucat pasi, ia ketahuan dan ia menatap kepada Dewi membuat wajah Dewi sama pucat pasinya dengan Shinta.

Mati

***

Start 15/03/2022


Dewa untuk DewiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang