Hallow Bab 5 datang!

78 21 150
                                    


Mentari begitu semangat bekerja untuk semesta, terbukti dari sinarnya yang terik serta udara yang sumpek karena macetnya lalu lintas, membuat pekerjaan mentari dihadiahi dengan beberapa rutukan, karena siapa yang ingin di bawah terik matahari dengan kondisi yang seperti ini.

Suara klakson saling bersahutan antar kendaraan satu dan lain, diikuti dengan suara anak-anak kecil yang mengamen menggunakan gitar kecil atau bahkan hanya menggunakan tutup botol. Suasana metropolitan yang sudah biasa.

Dewi menyipitkan matanya di balik helm yang ia kenakan, sehabis promosi UKM dan organisasi yang dilakukan oleh beberapa kakak tingkatnya tadi, kelas pun berakhir. Kasur di kamarnya sedang menunggu untuk di rebahkan sekarang.

Dewi hanya tinggal satu lampu merah lagi untuk tiba di rumahnya, tapi macet yang luar biasa karena jam istirahat makan siang, membuat perjalanan pulang Dewi lebih lama.

Pekerjaan yang melelahkan serta perut yang sudah berbunyi untuk diisi, membuat beberapa orang sedikit emosi, belum lagi jadwal Istirahat kantor yang terkadang tidak lama.

Dewi baru saja ingin memajukan motornya perlahan saat melihat celah untuk maju, tiba-tiba ia mendengar sesuatu yang jatuh dari belakang.

"Sudah berapa kali saya bilang, saya tidak mau! Jangan paksa saya!" ucap seseorang menggunakan kemeja dari balik setir mendorong anak kecil yang berjualan tisu.

"Beli, Pak. Saya belum makan hari ini, Pak." Mohon anak kecil itu, ia bangkit tertatih saat di dorong.

"Kamu budek ya! Saya tidak mau!" pekik seseorang itu melambaikan tangannya, membuat atensi pengendara mengarah kepada seseorang itu.

Dewi melihat ada luka pada lengan anak itu, dan wajah yang pucat serta seorang anak perempuan yang lebih kecil darinya itu ketakutan.

Dewi melihat anak itu seperti putus asa, ia tak tau harus bagaimana lagi, karena sedari tadi hanya dikit tisu yang terjual. Dewi juga mendengar anak yang lebih kecil mengucapkan kata lapar beberapa kali.

"Pak, saya mohon beli tisu saya, Pak. Adik saya lapar, Pak. Saya mohon, Pak," ucap anak kecil itu lagi kepada pria yang sama.

Teriknya matahari, perut yang juga sama laparnya di tambah suara anak kecil yang minta-minta membuat amarah bapak itu memuncak. Ia keluar dari mobilnya dan mendorong kedua anak kecil itu untuk segera menjauh.

"Berhenti." Secepat kilat Dewi menahan tubuh seorang anak supaya tak jatuh ke aspal, anak yang lebih kecil lagi di tahan oleh seseorang.

"Jika anda tidak mau membeli barang dagangan anak ini, setidaknya jangan melukai mereka," ucap Dewi tanpa rasa takut.

"Mereka dari tadi memaksa saya, pengemis sialan," umpat bapak itu.

"Mobil mewah tapi berbagi sedikit saja tidak bisa," sindir seseorang yang menahan anak kecil perempuan yang hampir jatuh tadi.

"Anda siapa, jangan sok menceramahi saya ya!"

"Saya bukan menceramahi, tapi sangat disayangkan saja untuk orang yang seperti anda, karena orang seperti anda negara ini terus saja berkembang. Tidak ada perasaan moralitas."

Bapak itu tadi terdiam dan pergi masuk ke mobilnya. Dewi mengajak anak kecil dengannya untuk menepi, benar penglihatannya bahwa lengan sebelah kanan anak ini terluka, Dewi pun tak sadar bahwa ia juga terluka pada betisnya karena ia tadi langsung berlari ke arah anak itu tanpa menurunkan standar motor.

Seseorang bersama anak kecil perempuan juga ikut dengannya untuk menepi, ia menggunakan hoodie biru langit serta menggunakan masker membuat Dewi susah untuk mengenali seseorang itu.

Waktu mereka sudah duduk di salah satu warung dekat jalan, barulah Dewi sadar bahwa siapa seseorang yang bersama dengannya kini.

"Hai, kita berjumpa lagi," ucap seseorang itu membuka maskernya.

***

Ruang sekertariat Cinema penuh dengan mahasiswa yang ingin mendaftar, mereka mengisi formulir pendaftaran sebagai bentuk konfirmasi setelah mengisi goggle form yang dibagikan di grup untuk calon anggota yang ingin mendaftar.

Diantara banyaknya mahasiswa yang mendaftar, Dewi salah satunya. Semalam ia berpikir panjang untuk mendaftar, ia takut untuk memulai, tapi jika tidak ia tidak tau perkembangan skill nya sampai mana.

Ibunya mengatakan bahwa selagi muda, Dewi harus mencoba segalanya supaya tidak menyesal, karena lebih baik menyesal karena mencoba daripada tidak sama sekali bukan? Pepatah kuno yang benar adanya.

Tekad yang sudah bulat Dewi pun mencoba untuk daftar, ia mengambil divisi fotografi sesuatu yang ia gemari sejak dulu.

"Dewi!" panggil seseorang saat Dewi sedang asyik mengisi Formulir pendaftaran.

Seseorang itu melambaikan tangan ke arah Dewi dan berjalan ke arahnya dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya itu.

"Kamu ikut Cinema juga, Wi?" tanya Prima. Gadis dari Jambi dan juga sekelas Dewi ini menghampirinya.

"Iya, Prim."

Prima terkekeh, karena hanya Dewi yang memanggilnya dengan panggilan itu, karena orang memanggilnya Ima atau Rima. Tapi, Prima sangat suka panggilan itu, entah kenapa.

"Wah, kamu ambil divisi apa?" tanya Prima melihat pada kertas formulir pendaftaran Dewi.

"Ah, ambil Divisi fotorafi juga, Wi?" tanya Prima Antusias.

"Iya."

"Wah, sama dong! Aku juga ambil fotografi, karena katanya banyak cogan-cogan di divisi ini, jadi aku ambil deh haha."

Prima tertawa sendiri, Dewi hanya tersenyum simpul. Ia sedikit bersyukur karena Prima mengambil divisi yang sama, walau tujuan itu tidak patut di contoh, setidaknya di sini ada yang Dewi kenal.

Mereka hanya diberikan waktu sepuluh menit untuk mengisi formulir dan dikumpulkan ke meja masing-masing divisi. UKM ini tidak menerima semua mahasiswa yang daftar tapi adanya seleksi, karena Cinema ini memiliki banyak projek kedepannya yang tentu tidak bisa sembarang orang yang bisa melakukannya.

Dewi mendengar bahwa hanya ada 100 mahasiswa yang lolos dari 300 mahasiswa yang mendaftar. Berarti kurang dari setengah yang daftar untuk lolos masuk UKM ini. Mereka pun tidak hanya mengisi formulir pendaftaran tapi adanya tes dari divisi masing-masing dan wawancara tentang alasan dan tujuan mereka, kenapa mereka masuk UKM ini dan kenapa para panitia harus memilih mereka.

Proses yang panjang dan juga melelahkan. Mereka juga harus menginap tiga hari dua malam untuk acara itu. Tentunya seleksi yang ketat, seperti adanya challengge dan wawancara untuk tau apakah mereka lolos atau tidak dan setelah itu perlu waktu lagi untuk pengumuman dan barulah acara makrab cinema yang dua malam tiga hari itu diadakan.

"Woy Dewa, kau ni darimana aja, orang sibuk sini, kau entah kemana pun," ucap Bang Edward kepada Dewa yang baru masuk sekre.

"Sorry Bro, macet."

"Alah, alasan kau aja itu."

Dewi meletaakkan formulir di atas meja, dan bertepatan dengan itu matanya bertemu dengan mata Dewa.

"Dewi Fazura Putri," ucap Bang Edward mengeja nama Dewi pada formulirnya itu.

"Dipanggil apa?"

"Dewi, Bang," jawab Dewi memutus kontak matanya dengan Dewa.

"Nah, cocok kali kalian, Dewi sama Dewa," tunjuk Bang Edward ke arah Dewi dan Dewa.

Dewa hanya terkekeh kecil, sedangkan Dewi menunduk malu. Ia teringat dengan situasi beberapa waktu lalu.

****



Dewa untuk DewiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang