Bab 12 Tentang sebuah mimpi

35 8 42
                                    


Detik demi detik terasa begitu cepat, tanpa melihat kebelakang, ia terus berjalan menuju hari, minggu, bulan bahkan tahun. Kini sudah dua Minggu terlewati setelah pengumuman wawancara Cinema dan hari ini tibalah pada hari Makrab (Malam Keakraban) anggota baru Cinema.

Tepat pada pukul tujuh pagi, mereka akan berkumpul di kampus untuk menuju ke puncak dimana acara akan berlangsung. Acara Makrab hanya dilakukan di kampus selama tiga hari satu malam, mengingat Covid 19 yang belum sepenuhnya, membuat panitia memberikan jalan untuk acara di kampus saja, karena takut terjadi sesuatu jika berkegiatan di luar kampus, itu pun setiap anggota Cinema baru ataupun lama disyaratkan untuk vaksin terlebih dahulu sebelum mengikuti acara Makrab ini.

Dewi sudah berada di kampus dengan surat izin ditangannya, tas dukung yang cukup berat serta satu tas totebag yang berisikan mukena serta alat mandi dan skincarenya membuat Dewi menjadi jadi tenggelam karena barang bawaannya yang seberat itu.

"Aku pamit, Pak," pamit Dewi menyalami punggung tangan bapaknya.

"Iya, hati-hati. Jaga diri," ucap Prapto mengelus kepala putrinya, lalu pergi meninggalkan kampus Dewi.

Setelah melihat Bapaknya hilang pada jarak pandangnya, segera Dewi berkumpul dengan teman-temannya yang sebagian sudah berkumpul di  lapangan Fakultas Adab.

Dewi melihat dan menghampiri Prima yang sibuk memasukkan sesuatu ke dalam tasnya secara paksa.

"Kenapa, Prim?"

"Eh, Wi." Prima menoleh ke arah Dewi, lalu pandangannya beralih ke tas dan lima susu kotak rasa taronya yang ingin gadis itu masukkan ke dalam tas.

"Ini, udah gak muat dimasukin, huhu," keluh Prima.

Mengenal Prima yang hampir sebulan, membuat Dewi sedikit paham bahwa gadis Jambi itu tidak bisa lari dari susu kotak rasa taronya, jadi tak heran jika Prima membawa begitu banyak stok susu kota rasa taronya untuk kepergian ini.

"Sini, titipin ke tas gue aja, mungkin muat untuk 2 kotak," ucap Dewi memberikan solusi.

"Beneran? Ah makasih, Wi." Mata Prima begitu berbinar dan memberikan dua kotak susu rasa taronya, lalu sisanya ia masukkan ke dalam tas nya sendiri dan ternyata muat.

"Udah, Yuk?" ajak Prima menyandang tas nya, wajah cemberut gadis itu entah hilang kemana.

Lapangan Fakultas Adab semakin ramai, baik anggota baru dan lama Cinema sudah banyak yang datang, sedari tadi beberapa panitia sibuk kesana kemari untuk menyiapkan acara pembukaan.

Para anggota Cinema baru, di arahkan untuk mengumpulkan tas mereka terlebih dahulu di suatu tempat, dan setelah itu mereka di suruh berkumpul di lapangan, mereka di bagi satu kelompok yang terdiri empat orang untuk menegakkan tenda, dan kelompok itulah yang menjadi teman kelompok mereka.

Setelah pembagian kelompok itu, mereka pun berpencar. Beruntung Dewi satu kelompok dengan Prima dan setelah mereka menemukan dua teman mereka yang lain, barulah mereka sibuk untuk menegakkan tenda. Tapi, saat semua orang sudah hampir siap menegakkan tenda mereka, tidak dengan kelompok Dewi yang berdiripun tidak tenda mereka.

"Tolong tarik itu ke sisi yang lain," tunjuk Prima kepada seseorang gadis rambut cepol untuk menarik tali yang terikat dengan tenda yang diperintahkan Prima.

"Wi, tolong ambil palu itu, Wi. " Prima sibuk meminta tolong teman sekelompoknya, karena ia sangat ingin tendanya cepat selesai. Sedari tadi suara kakak panitia terus bergema untuk segera menyiapkan tenda. Namun, bukannya berdiri dengan kokoh, tenda mereka malah miring dari sisi kanan, jika angin bertiup kencang mungkin sudah terbang tenda mereka ini.

"Hey, kalian!"

Keempat gadis itu menoleh ke arah suara memanggil mereka, keempatnya meneguk ludah karena takut, lihatlah Edward sedang berdiri di depan tenda mereka dengan berkacak pinggang. Bersiaplah untuk mendengar ocehan pemuda Batak itu sekarang.

"Kenapa tenda kalian belum berdiri juga, lihat acara pembukaan sebentar lagi di mulai," tegur Edward kepada Dewi dan teman-temannya membuat para gadis itu menunduk takut.

"Maaf, Kak. Sedari tadi kami kesusahan untuk membangun tenda, Kak. Jadi, sampai sekarang tendan
nya juga belum berdiri,"  Prima maju selangkah memberanikan berbicara, sungguh gadis sumatra itu patut di acungi jempol keberaniannya.

"Kenapa kau tidak minta tolong sama orang-orang di sini kalau kesusahan heh! Sudahlah sebentar aku carikan orang untuk membantu kalian, dan kau kuingatkan sekali lagi untuk tidak memanggilku dengan sebutan kak, paham kau?" Bang Edward begitu menggebu mengatakan kepada Prima, membuat gadis itu terdiam paham.

Seperti yang Edward bilang kenapa mereka tidak meminta tolong kepada orang sekitar untuk membantu mereka, Dewi dan teman-temannya terlalu takut untuk meminta tolong kepada orang yang belum kenal, bahkan Prima pun hilang nyalinya jika berhadapan dengan seseorang yang tak ia kenal, jadi lebih baik selesaikan sendiri daripada harus meminta tolong kepada orang sekitar, lagian siapa sesi acara ini, kenapa tidak mendirikan tenda setelah upacara pembukaan sih, merepotkan saja.

"Dewa sini kau." Atensi Dewi sepenuhnya terfokus pada seseorang yang dipanggil oleh Bang Edward, pemuda itu berjalan ke arah mereka saat tau namanya di panggil dengan lilitan kabel di tangannya yang Dewi kira untuk sound system atau bahkan untuk yang lain.

"Kenapa?" tanya Dewa saat sudah berada di hadapan pemuda Batak itu.

"Ini kau coba bantulah mereka, dari tadi tenda mereka tidak juga berdiri, acara pembukaan sebentar lagi akan di mulai ini," ucap Edward kepada Dewa menunjuk tenda Dewi dan teman-temannya.

"Tapi, gue bantu yang lain, untuk sound system nanti," jawab Dewa memperlihatkan gulungan kabel pada tangannya.

"Sini kasih ke aku, biar aku ke mereka, kau uruslah para perempuan ini, yang aku tau sebelum acara pembukaan dimulai tenda ini harus siap.

"Iya aman," jawab Dewa santai.

"Oke, aku pigi dulu."

Dewa mulai membantu Dewi dan teman-temannya mendirikan tenda, sesekali ia memandang ke arah Dewi yang fokus membantu juga, entah kenapa akhir-akhir ini Dewa selalu berfokus pada gadis pendiam yang satu itu.

***

Karena adanya bantuan orang yang lebih ahli, kurang dari tiga puluh menit tenda sudah siap, Prima bersorak kegirangan dan bertos ria dengan Dewi dan kedua temannya.

Mereka mulai memasukkan tas mereka yang ada di pinggir lapangan ke dalam tenda satu per satu, Dewa belum juga beranjak dari tenda orang itu, entah kenapa ia ingin beristirahat terlebih dahulu. Tapi, saat Dewi masuk tenda untuk memasukkan tas nya, ia melewati Dewa dan tanpa sadar menjatuhkan sebuah novel.

"Hey," panggil Dewa membuat Dewi menoleh menghentikan langkahnya untuk masuk tenda.

"Novel lo jatuh, ternyata lo gak bisa lepas dari benda yang satu ini ya," ucap Dewa menyerahkan sebuah novel yang lumayan tebal kepada Dewi.

Benar kata Dewa, novel adalah benda yang tak bisa jauh dari Dewi, kemana pun Dewi pergi ia selalu membawa benda itu. Entah ia bisa membaca bukunya atau tidak, yang pasti Dewi harus membawanya, karena jika jauh dari rumah, Dewi lebih suka menghabiskan waktunya untuk membaca novel dan hanyut dalam cerita itu daripada sibuk dengan ponsel yang menghabiskan waktunya secara percuma. Membuat perasaan membandingkannya semakin menjadi besar.

"Makasih." Dewi segera mengambil novelnya saat sadar bahwa novelnya tidak ada di dalam tas, untung novel itu cepat ditemukan kalau tidak mungkin Dewi sudah uring-uringan jika tau novelnya hilang. Meski sudah lecek, Dewi sangat menyukai novel itu, novel itu adalah novel pertama yang ia beli setelah ia menabung selama kurang lebih dua bulan, di tambah ada tangan penulis di buku itu.

Dewi langsung masuk tenda, membuat Dewa semakin penasaran dengan gadis pendek itu.

Apa bagusnya sebuah cerita fiktif sehingga Dewi segitunya. Bukankah cerita imajinasi itu hanya sebuah cerita?

Dewa benar-benar penasaran dengan dunia novel itu. Atau lebih tepatnya ia penasaran dengan dunia Dewi. Tentang bagaimana gadis itu hidup?

***

Dewa untuk DewiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang