Bab 28 Berjalan dengan semestinya

18 5 0
                                    


Andaikan waktu adalah sebuah kamera, mungkin sudah penuh memorinya mengabadikan kejadian-kejadian yang dialami setiap manusia. Dari mereka yang memiliki ketakutan terbesar dalam hidup mereka, hingga berdamai dengan ketakutan itu dan memeluk lukanya dengan senyuman, entah berapa Giga bite memori yang diperlukan untuk merangkum itu semua.

Namun, dibanding itu semua. Semester menciptakan kamera dan juga memori yang paling keren tak ada yang bisa menandingi. Kita punya mata dan juga kepala yang memilki bermiliar-miliar Giga Bite untuk menampung segala bentuk memori.
Begitu pula mata yang akan menangkap segala kejadian dan menyimpannya dalam kepala sebagai kenangan.

Seperti hari ini, lelaki benetra coklat dengan kemeja warna biru navy itu sedang duduk di pendopo Fakultas Adab Humaniora bersama para juniornya yang sedang menggarap Film pendek untuk diadakan  pada acara Cinema Night yang akan diadakan kurang dari seminggu lagi.

Mereka sedang menontonnya terlebih dahulu, melihat apakah ada yang kurang dari video berdurasi 10/20 menit itu. Film pendek yang bertemakan Semesta alam raya, tampak apik sekali. Berlatarkan sebuah pantai dan dinginnya malam dengan sejuta bintang membuat siapa pun kagum dengan pemandangan itu, dan ditambah pemeran utama yang sangat mendalami karakter, karena itulah mereka yakin bisa memenangkan ajang Film pendek terbaik dalam acara Cinema Night nanti, mereka yakin itu.

Sudut mata Dewa mengarah kepada Dewi yang berada di pojok kiri pendopo, ketika Film pendek itu sudah berada pada durasi terakhir, Dewi bersama Prima yang duduk di sampingnya.

Gadis Jambi itu sudah baik-baik saja, mungkin ada bekas luka, tapi tidak begitu fatal.  Prima bahkan membuktikan ke dokter bahwa ia bisa pulang setelah sehari di rawat, dan benar saja hanya membutuhkan waktu tiga hari, Prima kembali lagi untuk ke kampus seperti biasanya.

Dewa tak buta melihat adanya riasan tipis pada wajah Dewi, walau tanpa menggunakan riasan pun Dewi selalu cantik di mata Dewa. Gaya pakaiannya yang agak lebih berubah serta senyum yang sering terkembang dan tak jarang ia terkekeh oleh candaan dari teman-temannya, membuat Dewa tersenyum lega.

Beberapa waktu belakangan, melalui pesan yang sering mereka kirimkan, Dewi sedikit menceritakan tentang self love. Mungkin karena itulah ia begini sekarang, Dewi yang tampak bahagia dengan luka yang sudah dipeluknya.

"Kak?" panggil seseorang menepuk pundak Dewa saat ia menutup laptopnya, karena film pendek itu sudah ditayangkan.

Dewa agak tersentak dan segera mengalihkan atensinya kepada semua junior yang menunggu jawabannya.

Dewa berdeham, "sebelum pendapat saya tentang film ini, apakah ada yang ingin memberikan pendapatnya terlebih dahulu tentang film ini?" tanya Dewa membuat semua juniornya menunjuk tangan antusias.

"Baik kamu," tunjuk Dewa kepada seseorang gadis berkuncir dua.

"Menurut saya, Kak. Film sudah pas dengan konsepnya kak, apalagi karakter Jala dan Lily yang sangat mendalami karakter, membuat para penonton tau bahwa setiap manusia itu saling membutuhkan walau sepelik apapun masalahnya."

"Ada lagi?"

Semua tunjuk tangan lagi, hingga Dewa menunjuk Dewi.

"Iya silakan, Dewi."

Dengan semangat menggebu, Dewi berdeham, "menurut saya Film ini hampir sempurna, karena kembali lagi tidak ada yang sempurna selain Tuhan semesta alam, nah saya sedikit menemukan kejanggalan pada opening, menurut saya bagaimana openingnya agak lebih lama sebelum masuk adegan, seperti adegan debur ombaknya agak lebih dilamain sedikit, atau view pantainya lebih di eksplore lagi, karena kita kan mengangkat tema semesta alam nah bagaimana sebelum masuk ke adegan dimana munculnya Jala dan Lily, kita menjelaskan dulu tentang semesta alam raya dari pemandangan pantai itu kak, itu saja dari saya untuk yang lainnya sudah bagus." Ucapan Dewi sangat panjang sekali, namun hampir semua mengangguk dengan apa yang disarankan Dewi, perkataan Dewi tampak masuk akal, yang bisa dipertimbangkan.

"Oke, catat semua catatan koreksi dari  teman-temannya ya, Je. Supaya bisa kita perbaiki lagi," ucap Dewa kepada Rajendra yang tugasnya mencatat setiap rapat diadakan.

Rajendra mengangguk dan mulai mencatat apa-apa saja yang perlu di koreksi pada film ini, termasuk masukan Dewi tadi dan beberapa saran dari temannya yang tak sempat ditunjuk, Rajendra mencatat semuanya.

"Oy kalean!" Saat mereka sedang sibuk saling memberikan masukan, tiba-tiba saja Edward memanggil mereka dari lapangan dekat pendopo dengan gerobak Mamang batagor di sampingnya.

Semuanya menoleh, "mau batagor gak kalean? kutraktir sini." Mendengar kata traktir, semua menoleh kepada Dewa meminta persetujuan jika tak ada lagi yang perlu dibahas.

Dewa terkekeh, "ya ya silakan aja, kita juga mau pulang kok."

Bagaikan anak ayam, mereka langsung menyerbu Edward dan mamang gerobak batagornya.

"Bang, aku satu gak pake kentang!"

"Aku juga bang, pedes!"

"Ha ambil la ya, nanti aku bayar. Itung aja nanti berapanya, Mang." Setelah mengucapkan itu Edward keluar dari gerombolan dan menuju pendopo dimana hanya tinggal Dewa di sana. Prima dan Dewi bahkan ikut mengantri. Memang masalah traktir mentraktir ini Bang Edward emang terbaik.

***

"Mau langsung pulang?" Dewa berdiri samping motor Dewi yang terparkir di dekat pendopo Fakultas adab dan Humaniora, setelah makan batagor bersama di pendopo tadi, satu persatu mulai beranjak dari pendopo ada yang menuju kelas mereka karena masih ada jam kuliah, ada yang pulang dan ada beberapa juga yang masih stay di pendopo membincangkan beberapa hal, seperti Prima yang asik berbicara dengan Bang Edward dan juga beberapa rekannya yang lain.

Dewi yang berniat pulang, menghentikan kegiatannya ketika Dewa tiba-tiba saja berdiri di samping motornya.

"Eh gimana?" tanya Dewi rada ngeblank karena kehadiran Dewa yang tiba-tiba.

"Lo mau langsung pulang?" tanya Dewa sekali lagi, ia memainkan kaca spion motor Dewi.

"Wa, ih jangan dimainin nanti rusak."  Tanpa menjawab pertanyaan Dewa, Dewi menepuk punggung tangan Dewa supaya tidak membolak-balikan kaca spion motornya.

Dewa terkekeh, "oke-oke sorry, ini lo mau langsung pulang? Gue nanya dari tadi loh," ucap Dewa tidak lagi memainkan kaca spion Dewi.

"Iya langsung pulang, kenapa?"

"Jalan yuk."

"Hah?"

"Tunggu sini."

Tanpa menunggu bantahan dari Dewi, Dewa kembali ke pendopo mengambil kunci motornya dan berpamitan dengan yang lain.

"Minta kunci motor." Dewa kembali ke parkiran motor menjulurkan tangannya, namun tak ada respon dari Dewi, ia mengambil kunci motor yang tergantung pada kontaknya lalu melemparkan ke arah Edward dan diterima dengan apik oleh Edward.

"Tolong pulangin ke rumahnya, tuannya gue culik sebentar!" Dewa mengeraskan suaranya dari parkiran yang jaraknya tidak terlalu jauh ke pendopo, dan langsung diiyain oleh Edward.

Dewa kembali memandang ke arah Dewi yang masih ngeblank, ia memakaikan helm ke Gadis itu yang tergantung di kaca spion motor gadis itu.

Klik

"Yuk," ajak Dewa mengeluarkan motornya dari parkiran.

"Kita mau kemana?" tanya Dewi baru hilang blanknya.

"Mars."

"Serius."

Dewa tertawa, "becanda, gue bakal ajak lo ketempat yang lebih indah dari itu."

"Kemana?" Dewi masih saja bertahan dengan pertanyaannya.

Netra coklat Dewa menembus netra legam Dewi,  lengkungannya yang tercipta dari bibirnya begitu tipis tapi magis.

"Semesta Dewa, semesta Dewa yang ada Dewi di dalamnya."

***

Dewa untuk DewiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang