5

825 87 8
                                    

Tadi ragu, mau up atau nggak. Jadi saya memutuskan untuk up HUAHAHAAA (Ketawa psikopat)🤣🤣🤣
.
.
.
Saat malam hari, Hinata terbangun dari tidurnya, lenguhan kecil keluar dari mulutnya. Ia kemudian duduk sambil memegang kepalanya yang terasa sedikit sakit.
"Kau butuh sesuatu?" Tanya Levi tiba-tiba, mengejutkan gadis itu.
"Ah, Levi Heichou!" Hinata menyentuh dadanya yang berdegup kencang karena terkejut.
"Kau butuh sesuatu?" Tanya Levi lagi.
"Tolong ambilkan air minum, Heichou." ucap Hinata.

Levi tanpa berbicara langsung mengambil segelas air minum dan memberinya pada Hinata.
"Terima kasih, Heichou." Hinata menerima gelas itu dan menenggak airnya hingga tandas.
"Kau terlalu lelah hingga jatuh pingsan. Seharusnya kau tidak perlu mengeluarkan semua kekuatanmu." ucap Levi menyenderkan bokongnya pada pinggiran meja.
"Maaf, Heicho." ucap Hinata menunduk.
"Mandilah, aku akan menjemputmu sebentar lagi untuk makan malam." setelah mengatakan itu, Levi pergi dari kamar Hinata.
.
.
.
Di dalam ruang makan, Hinata melihat Mikasa, Sasha, dan Armin melambai pada dirinya dan juga Levi yang baru saja masuk.

Setelah memastikan Hinata bergabung bersama teman-temannya, Levi langsung pergi dari tempat itu.
"Ini, kau makanlah agar kau sehat!" ucap Mikasa memberi sepiring nasi dan daging ke hadapan Hinata.
"Terima kasih, Mikasa." ucap Hinata.
"Kau benar-benar membuat kami khawatir saat pingsan tadi." ucap Armin.
"Maaf, aku sepertinya kelelahan." sesal Hinata.
"Itu wajar karena kau hampir menghabisi semua titan yang ada di sana." ucap Mikasa menepuk pelan pucuk kepala Hinata.
"Ngomong-ngomong, sepertinya Heichou tertarik padamu." ucap Connie.
"Ha? Heichou? Levi Heichou?" Tanya Hinata tidak yakin.
"Iya." angguk Jean.
"Benar, aku melihat si cebol itu seperti tertarik padamu, terutama saat dia memelukmu ketika berkuda dengannya." ucap Connie.
"T-tidak, itu tidak mungkin. Heichou hanya bertugas mengawasi ku, tidak lebih." Hinata menggeleng dengan rona merah menghiasi wajahnya.
"Aku yakin Heichou tertarik padamu!" ucap Connie bersemangat.
"Hm, aku juga yakin." ucap Jean.
"Sudahlah, hentikan itu. Lanjutkan saja makan kalian. Eren, habiskan makananmu, cepat!" ucap Mikasa.
"Berhenti mengaturku! Kau bukan ibuku!" Kesal Eren menghabiskan makanannya dengan cepat.
.
.
.
Dua Minggu kemudian, di tempat latihan, Hinata melihat banyak pasukan pengintai yang sedang berlatih. Ada yang bertanding satu lawan satu, mengasah kemampuan berpedang, dan masih banyak lagi.
"Hinata, kenapa hanya berdiri di sana? Ayo latihan bersama!" Ucap Sasha.
"Eh, ha'i." Hinata langsung menghampiri Sasha dan yang lainnya.
"Hinata, mau bertanding denganku?" Tawar Mikasa.
"Baiklah." angguk Hinata.

Hinata dan Mikasa kini berdiri dengan berhadapan dengan kuda-kuda mereka.
"Kau siap?" Tanya Mikasa, diangguki oleh Hinata.

Mereka berdua kemudian lari secara bersamaan, melayangkan tinju ke arah wajah dan dengan mudah ditangkis oleh mereka berdua.
"Hei, lihat! Mikasa bertanding dengan gadis itu!" Ucap salah satu pasukan yang berlatih.
"Ayo lihat!" Ucap pasukan yang lain, mereka mulai membentuk lingkaran dengan Hinata dan Mikasa yang berada di tengah-tengah.

Mikasa melompat setinggi Hinata, memutar tubuhnya di atas udara, lalu kaki kanannya ia luruskan dan ia layangkan ke atas kepala Hinata.

Beruntung Hinata langsung salto balik sebanyak tiga kali menghindari serangan Mikasa. Tatapan terkejut tidak bisa ia sembunyikan saat melihat tanah yang ia pijak tadi telah retak dan menciptakan lubang hancur sedalam 10 cm.
'Mikasa, dia cukup tangguh untuk manusia biasa. Aku jadi teringat pada Sakura.' batinnya mengingat temannya saat di dunia ninja dulu.
"Mikasa, jangan terlalu serius mengeluarkan kekuatanmu!" Ucap Armin memperingati.
"Maaf, aku lupa." Ucap Mikasa menatap Hinata yang kini berdiri tegak, begitu pun dengannya.
"Tidak masalah, Mikasa. Keluarkan saja semua kemampuanmu, aku akan meladeninya." Ucap Hinata santai.
"Jika itu mau mu." Mikasa tersenyum.

Mereka kemudian saling berlari untuk menyerang, namun langsung berhenti saat Levi datang ke tengah-tengah mereka, menghentikan pertarungan yang mungkin saja akan melukai salah satu diantara mereka.
"Latihan cukup sampai disini!" Tegas Levi yang memegang kedua bahu gadis itu.
"Heicho!" Terkejut Mikasa dan Hinata, begitu juga dengan pasukan yang lain.
"Jika kalian bertanding, maka pasukan pengintai akan kehilangan kekuatan karena kalian berdua terluka!" Jelas Levi menjauhkan tangannya dari kedua gadis itu.
"Mikasa, Hinata, sebaiknya kita istirahat." Ucap Armin.
"Kau benar, Armin." ucap Mikasa.
.
.
.
Tiga Minggu kemudian, saat menyantap makan siang, Hinata meletakkan sendoknya ke atas piringnya.
"Mikasa, sudah berapa lama kalian mengalami kejadian ini? Titan datang menyerang dan memakan para manusia?" Tanya Hinata menatap Mikasa yang duduk di samping kanannya.
"Sudah sangat lama sekali dan sampai sekarang para titan itu masih saja belum bisa dimusnahkan." Ucap Mikasa.
"Benarkah? Pasti kalian telah melewati hari yang sangat buruk seperti di neraka." Ucap Hinata sedih.
"Bahkan kami kekurangan makan di sini. Jadi, ku harap kau tidak bosan jika hanya makan bubur, kentang rebus, dan roti saja, Hinata. Jika pun ada daging, itu terlalu mahal untuk dibeli dan menjadi makanan paling langkah karena sulit untuk didapatkan." Jelas Armin.
"Tidak, Armin. Aku sama sekali tidak merasa bosan hanya kerena makan-makanan seperti ini setiap hari. Ini sudah jauh lebih dari cukup, dulu di duniaku, masih ada orang yang belum memiliki rumah dan tidak dapat makanan hingga menjadi pengemis." Jelas Hinata.
"Untuk itu, aku akan membunuh semua titan di luar sana!" Geram Eren mengeratkan sendoknya.
"Apa... kau telah mengalami sesuatu yang buruk, Eren?" Tanya Hinata karena melihat sorot mata Eren yang menggelap disertai rasa benci dan dendam yang mendalam.
"Sebenarnya... Eren pernah... Maksudku, kami pernah mengalami hal yang buruk." Ucap Mikasa.
"Mikasa!" Tegur Armin yang tahu kemana arah pembicaraan yang akan dikatakan Mikasa.
"Tidak apa, Armin." Ucap Eren.
"Dulu, saat kami masih kecil, segerombolan titan menembus dinding pertahanan yang menjadi kota kami. Entah bagaimana caranya, yang jelas saat itu ada Colossal Titan yang entah datang dari mana, dia yang menghancurkan dinding kami dan membuat para titan lain masuk ke pemukiman kami. Menyerang kami, merusak, dan memakan sebagian besar warga di sana. Saat itu, aku, Eren, dan Armin tengah berada jauh di rumah pun ikut terkejut. Eren langsung berlari ke rumah, tidak peduli pada para titan yang mungkin saja akan memakannya. Aku menyusulnya. Sayangnya rumah kami telah hancur, aku melihat Eren yang terdiam saat melihat ibunya tertimpa reruntuhan rumah. Dia langsung berlari untuk menyelamatkan ibunya, aku juga ikut membantu. Namun, titan wanita datang, tepat saat itu juga Hannes datang membawa kami, menjauhkan kami dari ibu yang telah berada digenggaman titan wanita itu. Kami melihat ibu dimakan titan itu." Cerita Mikasa.
"Hiks... hiks... hiks..." Mendengar suara tangisan itu, sontak saja Mikasa yang bercerita langsung menoleh terkejut, begitu juga dengan Eren, Armin, Sasha, Connie, dan Jean.
"Hinata, kenapa kau menangis?!" Tanya Armin tidak menahan suaranya, membuat semua di ruang makan itu menatap ke arah meja mereka.
"A-aku hiks... tidak menyangka hiks... jika k-kalian benar hiks... benar telah melewati hiks... hiks... masa kelam ini sejak kecil hiks..." Tangis Hinata menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Kau menangis!" Ucap Sasha.
"Tentu saja hiks..." Ucap Hinata mengusap air matanya.
"Hahaha lihat wajahmu itu! Kau sangat lucu saat menangis, matamu bahkan memerah, begitu juga dengan hidungmu!" Ucap Connie tertawa menunjuk Hinata.
"Connie!" Tegur Armin.
"Aku berjanji akan membantu kalian menghabisi para titan itu agar kalian bisa hidup damai seperti penduduk normal!" Janji Hinata.
"Hinata, kau sepertinya memang malaikat yang dikirim Kami-sama." ucap Mikasa tersenyum tipis dan hal itu tak luput dari mata Jean yang terus memperhatikan Mikasa hingga ia merona.

Dari sudut ruangan, Levi tengah menatap Hinata dengan tangan kanannya memegang mulut cangkir berisi kopi.
'Menangis hanya karena itu, aneh.' batin Levi, menenggak kembali tehnya dan kembali menatap Hinata, lebih tepatnya mengawasi Hinata.
.
.
.
Seminggu kemudian, sebagian pasukan pengintai tengah berada di atas dinding, menyusun banyak meriam di atas dinding tersebut.
"Apa semuanya telah siap?" Tanya Pixis.
"Ha'i!" jawab mereka.
.
.
.
Hinata, Mikasa, dan Sasha baru saja keluar dari kamar mereka masing-masing.
"Yo, selamat pagi!" Semangat Sasha.
"Selamat pagi, Sasha." Balas Hinata, sedangkan Mikasa hanya mengangguk.
"Hari ini kalian sibuk?" Tanya Sasha sambil berjalan.
"Aku ingin menemui Erwin Taichou di ruangannya." Ucap Hinata.
"Dimana Heichou? Kenapa dia tidak mengikutimu?" Tanya Mikasa menatap Hinata.
"Heichou tadi mengatakan kalau dia akan ke ruangan Taichou lebih dulu." Jelas Hinata.
"Jaa, kalau begitu pergilah. Heichou bukan orang yang suka menunggu." Ucap Sasha.
"Baiklah, aku duluan, ya." Hinata melambai pada Mikasa dan Sasha.
.
.
.
Hinata kini duduk di atas bangku yang berhadapan dengan Erwin dan Levi.
"Jadi, apa yang ingin kau tanyakan, Hinata?" Tanya Erwin menatap Hinata.
"Erwin Taichou, saat itu aku melihat Eren berubah menjadi titan. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Apa titan itu sebenarnya adalah manusia?" Tanya Hinata penasaran.
"Untuk masalah itu, kami juga beluk mengetahui dengan pasti. Kami juga belum mendapati jawaban atas Eren yang dapat berubah hanya dengan menggigit tangannya." Jelas Erwin.
"Ini aneh." Gumam Hinata.
"Soal kekuatanmu itu, apa kami tidak bisa memilikinya juga?" Tanya Levi.
"Tidak Heichou. Aku sudah melihat tubuh kalian yang tidak memiliki setitik chakra pun. Padahal, saat di dunia ku dulu, meskipun hanya penduduk biasa, mereka pasti memiliki setitik chakra. Jadi, kalian tidak bisa menggunakan kekuatan ninja, Heichou." Jelas Hinata.
.
.
.
Hinata saat ini berada di sebuah danau seorang diri, setelah meminta izin pada Levi.

Ia menatap danau itu dalam diam, helaian rambut indigonya melambai kala angin berhembus pelan. Ia kemudian melepas sepatunya, melipat celananya hingga sebatas lutut. Ia melangkahkan kakinya ke arah danau, berpijak di atas air tersebut.

Menarik nafas perlahan sambil memejamkan mata, lalu ia hembuskan bersamaan dengan matanya yang terbuka. Tangannya ia gerakannya dengan lihat dan lembut, hingga air danau itu muncul ke atas udara membentuk sebuah bola. Tangan kanannya ia majukan, membuat bola air itu jadi memanjang, ia kembali menggerekan tangannya dan diikuti air itu.
"Hinata."
"Kyaaaa!" Teriak Hinata saat seseorang memanggilnya, hingga air yang tengah mengudara di atas kepalanya jatuh membasahi tubuhnya.
"L-Levi Heichou, Erwin Taichou, Hange!" Ucap Hinata berbalik menatap ketiga manusia itu.
"Huaaaahahahaha kau biasa berdiri di atas air dan membuat air terbang?!" Semangat Hange setiap kali melihat kekuatan Hinata.
"Kalian mengejutkanku." Ucap Hinata berjalan di atas air hingga berpijak ke atas tanah, berdiri dihadapan mereka.

Erwin dan Levi menatap Hinata yang yang basah kuyup. Hange menoleh ke kiri dan ke kanan menatap kedua pria minim ekspresi itu yang tengah menatap lekat pada Hinata.
"Yo... Baiklah, saatnya kembali Hinata, sebelum monster-monster di sini mengamuk." Hange merangkul bahu Hinata, membawanya menjauhi Erwin dan Levi yang masih diam di depan danau.
"Apa yang dimaksud psikopat gila itu adalah kita?" Tanya Erwin.
"Menurutmu?" Tanya Levi balik menatap langit yang mulai menampakkan warna jingga kemerahan.

TBC

Angel From GodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang