15

488 64 6
                                    

"Hiks... Kyaaa! Dasar bodoh! Hiks... Hinata bodoh! Mau berapa kali lagi kau menjadi orang yang tidak berguna?! Huaa... hiks... Mereka mati karena mu, Hinata! Hiks... huaa..."

Di atas bukit, Hinata menjerit putus asa akan ketidakmampuannya, atas kebodohannya, atas ketakutannya yang membuat rekan-rekannya mati kembali.

Tubuhnya bergetar hebat oleh tangisan, tangannya mengepal memukul tanah beralaskan rerumputan.
"Kenapa?! Kenapa kau menjadi beban terus-menerus, Hinata! Kau sama bodohnya di masa lalu dengan yang sekarang! Tidak berguna!"

Plak

"Bodoh! Hiks...

Plak

"Harusnya hiks...kau mati saja!"
"Apa yang kau lakukan?" Tangan besar dan dingin itu menahan kedua tangan Hinata yang ingin melayangkan tamparan ke wajahnya sendiri.
"Hiks... E-Erwin hiks..." Lirih Hinata berlinang air mata.
"Jangan menyakiti dirimu sendiri, Hinata!" Tegas Erwin menunduk menatap gadis itu.

Hinata menunduk, menggeleng kuat dengan pergelangan tangan yang masih digenggam pria itu.

Erwin mendekap tubuh gadis itu erat, membiarkannya menangis membasahi kemeja putihnya dengan air mata gadis itu. Tangannya bergerak membelai kepala gadis itu.
"Ini salahku hiks..." Ucapan dan tangisan Hinata teredam dalam dada bidang Erwin.
"Tidak, Hinata. Semua berjalan sesuai takdir, mereka tidak mati sia-sia, mereka telah menjadi pahlawan kita. Tidak ada yang bersalah di sini. Jangan menyalahkan dirimu atas apa yang terjadi." Ucap Erwin.
"Seandainya hiks... aku tidak hiks... menahan diriku hiks... seandainya aku tidak hiks... harusnya aku hiks... membantu b-bukan hiks... membebani kalian hiks..." Hinata terus menyalahkan dirinya.
"Bukan salahmu, Hinata." Erwin melerai pelukannya dari Hinata. Sekilas, mata biru menangkap sosok Levi yang berada 4 meter dari belakang Hinata. Tangannya menghapus air mata Hinata.
"Ini bukan salahmu, Hinata. Jika hari ini kau memang menyesali semuanya, maka kau harus membalas pengorbanan mereka dengan melawan para titan saat ekspedisi selanjutnya. Ayo, kau harus beristirahat!" Ucap Erwin.
.
.
.
Armin menatap sendu pada Hinata yang duduk diantara Mikasa dan Sasha di atas ranjang.
"Hinata, kau harus makan. Tidak baik jika kau tidak makan, ini sudah tiga hari kau tidak makan." Ucap Armin menyodorkan semangkuk bubur pada gadis itu.
"Aku tidak lapar." Lirih Hinata menekuk dan memeluk kakinya.
"Jika kau seperti ini, bagaimana kau membalas jasa mereka yang berkorban, Hinata? Makanlah meski sedikit." Ucap Mikasa.

Merasa apa yang dikatakan benar, Hinata menurunkan kakinya, menerima bubur yang diberikan Armin, memakannya secara perlahan.

Mikasa mengambil mangkuk bubur yang kini telah tandas, meletakkannya ke atas nakas.
"Maaf." Satu kata lirih penuh sesal itu tertangkap oleh indra pendengaran Mikasa, Sasha, Armin, Connie, Jean, dan Eren.
"Tidak ada bersalah di sini, Hinata. Lupakan kejadian kemarin. Sekarang, kita harus memikirkan cara untuk membasmi mereka di ekspedisi berikutnya." Ucap Armin, dijawab anggukan oleh Hinata.
.
.
.
Malam telah tiba, pintu kamar Hinata yang sedikit terbuka, dibuka Levi.
"Keluar!" Ucap Levi kesal.
"Ha'i, Heichou!" Ucap Hinata.

Mereka berdua berjalan menuju ruang makan yang sudah ramai didatangi para pasukan pengintai.
"Terima kasih, Heichou." Ucap Hinata.

Levi segera duduk di meja paling sudut, menikmati tehnya yang masih panas seorang diri.
"Cih!" Decihnya pelan menatap tehnya.

Hinata merasa gugup saat Bertolt memberi senyuman padanya.
"Bagaimana keadaanmu, Hinata?" Tanya Reiner.
"A-aku b-baik-baik saja." Gugup Hinata menunduk.
"Syukurlah kau tidak apa. Apa kau selalu seperti itu saat melihat ti--" Tanya Reiner.
"Sebaiknya kita makan, ini sudah hampir dingin." Ucap Connie menyela Reiner, paham jika Hinata tidak ingin berbicara lebih lama pada Reiner.
"Connie benar!" Ucap Sasha keras.

Dari arah pinggir bangku yang Reiner duduki, Annie yang duduk di sebelah Bertolt menatap dalam diam makanannya.
.
.
.
"Aku sungguh penasaran, kenapa Hinata merasa Reiner, Bertolt, dan Annie ia anggap seperti sebuah ancaman?" Heran Connie yang duduk di atas ranjangnya.
"Kau pikir hanya kau? Aku juga penasaran. Tapi, dia sendiri bahkan tidak tahu apa alasannya, dia hanya mengatakan merasa tidak nyaman." Ucap Jean berbaring di ranjangnya yang bersisian dengan ranjang Connie.
"Jujur saja, aku tidak terlalu suka dengan Annie. Kau tau? Aku tidak bisa menebak apa dipikirkan gadis itu karena wajah selalu datar tanpa ekspresi!" Connie membaringkan tubuhnya.
.
.
.
Amethyst-nya melihat Levi yang berjalan dari arah berlawanan di lorong koridor.
"Heic--" panggilannya terhenti, pun langkahnya kala pria bertubuh pendek itu melewatinya begitu saja.

Ia berbalik menatap tubuh pria itu semakin menjauh. Heran ia rasakan melihat pria itu.
"Ada apa dengannya?" Gumamnya menatap lorong yang telah kosong.

Melangkah pergi, ia memasuki ruangan Erwin setelah mengetuk dan diizinkan masuk.
"Ada apa, Hinata?" Tanya Erwin yang sedang duduk di bangku meja kerjanya.
"Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih karena telah menghiburku waktu itu, Erwin." Ucap Hinata merona, memainkan tangannya untuk mengurangi rasa takut.

Pria itu tersenyum tipis melihat tingkah gadis di depan mejanya itu.
"Tidak masalah." Ucap Erwin berdiri dari duduknya, berjalan mendekati jendela, menatap ke luar.
"Hinata!" Panggilnya.
"Ha'i?" Hinata menatap Erwin yang membelakanginya.
"Apa pandanganmu terhadap dunia yang kau tempati saat ini?" Tanya Erwin tanpa melihat Hinata.
"Aku merasa... dunia ini jauh... dari kata baik-baik saja." Ucap Hinata menatap meja Erwin.
"..." Erwin diam tidak bersuara, membiarkan gadis itu melanjutkan ucapannya.
"Jika dilihat, kita dan titan bukankah memiliki bentuk yang sama? Sama-sama manusia. Hanya saja, yang membedakan tubuh mereka begitu besar dan memangsa manusia, menjadi kanibal. Di tempat ini, aku merasa kita semua seolah menjadi iblis. Saling membunuh karena suatu hal tanpa tahu seluk beluknya. Dunia ini... benar-benar neraka." Hinata mengepalkan tangannya menatap lantai.
"Hm, kau benar." Gumam Erwin.
.
.
.
Di lapangan luas penuh dengan rerumputan hijau dan pepohonan yang menyebar, terlihat Hinata dengan teman-temannya duduk di atas rerumputan.
"Lihatlah, burung-burung itu begitu bebas." Ucap Armin melihat sekumpulan burung gereja yang terbang di udara.
"Bagaimana rasanya sebebas burung-burung itu? Hah... Aku ingin punya sayap agar aku bisa terbang bebas menikmati dunia!" Teriak Sasha membaringkan tubuhnya.
"Hm, kau benar, Sasha. Aku juga ingin terbang bebas. Kenapa aku harus terlahir sebagai manusia? Aku ingin menjadi burung." Ucap Jean.
"Salah." Ucap Hinata.
"Ha? Apa maksudmu, Hinata?" Tanya Eren melihat Hinata, begitu juga dengan Armin, Mikasa, Connie, Sasha, dan Jean.
"Kehidupan burung-burung itu tidak jauh berbeda dengan kita. Kita di dunia hidup dengan bertahan hidup dari musuh, predator, manusia raksasa pemakan manusia. Begitu juga dengan burung-burung itu. Sewaktu-waktu, pasti akan ada predator yang menyerang mereka. Entah itu burung lain atau bintang lain. Tidak hanya menyerang mereka, telur atau anak mereka yang masih bayi pun menjadi mangsa nikmat bagi predator. Ingatlah, dunia itu sangat kejam. Semua berjalan sesuai takdir yang semestinya. Ekosistem mengerikan akan berlanjut di dunia ini, kan?" Ucap Hinata mendongak menatap langit dengan sendu.

Mereka yang mendengar ucapan Hinata, membenarkan dalam diam. Merenungi segala yang mereka jalani selama ini.

TBC

Angel From GodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang