Angan hanyalah angan, faktanya segerombolan titan terlihat berlari mendekati lokasi pertarungan mereka.
Ketakutan mulai melanda dalam diri mereka yang melihat gerombolan titan.
Erwin terlihat menunggangi kudanya yang berlari mendekati tim Mikasa.
"Jangan hanya diam! Siapkan diri kalian! Kobarkan api dalam diri kalian! Shinzo wo sasageyo!" Teriak Erwin mengacungkan pedang yang ia genggam di tangan kanannya ke udara.
"Sialan! Apa dia ingin kita melakukan bunuh diri!" Teriak salah satu anggota pengintai.
"Diamlah, sialan! Tidak ada waktunya memikirkan hal itu!" Teriak Anggita yang lain.
"Persetan! Akan ku bunuh mereka!" Teriak anggota yang lain, melesat cepat menggunak Manuver Gear-nya menuju para titan.
.
.
.
Beberapa titan memegang titan Eren, membawanya menjauh dari titan wanita yang wajahnya berlumuran darah dengan asap yang menguat.Gigitan demi gigitan diterima titan Eren, membuatnya berteriak menahan sakit. Tidak ingin kalah, ia menggerakkan tangannya meninju para titan yang hampir mengunyah tubuhnya hingga habis.
Tanpa membuang kesempatan, titan wanita itu berlari menendang titan Eren hingga terseret hingga 25 meter.
"Eren!" Teriak Armin melihat sahabatnya itu yang tidak bergerak dengan asap dan debu yang menyatu.
"Armin! Jangan mendekat!" Teriak Jean menahan Armin yang mencoba mendekati titan Eren.
"Tapi, Eren--" ucapan Armin terputus oleh teriakan Mikasa.
"Armin!" Teriak Mikasa menghampiri Armin dan Jean.
"Mikasa! Eren kalah!" Takut Armin dengan suara bergetar.Mikasa melihat titan Eren yang tidak bergerak sama sekali. Ia juga tahu, sejak tadi menyerang titan, ia akan melihat pertarungan Eren dengan para titan itu seorang diri.
"Tidak ada waktu, biarkan Eren memulihkan diri. Fokuslah pada musuh di depan." Ucap Mikasa datar, kembali melesat menyerang titan.
.
.
.
Bush!Tubuh besar itu terjatuh saat leher belakangnya ditebas. Raut wajah mengeras menahan amarah.
"Hinata!" Teriak Levi dari atas tubuh titan yang telah mati, melompat mendekati Hinata yang masih syok dengan tubuh tegang dan wajah pucat.Rasa amarah serta ucapan kasar yang ingin ia lontarkan, lenyap seketika kala melihat gadis itu dalam kondisi yang mengkhawatirkan.
"Hinata! Sadar!" Ucap Levi menepuk pelan pipi bulat itu.Berjengit kaget, tatapan kosong dan lurus itu, kini menatap pria yang di depannya.
"H-H-Heichou..." Gumamnya bergetar.Matanya memanas, cairan bening itu tumpah seketika.
"Huaa... hiks... Heichou! Hiks... huaa..." Suara tangisan itu keluar dari mulut Hinata.Sesak merasuki dada, tangan yang menggenggam dua pedang itu segara menarik tubuh Hinata dalam pelukannya.
"Tidak apa! Semua baik-baik saja!" Nada yang biasa dingin, datar, dan menusuk itu, kini mengalun lembut.Tangan gadis itu terangkat membalas pelukan Levi. Dalam tangis, ia menyelipkan nama 'Levi'.
.
.
.
Berjam-jam lamanya pertarungan mengorban banyak nyawa itu akhirnya berakhir kala mentari berganti bulan.Semua pasukan pengintai bergerak mundur, berkumpul di bawah sebuah pohon besar dan tinggi.
Beberapa obor dipegang oleh beberapa anggota pasukan pengintai.
Levi, pria itu mendudukkan Hinata di atas tanah, menyenderkan tubuhnya ke batang pohon.
"Hinata, apa kau terluka?" Tanya Mikasa mendekati Hinata yang terduduk lemah.Hinata menggeleng pelan menjawab pertanyaan Mikasa.
"Apa kau baru saja menangis?" Tanya Armin yang sudah bergabung dengan Hianta dan Mikasa, begitu juga dengan teman-temannya yang lain.Hinata kembali menggeleng, menundukkan kepalanya, tidak ingin menunjukkan wajah.
"Sebaiknya kita bergerak sekarang." Ucap Erwin.Semua pasukan segera bersiap untuk kembali ke Shiganshina.
"Ayo, Hinata!" Sasha membantu Hinata berdiri dari duduknya.
"Dimana kudamu?" Tanya Eren.
"Dia... pergi." Ucap Hinata lirih.
"Ayo! Kau denganku." Ucap Mikasa menaiki kudanya, disusul Hinata yang duduk di belakang Mikasa.Segera mereka menaiki kuda meraka, lalu kuda-kuda itu berjalan dengan tenang di tengah hutan gelap yang hanya hanya disinari oleh beberapa obor.
.
.
.
Disaat mentari menampakkan dirinya malu-malu, gerbang Shiganshina terbuka, membiarkan para pasukan pengintai masuk.Seperti biasa, semua penduduk berdiri di pinggir jalan menyambut para pasukan, terkhususnya keluarga mereka, berharap jika tidak ada korban sama sekali.
Tapi, semua hanya angan semata, kala melihat banyak gerobak menampung mayat para pasukan pengintai.
Isak tangis tidak mampu tertutupi oleh mereka, terlebih kala mayat-mayat yang telah dibungkus rapi itu dijejerkan di atas tanah. Histeris kembali terdengar kala anak dan suami mereka adalah korban kekejaman para titan.
Hinata yang berada di atas kuda bersama Mikasa menunduk dalam, takut memandang menampakkan wajah. Ia menyesal tidak mampu membantu saat itu.
"Anakku! hiks... anakku!"
"Suamiku! hiks... Jangan tinggalkan aku! hiks..."
"Ayah! hiks... huaaa... ayah! Jangan tinggalkan aku, ayah! Huaa... hiks..."Tubuh Hinata bergetar menahan suara tangisnya. Ia tida kuat mendengar tangisan pilu mereka. Mengingatkannya pada orang tua, sensei, rekan, dan para penduduk yang tewas di dunianya dulu.
"Hinata!" Teriak Mikasa dan Armin saat melihat gadis itu melompat dari kuda, berlari menjauh dari mereka.Hinata berlari ke kamarnya, tak lupa mengunci pintunya. Ia menaiki ranjang, berbaring meringkuk dengan isakan.
.
.
.
"Reiner, di sini!" Eren melambai pada Reiner yang membawa makanan terlihat mencari meja kosong bersama Bertolt dan Annie.
"Ya!" Ucap Reiner mendekati Eren dan yang lainnya bersama kedua temannya itu.
"Annie, tadi Reiner mengatakan kau sempat tidak terlihat, kami pikir kau kau sudah jadi santapan." Ucap Connie santai.
"Dia membantu Moses." Ucap Bertolt, karena ia tahu jika Annie tidak akan mengucapkan sepatah kata dari mulutnya.
"Hinata, bagaimana dia?" Tanya Jean menatap Mikasa.
"Aku belum menemuinya." Ucap Mikasa.
"Ngomong-ngomong, apa gadis itu bukan berasal dari dalam dinding?" Tanya Reiner.
"Tidak tahu." Ucap Armin cepat.
"Lalu, bagaimana dia bisa bergabung dalam pasukan pengintai?" Reiner mengernyit heran.
"Levi Heichou yang memerintahnya. Bahkan, Heichou sendiri yang turun tangan untuk mengawasi Hinata." Jelas Eren.
"Kenapa harus diawasi?" Tanya Bertolt.
"Entahlah, Heichou sendiri yang turun tangan tanpa perintah." Ucap Eren.
"Mikasa, ayo melihat Hinata!" Ajak Armin, walaupun tujuan sebenarnya adalah menghindari pertanyaan Reiner dan Bertolt, ia merasa tidak nyaman sekarang jika berdekatan dengan Reiner, Bertolt, dan Annie.
"Ayo! Eren, kau ikut?" Tanya Mikasa.
"Ya." Ucap Eren berdiri dari duduknya.
"Kami ikut! Sampai jumpa!" Ucap Connie berdiri, begitu juga dengan Sasha dan Jean, pergi meninggalkan Reiner dan kedua temannya.
.
.
.
Entah untuk ke berapa kalinya Mikasa memanggil dan mengetuk pintu kamar Hinata, tapi tidak sekalipun gadis itu menjawab.
"Hinata, kau tidak apa?" Tanya Sasha.
"..."
"Hinata, kau belum makan, kan? Kami membawa makan malam untukmu." Ucap Armin khawatir.
"Sudahlah, sepertinya dia memang ingin sendiri dulu." Ucap Jean.Sedangkan di dalam kamar itu, hanya sunyi hampa yang terasa, tanpa ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Ranjang kecil itu terasa dingin, tidak ada sosok mungil yang menidurinya.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Angel From God
General Fiction🪄[Discontinued]🪄 Disaat invasi Pain terjadi, Hinata Hyuga merelakan nyawanya demi pujaan hatinya. Namun, saat semua organ tubuhnya terhenti, entah kenapa ia bisa bangun di tempat yang tak ia kenali. Tempat dimana kehidupan barunya dimulai. Hinata...