2

208 22 30
                                    

Bel mata pelajaran terakhir berbunyi. Bagi sebagian besar siswa, suara bel tersebut bagaikan sangkakala yang membangkitkan rasa ingin cepat-cepat pulang. Maka, segera setelah Bu Alfi, guru mata pelajaran bahasa Inggris mengakhiri kelas, seluruh siswa kelas 10 IPA 2 bangkit dan membereskan tas mereka.

"Cepetan Airaaaa, gue udah kebelet banget!" Keisha menghentakkan kakinya tidak sabar. Beberapa teman sekelas mereka sudah berhamburan keluar kelas, tapi Aira masih sibuk membereskan catatannya.

"Bentar ini dikit lagiii... nah, nah, nih dah selesai!"

Aira buru-buru menutup bukunya dan menjejalkannya ke dalam tas, tergopoh-gopoh mengikuti Keisha. Namun, langkah mereka terhenti tepat di depan pintu.

"Aira!" seru Agnes, anak kelas sebelah. Tangannya mencengkeram pergelangan tangan Aira.

"Aduh apaan lagi sih ini?!" hardik Keisha tidak sabar. 

"Bentar ini gue mau nyampein pesan dari Pak Iman!" Agnes melotot seolah tidak mau kalah. 

"Yaudah, yaudah terserah tapi awas minggir gue mau pipis!"

Keisha mendorong tubuh Agnes ke samping untuk melewatinya, kemudian melesat menuju toilet terdekat. 

"Kenapa Pak Iman?"

"Ini buat persiapan olim biologi, katanya besok pagi kita ada pertemuan buat bahas jadwal belajar bareng sama bagiin modul," terang Agnes. 

Mereka berdua memang terpilih sebagai perwakilan sekolah untuk seleksi olimpiade biologi tingkat kota bersama dua siswa lain. Lombanya bulan depan, jadi wajar saja kalau Pak Iman, guru pendamping mereka, cepat-cepat mengatur jadwal belajar dan kebutuhan latihan.

"Oke, terus?"

"Lo disuruh bantu siapin bahannya, soalnya Pak Iman ada rapat. Katanya ambil aja buku modul di meja dia, terus bawain ke perpus."

"Harus sekarang?"

"Iyalah. Kalo engga ngapain gue cegat lo?" Agnes memutar bola matanya. 
"Sama sekalian ada kotak isinya bahan praktikum, sekalian dibawain ke lab katanya."

"Yaudah, yuk." 

"Lo aja lah, gue buru-buru ini udah dijemput. Minta tolong ya, Ra. Bye!"

Belum sempat Aira menjawab, Agnes sudah berlari meninggalkannya.

"Oya, Ra, kunci lab sama perpus ada di laci meja Pak Iman! Buka aja katanya!" Agnes berseru dari jauh.

Aira berdecak, sama sekali tidak berminat membalas seruan Agnes.

Sambil sedikit menggerutu, ia akhirnya mengalah. Sebelum berjalan menuju ruang guru, Aira meraih ponselnya dan mengirimkan pesan singkat ke Keisha, memberitahu sahabatnya untuk pulang duluan tanpa menunggunya.


***


Aira berjalan dengan sedikit terhuyung. Ternyata, barang-barang yang disebutkan Pak Iman tidaklah sedikit. Mungkin karena itulah beliau menyampaikan pesan kepada Agnes dan Aira sekaligus --supaya keduanya bekerja sama. Eh, Agnes malah pergi duluan. 

Dengan sekuat tenaga, Aira membawa dua kotak besar sekaligus. Kotak pertama berisi buku-buku modul, buku latihan soal, dan kertas-kertas fotokopi kumpulan soal, yang sama sekali tidak ringan. Kotak kedua berisi peralatan praktikum yang entah apa isinya, tapi suaranya terdengar seperti kaca. Beneran deh, tangan Aira rasanya kayak mau copot!

Sialnya, jarak antara ruang guru dan laboratorium biologi lumayan jauh. Tidak hanya melewati lapangan upacara, perjalanan dari ruang guru ke laboratorium biologi juga melewati dua gedung kelas. Sementara, perpustakaan letaknya lebih jauh lagi; di lantai dua bangunan setelah laboratorium. 

Aira sudah nyaris pingsan ketika akhirnya ia sampai di depan ruang laboratorium. Napasnya tersengal-sengal. Kakinya agak gemetaran karena berjalan jauh sambil membawa barang berat. Tapi, masalahnya tidak berhenti di situ. 

Pintu ruang laboratorium kan dikunci!

Aira mengerang kesal. Ia menyesal kenapa tadi tidak menyuruh Keisha membantunya. Ini gimana coba caranya buka kunci pintu sambil bawa barang berat begini. Mau ditaruh dulu ke lantai juga susah. Hadeh.

"Yaampun, sini-sini gue bantu!" 

Aira sedikit terkejut mendengar suara yang tiba-tiba terdengar dari arah berlawanan, disusul sepasang tangan yang mengambil alih barang bawaannya. 

"E, eh... Makasih!" Aira mengerjapkan matanya, kaget. Tiba-tiba, seorang siswa laki-laki sudah berdiri di sampingnya. 

Aira tidak mengenal siswa laki-laki itu. Tubuhnya tinggi dan atletis. Rambutnya dipangkas rapi. Selain seragamnya yang berantakan dan wajahnya yang berkeringat, ia cukup tampan. 

"Badan lo kecil gitu kok bawa barang segini banyak. Gedean kotak ini dari pada lo, tau nggak?"

Aira mendengus. "Lo mau bantu apa ngeledek, sih?"

"Iya, iya. Bercanda. Buruan bukain pintunya, tuh kaki lo gemeteran!"

Aira buru-buru memalingkan wajahnya dan membukakan pintu. Rasanya agak malu karena ketahuan kalau kakinya kecapekan.  

"Ini mau ditaruh di mana?"

"Hmm.. sini aja deh," celetuk Aira sambil berjalan memasuki ruangan, menunjuk meja kayu berukuran besar di salah satu sisi ruangan. 

Laki-laki itu menurut. Dengan hati-hati, ia meletakkan dua kotak kardus yang dibawanya. 

Aira menghampiri meja tersebut, kemudian menurunkan tumpukan kotak peralatan praktikum dari atas kotak buku. 

"Makasih ya," Aira menoleh ke arah laki-laki itu. 

"Milan."

"Hah?"

"Nama gue Milan." 

"Oh."
"Aira."

"Iya, sama-sama Aira." Milan tersenyum. 

Aira tidak yakin apakah ini hanya pendapatnya saja atau memang benar begitu. Menurutnya, senyum Milan barusan tidak hanya terpatri pada bibirnya, tetapi juga memancar melalui matanya.

Aira terbatuk kecil. Ia berusaha menetralkan suasana yang, menurutnya, tiba-tiba jadi aneh. Jantungnya berdetak agak lebih cepat, dan pipinya terasa memanas.

"Buruan keluar gih, pintunya mau gue kunci." Aira cepat-cepat mengangkat kotak berisi buku dan berjalan menuju pintu.

"Terus kenapa yang itu lo angkat lagi?"

"Yang ini dibawa ke perpus."

"Perpus lantai dua?"

Aira mengangguk. Milan berjalan mendekatinya.

"Yaudah, yuk gue anter!" 

Sedetik kemudian, kotak buku itu sudah berpindah dari tangan Aira. Milan menatap Aira sebentar, kemudian berlalu dan menghilang di balik pintu.

Aira menerjapkan matanya sekali lagi. Fix, kali ini jantungnya memang berdegup lebih cepat. 


***

The Unseen EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang