Milan menyeruput habis isi gelasnya. Piringnya sudah tandas, begitu pula dengan piring Aira.
"Wah, bakal kenyang lama nih gue." tukas Milan.
"Kenyang lama apaan, paling sorean dikit udah pengin nyemil lagi."
Milan terbahak. "Sotoy lo."
"Yakin, gue sotoy?"
"Biasanya juga lo abis makan nasi kuning Bu Mar masih nambah bakso semangkok!""Kalo tentang gue, lo ingetnya yang jelek-jelek doang, ya, Ra?"
Aira tidak menyanggah, memilih untuk menyeruput jus apelnya.
"Abis ini lo masih ngapain, Ra?"
"Biasa, masih ada jadwal jaga sampe sore gue."
"Duh, pasti capek, ya." Milan pura-pura mencebik.
"Ra, kasih tau gue kalo lo stress ya, ntar gue bantu hibur.""Mau ngapain emangnya?"
"Ngapain aja. Ntar gue ajak karaoke. Atau jalan-jalan ke Ancol biar lo bisa lihat laut. Lo kan dari dulu suka banget sama laut."
"Ancol banget, nih?"
"Abis gimana, dong? Kalo ngajaknya ke Maldives gue nggak ada duitnya."
Aira tidak bisa menahan diri untuk tetap bersikap cool. Tawanya lepas begitu saja. Tentu saja, Milan senang melihatnya. Tak bisa dipungkiri, ia selalu suka mendengar suara tawa Aira.
"Aira!"
Aira menoleh agak terkejut. Tawanya terhenti, terdengar sedikit menggantung.
"Loh, Dirga, ngapain?" tanya Aira bingung. Teman koas-nya itu tiba-tiba berdiri beberapa langkah dari mejanya, kemudian berjalan mendekat dan berhenti tepat di sampingnya.
"Lo, lah, yang ngapain. Udah pergi lama banget, di-chat nggak bales, lagi." Dirga menjawab dengan tergesa-gesa. Nafasnya tidak teratur, seperti baru saja berlari.
Aira melirik jam di ponselnya. Ternyata ia menghabiskan lebih dari 45 menit untuk brunch --bersama Milan.
"Ya ampun, sorry sorry, gue nggak sadar!" Aira buru-buru bangkit dari duduknya.
"Milan, gue duluan ya. Makasih banget udah temenin makan, ngobrol-ngobrol juga.""Iya, nggak papa. Gue juga makasih."
"Err, see you anytime soon?" ucap Aira tidak yakin, sehingga terdengar lebih mirip pertanyaan.
"Yup. Take care, ya, Ra!"
Aira tersenyum tipis, kemudian cepat-cepat mengangkat piring dan gelas kotornya lalu berlari ke arah meja tempat piring kotor. Melihat Aira melesat dengan cepat, Dirga memberikan sekilas senyum pada Milan, kemudian berlari menyusul perempuan itu.
***
Milan memperhatikan Aira yang berlari-lari kecil menuju meja kayu di sudut ruangan. Setelah itu, pria yang baru saja menghampiri mereka berlalu menyusulnya.
Pria itu mengenakan pakaian yang sama persis seperti Aira. Setelan medis berwarna hijau dibalut jas dokter berwarna putih. Milan langsung paham, pria itu pasti teman dekat baru Aira.
Milan masih belum mengalihkan pandangannya ketika Aira dan Dirga --atau siapalah namanya itu, berlari bersisian meninggalkan ruangan. Milan masih bisa melihat kucir rambut Aira yang bergoyang-goyang, Aira yang tertawa kecil di samping Dirga, dan lengan Dirga yang melingkar di bahu Aira. Entah kenapa, semuanya terlihat sangat... pas.
Sudut bibir Milan terangkat sedikit. Entah kenapa, ia tiba-tiba mengingat masa lalu yang sudah lama tidak mengisi pikirannya.
Dalam ingatan Milan, dirinya memang tidak pernah ada dalam bingkai hidup Aira. Ia hanya diizinkan datang untuk melihatnya dari dekat, namun tidak pernah benar-benar bisa menjangkaunya. Aira selalu berada di atas, bersinar dan hangat, sementara dirinya begitu-begitu saja. Kalau Bagas dan Rafa saja tidak bisa mengambil hati Aira, apalagi dirinya?
Milan menghela nafas, seolah membiarkan segala pikirannya lepas. Dalam hati, ia mensyukuri pilihan yang ia ambil enam tahun lalu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Unseen Ending
ChickLitAira sedang sibuk-sibuknya menjadi mahasiswa koas. Ia hampir tidak punya waktu untuk makan, apalagi cinta-cintaan. Siapa sangka, ia malah bertemu dengan Milan. Teman lama sekaligus cinta pertamanya waktu SMA.