5

162 20 12
                                    

Aira dan Milan sedang mengalami puncak kesibukan dari kehidupan anak SMA. 

Kelas 11. Aira semakin sibuk dengan kelompok belajar dan lomba-lombanya. Ditambah lagi, dia dipercaya jadi salah satu pengurus OSIS. Sementara Milan sibuk dengan kegiatan eskul dan acara sekolah. Dari total enam acara tahunan sekolah, Milan jadi panitia di empat di antaranya. 


Hari itu hari Kamis. Jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore, alias sudah beberapa waktu sejak bel mata pelajaran terakhir berbunyi. Tapi, sekolah masih cukup ramai. Beberapa kelas masih terbuka, menandakan masih ada siswa yang menggunakan kelas tersebut. Sementara, koridor-koridor dan lapangan upacara dipenuhi siswa yang berlalu-lalang. 

Besok adalah hari ulang tahun sekolah. Untuk merayakannya, pihak sekolah mengadakan pentas seni. Sejumlah siswa ditunjuk jadi panitia, termasuk Milan. Mereka mengurus berbagai hal mengenai persiapan acara. Mulai dari menentukan tema dan bintang tamu, mengatur ticketing, sampai mengatur kebutuhan logistik dan set acara. 

Sebuah panggung berukuran cukup besar sudah terpasang rapih di lapangan upacara. Peralatan panggung seperti lampu sorot dan sound system juga sudah dipasang. Begitu juga dengan pagar pembatas dan signage venue. Kalau pengukuran kasar, 90 persen persiapan venue udah beres lah. 

"Guys, ini lampuya belom dipasang, nih!" Tio, salah satu panitia bagian logistik yang merangkap dekorasi, menunjuk sebuah kotak yang penuh gulungan kabel lampu hias. Rencananya, lampu-lampu tersebut akan dipasang melintang di atas area penonton. Karena acaranya bakal berlangsung dari sore sampai malam, lampu-lampu tersebut diharapkan bisa jadi aset dekorasi yang memeriahkan suasana. 

"Yok pasang, gue yang naik." Milan menyahut. 

Tio, Milan, dibantu seorang siswa lain segera bertindak. Mereka mengambil sebuah tangga lipat dan menempatkannya di bawah pohon dan tiang yang bisa digunakan untuk mengikat ujung kabel lampu. Sementara itu, beberapa anak lain membantu mengkoordinir dan mengarahkan agar kabel lampu terpasang di tempat yang tepat. 

"Ini nih, satu lagi sebelah sini!" seru Tio, menunjuk sudut lapangan lain yang memiliki pohon dengan dahan cukup besar dan kuat. 

Komando tersebut langsung disambut siswa-siswa lain. Mereka menggotong tangga lipat ke arah pohon tersebut. 

"Miring nih tanahnya. Nggak rata, ada akar." Adu Bianca, salah satu siswa yang membantu mengarahkan pemasangan.

"Udah nggak papa, gue yang naik." Milan menanggapi enteng.
"Pegangin tangganya ya!"

Milan, yang notabene berbadan atletis, langsung menaiki tangga tanpa ragu. Tapi, posisi tangga memang benar-benar buruk. Tanah yang tidak rata membuat tangga miring ke arah yang berlawanan dengan posisi dahan pohon. Mau tidak mau, Milan mencondongkan badannya ke depan sambil mengulurkan tangannya jauh-jauh untuk meraih dahan yang dimaksud. 

Belum selesai Milan mengaitkan lampu di dahan tersebut, tiba-tiba posisi tangga miring dan bergoyang. 

BRUKKK

"EH MILAN! MILAN JATOH!"


***


Aira tergopoh-gopoh menyambangi UKS. Begitu mencapai pintu, ia melihat Milan duduk di salah satu kursi. Ia ditemani Tio dan Bianca, dua orang panitia yang tadi berada di TKP.

Milan tersenyum memperlihatkan gigi-giginya, berusaha untuk terlihat santai. Biasanya, Aira suka ketika Milan senyum seperti itu. Milan punya satu gigi gingsul, dan gigi gingsulnya terlihat manis sekali. Tapi kali itu, Aira justru membalas dengan dengusan jengkel.

"Aneh-aneh banget sih lo!"

"Kan nggak sengaja, Ra"

"Kalo sampe lo sengaja, fix aneh banget!"

"Idih galak," bukan Milan, tapi Tio yang menyahut. 
"Titip Milan ya, Ra. Tolong obatin. Gue sama Bianca cabut dulu beresin yang di lapangan."

Aira mengiyakan singkat. Ia memperhatikan luka memanjang di siku kiri Milan.

Setelah Tio dan Bianca meninggalkan ruangan, Aira berjalan menuju lemari tempat penyimpanan obat. Ia mengambil kapas pembersih, kasa, dan betadine. 

"Siniin tangan lo."

"Jangan galak-galak lah, Ra, ini gue lagi sakit loh ceritanya."

Aira tidak menanggapi. Gadis berkucir itu menggeser kursinya mendekati Milan, meraih tangan laki-laki itu, dan mulai mengobatinya.

"Bilang kalo perih ya," Aira memberi peringatan. Milan mengangguk, membiarkan gadis di hadapannya membubuhkan cairan betadine di sekitar lukanya. 

Kalau boleh jujur, sebenarnya Milan pengin menjerit saking perihnya. Sejak kecil, dia paling benci sama obat merah. Kalau bisa, dia pilih nggak usah diobati deh. Tapi khusus kali itu, Milan memutuskan buat menahan diri.

Di tengah-tengah perjuangan Milan menahan rasa perih, tiba-tiba ia merasakan ada udara dingin berhembus mengenai kulitnya. 

Aira sedang menunduk, meniup-niup siku kiri Milan yang penuh lecet. Lembut dan perlahan.

Milan tertegun. Ia memperhatikan gerak-gerik Aira selama beberapa saat. 

"Ra,"

"Apa?"

"Lo nggak mau jadi dokter aja?"

Aira mendongak. "Kenapa tiba-tiba?"

"Nggak tau," Milan menimpali singkat.
"Kayaknya kalo ada orang sakit, terus berobat ke lo, sakitnya langsung sembuh deh."

"Bercanda mulu lo, ah!"

"Beneran! Nih, contohnya gue."
Tanpa jeda, Milan melanjutkan, "Gue rasa, gue mau sakit apapun pasti bakal sembuh kalo lo yang ngobatin."

Aira menarik tubuhnya menjauh, terdiam sebentar. 

"Lo mau gue pukul?"

Milan akui, respon Aira benar-benar di luar dugaan. Laki-laki itu tertawa cukup keras. 

Mungkin, Milan mungkin saja menganggap respon Aira sangat dingin. Alih-alih tersipu atau memberikan jawaban yang menyentuh, Aira justru mengancam untuk memukulnya. Apa-apaan itu?

Tapi lagi-lagi, Milan, atau siapapun yang masih ada di sekolah waktu itu, tidak ada yang tahu kalau sebenarnya Aira sedang mati-matian menyembunyikan detak jantungnya yang berdegup kencang. 


***


The Unseen EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang