Fin

200 18 17
                                    

Berbeda dengan suasana di pagi hari, menjelang siang, koridor rumah sakit mulai ramai. Mungkin para penunggu pasien mulai sibuk mencari makan siang, atau mungkin kerabat dan teman-teman para pasien sedang bergantian membesuk. 

"Ati-ati, kali, Ra." Dirga menarik badan Aira, mencegahnya menabrak segerombol pria paruh baya yang berjalan cepat melintasi koridor. 

Aira membalasnya dengan senyum menyeringai, seolah senyum tersebut mewakili ucapan terima kasih. 

"Btw lo tumben deh, mau-maunya nyusul ke depan?"

"Ya lo, sih, makan doang lama banget gak balik-balik."
"Mana tadi pagi muka lo pucet."

Aira tertawa kecil. "Emangnya kenapa?"

"Kenapa apanya?"

"Kalo gue nggak balik-balik."

"Depannya K."

Aira tertawa lagi. "Apaan tuh?"

Kali ini gantian Dirga yang tersenyum jahil. "Khawatir."

Tentu saja, jawaban Dirga membuat Aira tertawa lebih keras. 

Aira terlambat menyadari, bahwa sedari tadi, lengan Dirga masih bertengger di bahunya. Kemampuan refleknya hampir saja membuatnya melepaskan tangan pria itu dari tubuhnya. Tapi pada akhirnya, ia memilih untuk membiarkannya. 

Siang itu, di antara keramaian orang yang berlalu-lalang di koridor rumah sakit, Aira berlari-lari kecil menuju Ruang Forensik. Dirga juga ikut berlari di sisinya, sambil memegang erat kedua bahunya. 


- (fin) -

The Unseen EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang