Pintu ruangan pemeriksaan dibuka dari dalam. Segera setelahnya, seorang dokter dan empat mahasiswa koas berjalan keluar dari ruangan yang ukurannya tidak terlalu besar itu. Kemunculan mereka segera disambut oleh dua pria berbadan tegap dengan pakaian serba gelap. Tidak terlalu kentara sih, tapi semua orang di ruangan itu tahu kalau mereka berdua adalah polisi.
Tadi pagi, IGD sedikit sibuk. Ada telepon masuk yang mengabarkan kalau mobil ambulan akan segera datang membawa seorang pasien korban kekerasan. Menurut keterangan polisi yang mengantar, pasien tersebut terluka akibat cek-cok dengan tetangganya. Ada banyak tanda bekas pukulan di sekujur tubuhnya, termasuk di area wajah. Tulang hidungnya patah, serta terdapat luka sayatan di bahu kiri dan telapak tangan kanannya. Jelas saja ini bukan perkelahian sederhana. Sesuai prosedur, pasien tersebut tidak hanya ditangani oleh dokter yang berjaga di IGD, tetapi juga dokter forensik.
Pemeriksaan memakan waktu kurang dari satu jam. Setelah seluruh tubuh bagian luar pasien selesai diperiksa, kondisinya segera dilaporkan kepada pihak berwajib untuk keperluan penyelidikan.
"Baik, berarti visumnya sudah cukup ya, dok?"
"Untuk saat ini cukup pak. Kecuali patah di tulang hidung, luka-luka lainnya tidak terlalu parah. Sayatan di bagian bahu juga tidak terlalu dalam"
"Baik, terima kasih dokter."
Dokter Rico, nama dokter forensik tersebut, tersenyum sambil mengangguk sopan sebelum berlalu. Di belakangnya, empat mahasiswa koas tadi mengekor tanpa bersuara. Salah satunya adalah Aira.
Bicara soal koas, hari ini baru minggu kedua Aira bertugas di stase forensik. Tapi rasanya Aira udah pengin cepat-cepat mengakhirinya.
Stase forensik ini memang agak lebih menantang dari pada stase-stase sebelumnya. Ada dua hal yang bikin Aira nggak terlalu minat sama stase forensik. Pertama, jelas saja, di stase ini dia harus berhadapan langsung dengan mayat. Aira bukannya benci lihat mayat, karena bagaimanapun, mayat juga dulunya manusia. Tapi masalahnya, mayat-mayat yang diantarkan ke ruang autopsi itu bentuknya macam-macam. Tidak semuanya terlihat damai, ada juga mayat yang meninggal karena kecelakaan, hangus terbakar, sudah busuk, dan sebagainya. Aira nggak tega lihatnya.
Kedua, selain mayat, dokter bagian forensik juga bertanggung jawab untuk memeriksa pasien korban kekerasan dan kecelakaan kerja yang notabene harus diperiksa di bagian Instalasi Gawat Darurat. Sayangnya, jarak antara Ruang Forensik dengan IGD itu super jauh! Dari ujung belakang ke ujung depan rumah sakit. Aira agak kesal karena dalam sehari, ia bisa bolak-balik sepuluh kali untuk menjalankan tugasnya.
"Definisi pagi-pagi udah olah raga," bisik Dirga, salah satu teman koas Aira.
Di antara mahasiswa koas yang lain, Dirga ini termasuk yang paling mager dan irit tenaga. Sebelum melakukan apapun, dia selalu mengukur banyaknya tenaga yang harus dikeluarkan dan memilih untuk melakukan sesuatu yang membutuhkan tenaga paling sedikit.
"Definitely agree," Aira balas berbisik.
Untungnya, suasana rumah sakit pagi itu tidak terlalu ramai. Pasien yang datang ke ruang IGD tidak terlalu banyak. Lobi dan jalan utama jadi terasa lebih senggang.
Aira mengedarkan pandangannya. Sama seperti kondisi lobi, jalan menuju bangsal ruang inap juga tidak terlalu ramai. Begitu pula dengan taman terbuka di sebelah IGD. Bahkan, Aira bisa mendengar suara-suara kicau burung dari arah taman itu, walaupun burungnya nggak kelihatan.
Sambil terus berjalan bersama rombongan kecil dokter Rico, Aira menoleh ke arah yang berlawanan; area ruang tunggu utama menuju poli kesehatan. Biasanya, area inilah yang paling ramai di pagi hari. Mulai dari orang-orang yang mengantre untuk periksa di poli-poli kesehatan, tenaga medis yang lalu lalang, serta petugas kebersihan dan satpam yang harus bolak-balik memeriksa kondisi ruangan.
Tak disangka, di antara semua kesibukan ruang tunggu poli kesehatan, Aira justru melihat sesuatu yang mencuri seluruh perhatiannya. Bukan, mungkin lebih tepatnya seseorang. Seorang pria.
Tanpa sadar, Aira menghentikan langkahnya. Ia menatap pria itu tanpa berkedip.
Pria itu duduk di salah satu bangku ruang tunggu. Kepalanya menunduk, sibuk menatap layar ponselnya. Poni rambutnya sedikit menutupi mata dan wajahnya nyaris tidak terlihat. Tapi Aira hafal betul dengan sosok tersebut. Postur tubuhnya, tampilan rambutnya, bahkan caranya duduk. Ia mengenalinya begitu saja.
Mendadak, dunia Aira berhenti berputar. Ia tidak lagi memedulikan kesibukan koridor rumah sakit atau rombongan teman-teman koasnya yang antusias mendiskusikan pasien dokter Rico. Seluruh perhatiannya kini hanya terfokus pada pria itu.
Aira dapat merasakan jantungnya yang tiba-tiba berdegup kencang. Otaknya serasa membeku. Di luar kendalinya, mendadak pikirannya dipenuhi oleh kepingan-kepingan kenangan masa lalu. Membawanya pada ingatan-ingatan yang selalu gagal ia lupakan.
"Ra? Ngapain?"
Beruntung, panggilan Dirga membuyarkan lamunannya. Aira menoleh, menatap Dirga lekat-lekat sambil berusaha mengumpulkan kesadarannya.
"Lo kenapa, kok tiba-tiba pucet?"
"Ah, enggak." Aira berjalan menyusul Dirga yang berhenti beberapa langkah di depannya. Berusaha terlihat baik-baik saja. "Yuk!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Unseen Ending
Chick-LitAira sedang sibuk-sibuknya menjadi mahasiswa koas. Ia hampir tidak punya waktu untuk makan, apalagi cinta-cintaan. Siapa sangka, ia malah bertemu dengan Milan. Teman lama sekaligus cinta pertamanya waktu SMA.