7

140 19 17
                                    

Acara perayaan hari ulang tahun sekolah berjalan lancar. Selain sambutan dari pihak sekolah dan perayaan simbolis dengan pemotongan tumpeng, acara dimeriahkan oleh pentas seni dari berbagai eskul, klub siswa, dan satu band lokal sebagai bintang utama.

Pukul sembilan malam, rangkaian acara sudah selesai. Setengah jam berikutnya, sebagian besar penonton, alias siswa dan guru, sudah pulang. Hanya beberapa panitia dan anggota OSIS yang masih tinggal di sekolah untuk beres-beres. Aira salah satunya.

Bersama beberapa anak OSIS lainnya, Aira mengawasi panitia membereskan lapangan upacara yang menjadi lokasi acara sambil membantu menata kembali kursi dan meja yang sebelumnya dipinjam untuk kebutuhan acara. Beruntung, agenda beres-beres tidak memakan waktu lama karena semua orang bekerja sama dengan baik. 

"Guys, yang kerjaannya udah selesai, balik aja. Rapat penutupan panitia besok, ya, jam lima di aula!" Aira mendengar suara Kiara yang berseru keras-keras dari tengah lapangan. Beberapa panitia balas berseru, mengiyakan arahan dari si ketua panitia. 

"Ra," Aira refleks menoleh ketika namanya dipanggil. Tau-tau, Milan sudah berdiri di sebelahnya.
"Balik sama siapa?"

"Eh, iya juga ya," Aira sama sekali tidak ingat untuk mempertimbangkan cara pulang. Biasanya, ia selalu pulang bersama Keisha. Tapi karena Keisha bukan panitia maupun anggota OSIS, ia sudah pulang duluan sedari tadi. 
"Ojek online, mungkin."

Milan melirik jam tangannya. "Udah jam sepuluh lewat nih."

Aira buru-buru ikut mengecek penunjuk waktu di ponselnya. Milan benar.

"Gue anterin aja gimana?"

"Nggak papa?"

"Nggak papa banget," Milan menukas cepat-cepat. "Kalo bisa malah tiap hari gue anter jemput lo, Ra."

"Hadeeh, gabut ya lo?"

Milan terkekeh. "Ya, kan, kalo, Ra."

"Sesuka lo aja, deh."

"Hahaha... Mau balik kapan?" 

"Sekarang?"

"Yuk."


***


Perjalanan pulang malam itu sedikit asing bagi Aira. Pertama, waktunya sudah cukup larut. Aira jarang sekali masih berada di luar rumah di atas jam sembilan malam. Selain karena ayahnya yang terbilang protektif, Aira-nya juga biasanya sudah mengantuk.

Alasan kedua, tentu saja, karena pulangnya bareng Milan.

"Sorry, Lan, ternyata rumah kita nggak searah," Aira agak mengeraskan suaranya.

Meskipun sudah sering menghabiskan waktu bersama Milan, ini pertama kalinya Aira pulang dibonceng Milan. Suasana jalan malam itu kebetulan tidak terlalu ramai, jadi Milan bisa melajukan Vespa-nya dengan lancar. 

"Santai kali, Ra," Milan agak memiringkan wajahnya ke belakang supaya suaranya tidak kalah oleh suara angin dan bisingnya lalu lintas.
"Kayak sama siapa aja, lo."

"Besok siang gue traktir bakso ya,"
"Tanda terima kasih."

"Asiik... kalo gitu mah, mau dong gue anter lo tiap hari!"

"Yeu, tekor dong gue!" Aira menjawab sewot, sontak membuat Milan terbahak.

Beberapa saat kemudian, keduanya hening. Mungkin saja karena sudah lelah sehabis beraktivitas seharian atau karena mengobrol sambil berteriak terasa tidak nyaman, yang jelas tidak ada percakapan lagi di antara keduanya. 

Jarak antara sekolah dengan rumah Aira sebenarnya tidak terlalu jauh. Ditambah lagi dengan lalu lintas yang cukup lancar, seharusnya waktu perjalanan tidak terlalu lama.

Milan melirik ke kaca spion, kemudian mendapati Aira sedang menatap lampu-lampu di sekitar jalan dan bangunan yang mereka lewati. Pandangan matanya tenang dan teduh. Yah, lampu-lampu kota di malam hari memang selalu menjadi pemandangan yang indah. 

Entah mengapa, tiba-tiba Milan memutuskan untuk memperlambat laju motornya.  Ia ingin membiarkan gadis itu menikmati perjalanannya. 

Keheningan masih menyelimuti keduanya selama beberapa saat, membuat Milan lebih leluasa untuk berkonsentrasi mengemudikan motornya. Namun, seluruh konsentrasinya mendadak buyar, ketika ia merasakan sesuatu menempel di punggungnya.

Aira menyandarkan kepalanya ke punggung Milan.

Sekujur tubuh Milan tiba-tiba terasa kaku. Otot-ototnya menegang, seolah mendapat peringatan supaya jangan sampai membuat Aira tidak nyaman. Menurut tebakan Milan, Aira pasti sedang memejamkan matanya. 

"Lan?"

"Hm?"

"Makasih ya, karena lo selalu nemenin gue."

Milan tidak menyahut. Otaknya kesulitan untuk memproses tiga stimulus sekaligus; jalanan, kepala Aira di punggungnya, dan pernyataan mengejutkan dari Aira.

"Makasiiih banget," Aira mengabaikan kebisuan Milan.
"Karena udah jadi salah satu temen terbaik gue."


Sebelumnya, Milan yakin sekali bahwa malam itu dapat menjadi malam yang menyenangkan dan patut dikenang. Bukan hanya perayaan hari ulang tahun sekolah yang berjalan lancar, tapi juga pengalaman pertamanya mengantar si manis Aira pulang. Tapi entah mengapa, kata-kata yang baru saja ia dengar terasa menyengat dadanya. Sengatan itu tidak kasat mata, tapi Milan dapat merasakan dirinya terluka. 

Milan diam-diam tertawa getir. "Gue bener-bener nggak ada kesempatan, ya, Ra?"

Sayangnya, kalimat itu diucapkan terlalu pelan. Suaranya kalah oleh deru kendaraan di sepanjang jalan, kemudian hilang terbawa angin.  

Aira sama sekali tidak mendengarnya. Bahkan, bisa jadi, Milan sendiri juga tidak menyadari bahwa kalimat tersebut sempat keluar dari mulutnya. 


***


The Unseen EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang