8

122 18 18
                                    

Aira dan Milan sama-sama hampir menghabiskan makanan mereka. Bahkan, gelas es jeruk peras Milan sudah habis separuh. Milan memang punya kebiasaan untuk minum sedikit di sela-sela makan. Sebuah kebiasaan yang dari dulu membuatnya dimarahi Aira, tapi tetap sulit ia hilangkan.

Tiba-tiba, ponsel Aira yang diletakkan di atas meja bergetar. Milan mengangguk, memberi isyarat supaya perempuan itu mengeceknya.


[Chat]

Dirga :

Lo di mana?

Lama bgt?


Sebenarnya bisa saja Aira mengambil waktu sebentar untuk mengirimkan chat balasan. Tapi ia malas karena tangannya sedikit kotor. Ia tidak mau layar ponselnya terkena minyak atau kuah dari makanan yang disantapnya. Toh, itu cuma Dirga.

"Nggak dibales?"

"Not a big deal, kok."

Milan tidak menjawab lagi. Ia mengangkat sendoknya, kembali melahap brunch-nya.

Beberapa saat kemudian, gantian ponsel Milan yang bergetar. Aira memberikan isyarat yang sama, mengizinkan pria itu mengangkat panggilannya.

"Hi, what's up?" 

Aira agak canggung karena Milan tidak beranjak dari kursinya. Pria itu mengangkat teleponnya dengan santai, seolah-olah pembicaraannya di telepon bukan sesuatu yang privat. 

"Oh, terus?"
"Okay, terus dia bilang apa?"

Bukan salah Aira kalau ia bisa mendengar percakapan telepon Milan. Ia tidak sepenuhnya mendengar seluruh percakapan itu, sih. Tapi ia bisa mendengar bahwa orang lain di seberang telepon sedang menggerutu. 

Milan beberapa kali terdiam agak lama di sela-sela pembicaraan, terlihat mendengarkan cerita --atau mungkin curhat, dari orang yang meneleponnya. Aira tidak tahu apa yang terjadi, tapi yang jelas, Aira mengerti bahwa Milan sedang berusaha untuk membuat orang itu merasa lebih baik. Milan berusaha menyimak dan mendengarkan, tanpa memotong sedikitpun. Sesuatu yang selalu dilakukannya sejak dulu.

"Yaudah, habis ini aku ke sana,"
"Okay, nanti aku kabarin lagi."

Telepon dimatikan. 

Aira bergeming. Ada sesuatu yang tiba-tiba mengusiknya.

"Sorry," Milan memasukkan ponsel ke dalam sakunya.
"Gina."

"It's fine!" Aira memberikan seulas senyum. Firasatnya benar. 
"Gimana kabarnya?"

"Baik," Milan memasukkan suapan terakhir ke mulutnya.
"Dia mau ke Perancis bulan depan, ada kerjaan. Tapi VISA-nya bermasalah."

Aira manggut-manggut. Sedikit too much information baginya, tapi ya sudahlah.
"Semoga cepet beres ya."

"Anyway, Ra. Lo selesai koas kapan?"

"Hm... kira-kira lima bulan lagi, lah. Semoga."

"Wah, November ya?"
"Pas tuh."

"Pas?"

"Iya, gue sama Gina rencana nikah agak-agak akhir tahun ini. Kemungkinan besar sih, November."
"Lo dateng, ya, Ra?"

Kalau Aira lebay, mungkin ia akan langsung menjatuhkan sendok yang ada di tangannya. Untungnya taraf kesadaran Aira masih cukup bagus. Jadi ia bisa mengontrol mimik wajah dan perilakunya, walau ia mendengar dentuman keras di dadanya.

"Wow, congratulations!" Aira sedikit menekan suaranya agar terdengar baik-baik saja. 
"Kok cepet banget?"

"Makasih, Ra."
"Iya nih, mamanya Gina minta cepetin aja."

"Kalo nggak salah, kalian baru tunangan bulan lalu, kan? Eh, atau dua bulan lalu?"

Aira tidak asal bicara. Samar-samar, ia mengingat ketika tiba-tiba Keisha mengiriminya sebuah foto beberapa waktu lalu. 

"Hampir dua bulan, sih."
"Btw ini gue serius lho Ra, pokoknya besok lo harus dateng!'

Lagi-lagi, Aira hanya tersenyum kecil.

"Kemarin lo udah nggak dateng waktu party buat ngerayain gue tunangan, jadi besok lo harus banget dateng! Lagian, masa gue merit lo nggak pengin dateng sih?"

Salah. Pertanyaan Milan salah besar. 

Seharusnya, pertanyaan itu dibalik jadi; masa Milan nikah, Aira mau dateng, sih?

"Semoga sempat, ya, Lan."

Milan tersenyum menyeringai. Gigi gingsulnya menyembul di balik bibir tipisnya. "Nah, gitu dong!"

"Besok undangannya gue kirim ya,"
"Eh, iya. Nomor telepon lo masih yang dulu, kan?"

"Iya, masih."

"Sip. Nanti gue chat lo ya, minta alamat."

"Oke, boleh."


***


The Unseen EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang