4

156 22 22
                                    

"Kalian udah sarapan semua?"

"Udah, dok."

"Belum, dok."

"Kok beda-beda. Yang belum siapa, angkat tangan!"

Setelah pemeriksaan pasien di IGD tadi pagi, dokter Rico dan mahasiswa-mahasiswa koas-nya berkumpul di Ruang Forensik. Jika sedang tidak ada pasien gawat darurat atau pasien autopsi, para mahasiswa koas bisa sedikit lega.

"Lah, Aira doang?" ucap dokter Rico, karena hanya Aira yang mengangkat tangannya.
"Sarapan dulu sana, Ra. Nanti siang ada jadwal autopsi."

"Baik, dok."

Aira menggeser kursinya mendekat ke arah Dirga, lalu mencolek bahu pria itu.

"Temenin, yuk, Ga?"

"Depannya O."

"Hah?"

"Ogah."

"Yeu!" Aira menoyor kepala Dirga. Memang temannya yang satu ini nggak bisa diharapkan kalau soal loyalitas dan kesetiaan. 

"Ribet lo, sana pergi sendiri!" Dirga mengomel, sibuk mengerjakan sesuatu di laptopnya.

Aira berdecak sebal, kemudian melangkahkan kakinya menuju kafetaria. 


***


Berjalan ke kafetaria sebenarnya sama saja dengan melakukan perjalanan jauh, karena letaknya dekat dengan taman di bagian depan rumah sakit. Tapi, kafetaria di rumah sakit ini benar-benar bagus dan menyenangkan. Ruangannya luas dan langit-langitnya tinggi, sehingga terasa lega. Selain itu, pilihan makanannya pun beragam. Mulai dari roti, makanan berat, sayur dan buah, hingga berbagai macam olahan susu dan minuman segar. Jadi, khusus perjalanan ke kafetaria, Aira memaafkan jaraknya yang jauh. 

Aira melirik penunjuk waktu di ponselnya. Masih ada sekitar satu jam sebelum jam makan siang, baguslah. Jam segini biasanya aneka lauk dan sayur baru selesai dimasak dan dikeluarkan ke etalase. Selain itu, karena belum memasuki jam istirahat, suasananya pun relatif sepi.

"Aira!" Mendengar namanya dipanggil, Aira refleks menoleh. 

"Beneran lo, Ra?! Yaampun, super long time no see!"

Dalam waktu sepersekian detik, Aira merasa jantungnya merosot. Dari sekian banyak petaka yang mungkin ia temui di hidupnya, kenapa ia harus mengalami yang ini?

Pria itu --pria yang tadi pagi membuatnya terpaku di koridor poli kesehatan, berdiri beberapa langkah darinya. Ia menatap lurus ke arahnya dengan senyuman yang merekah lebar dan tangan yang melambai di udara. Seolah menyambutnya dengan penuh kehangatan. 

"Oh, hai, Lan." Aira menjawab kikuk. Tangannya tergantung di udara, tidak yakin apakah harus membalas lambaiannya atau tidak. Tapi, pria itu terlihat tidak peduli, justru begitu saja melangkahkan kaki mendekatinya. 

"Tadi gue liat orang mirip lo lewat. Kirain halu, eh ternyata beneran." 

"Tadi?"

"Iya, tadi gue periksa di sini. Terus pas lagi nunggu, gue liat lo lewat. Mau gue sapa tapi takut salah orang. Mau gue lupain tapi gue yakin banget itu lo!"

Aira tersenyum kecut. 

Milan yang sekarang ada di hadapannya masih sama dengan Milan yang delapan tahun lalu menemaninya di perpustakaan. Auranya yang ceria, serta caranya tersenyum pun masih sama. Senyum yang tidak hanya tercetak di bibir, namun juga terpancar melalui mata. 

"Oya? Kok gue gak tau?"

Bohong. Jelas-jelas Aira melihatnya setengah jam yang lalu. 

"Ya wajar sih lo ga liat gue. Lo pasti sibuk, ya?" Milan menggeleng santai. 
"Buset, keren banget lo pakai jas putih begini. Seneng deh gue liatnya!"

Aira tertawa kaku. "Bisa aja lo."

"Btw, lo baru mau makan atau udah makan?"

Aira hampir saja berbohong lagi dan mengatakan bahwa ia sudah selesai makan. Tapi ia batal melakukannya karena mengingat jadwal autopsi dokter Rico.

"Belum, ini otw."

"Kebetulan gue juga belum makan. Bareng boleh?"

"Boleh."


***


Aira sama sekali tidak pernah membayangkan kalau ia akan kembali berada di posisi ini. Duduk berhadapan dengan Milan di meja yang sama. Makan bersama. Sambil mengobrol. 

Yah, untuk bagian mengobrol sepertinya bisa dikoreksi, karena Aira tidak betul-betul menikmati obrolan dengan Milan. Setidaknya untuk kali ini.

"Lo apa kabar, Ra?"

"Standar lah. Baik, but struggling."

Milan tertawa. "Tapi keren deh lo, jadi dokter beneran."

"Belom. Masih otw kali," Aira menggeleng.
"Lo sendiri, tadi periksa apa?"

Milan mengangkat tangan kirinya. "Beberapa minggu lalu tangan gue keseleo, tadi check up terakhir."

"Hah? Kok bisa? Parah nggak?"

"Mayan," Milan menjawab santai.
"Jatoh waktu sepedaan."

"Terus?"

"Yaudah, pasang gips. Tapi sekarang udah gapapa kok, Ra."

"Hobi jatoh deh lo kayaknya," Aira menyahut sarkas.

Milan tergelak. "Bisa jadi,"
"Tapi buat kali ini, yang obatin bukan lo."

Aira menghentikan aktivitas makannya. Otaknya berusaha keras mencari jawaban yang paling-biasa-saja untuk menanggapi kalimat Milan.


***

The Unseen EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang