"Lo kalo mau gue obatin, jadi mayat dulu coba."
Akhirnya, kalimat itulah yang keluar dari mulut Aira. Kalimat yang dingin, sekaligus sama sekali tidak ramah. Baru saja selesai mengatakannya, Aira langsung menyesal.
"Astaga," Milan memegangi dadanya, terlihat terkejut.
"Jahat banget sih lo, Ra.""Sorry... kidding," Aira meringis.
"Padahal kalo mayat mah, ngapain diobatin lagi," seloroh Milan. Kali ini ia berhasil mengundang tawa Aira.
Seeduanya diam sejenak, sibuk menyendok makanan di hadapan masing-masing.
Diam-diam, Aira memperhatikan piring Milan. Pria itu memenuhi piringnya dengan satu potongan besar ayam balado, sayur tanpa kuah, segunung sambal, dan kerupuk udang. Sepertinya ia masih sangat menyukai ayam dan makanan pedas. Sama seperti delapan tahun lalu.
"Btw Lan," Aira membuka mulutnya. Ia tidak yakin mengapa ia melakukannya. Mungkin dorongan hati.
"Ya?"
"Lo sibuk apa sekarang?"
"Hmm, sama kayak lo. Tapi kebalikannya."
"Maksudnya?"
"Lo baik, tapi struggling. Gue struggling, tapi in the end baik-baik aja."
Aira tertawa kecil. Dari dulu, Milan paling jago urusan celetukan-celetukan iseng nggak masuk akal.
"Lo, sih, nggak pernah dateng kalo kita kumpul," tukas Milan.
"Kan jadi nggak tau kabar gue."Aira tidak menyahut. Milan mana tahu, kalau sebenarnya dialah yang menyebabkan Aira enggan datang setiap kali teman-teman SMA mereka mengadakan acara kumpul-kumpul.
"Gue kerja di agensi sekarang, Ra," Milan menyeruput minumannya, kemudian melanjutkan.
"Monoton lah, hidup gue. Bangun, pergi kerja, terus kalo misalnya kebetulan lagi banyak load ya lembur, terus balik, tidur, besok paginya kerja lagi. Gitu doang."Aira manggut-manggut. "Sama kok, gue juga gitu."
Sebenarnya, tanpa Milan harus menjelaskan pun, Aira sudah tahu. Aira pernah melihat postingan Milan di Instagramnya waktu ia pertama kali diterima bekerja sebagai media planner di sebuah agensi iklan di pusat Jakarta. Aira juga beberapa kali melihat Insta Story Milan yang berisi foto meja kerja maupun potret suasana malam dan lampu-lampu kota dari balik jendela kantornya. Mengindikasikan kalau pria itu memang sering kerja lembur.
"Lemburnya lo sama gue beda kali, Ra,"
"Kalo gue lembur tuh gue lagi mendukung kapitalisme. Tapi kalo lo lembur tuh justru lagi melakukan hal mulia, karena lo lembur biar bisa bantu sembuhin orang."Milan dan kata-kata manisnya. Milan yang pandai menyemangati. Aira hafal betul hal itu.
"Ati-ati, Ra, kalo pulang malem."
"Hah?" Aira mengernyitkan alisnya, bingung karena Milan tiba-tiba ganti topik.
"Iya, ati-ati kalo pulang malem," Milan mengulangi.
"Lo kan pasti sering lembur, atau jaga malem gitu. Jalanan kan sepi kalo udah malem banget. Bahaya."Belum sempat Aira menanggapi, Milan kembali membuka mulutnya. "Kalo bisa, jangan balik sendiri, Ra. Cari barengan, atau naik ojek online. Biar lebih aman aja gitu."
"Iya, Milan.. iya. Gue ngerti kok."
Milan tersenyum. "Rumah lo masih sama kayak yang dulu, kan?"
Aira mengangguk. "Kalo rumah orang tua sih iya, nggak pindah. Tapi sekarang gue ngekos."
"Deket sini?"
"Iya, biar cepet kalo tiba-tiba ada panggilan."
"Ooo.." Milan manggut-manggut.
"Yaudah, intinya hati-hati."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Unseen Ending
Chick-LitAira sedang sibuk-sibuknya menjadi mahasiswa koas. Ia hampir tidak punya waktu untuk makan, apalagi cinta-cintaan. Siapa sangka, ia malah bertemu dengan Milan. Teman lama sekaligus cinta pertamanya waktu SMA.