07. The Reason

66 15 11
                                    


"Jelasin kak. Kenapa kakak bisa jadi kayak begitu. Dan apa yang bisa membuat kakak jadi seperti itu." Pinta Yeji.

Akhirnya kalimat itu yang keluar dari bibirnya.

Lino menegakkan kepalanya, kembali memandang teduh kedua mata Yeji.
Lino mengalihkan pandangannya ke arah kota jauh di bawah sana.

"Waktu kecil keluarga gue gak harmonis Ji. Papa gue selalu kasar sama mama dan kakak gue. Gue anak paling kecil cuma bisa nyaksiin mama dan kakak gue disiksa." Ucap Lino membuka cerita. Yeji menatap Lino prihatin.

"Gue gak bisa ngelakuin apa-apa. Cuma bisa ngeliat doang. Gue cuma bisa nyimpen amarah di hati gue." Lanjut Lino.

"Lo tau rasanya nahan marah Ji?" Tanya Lino sambil memalingkan wajahnya sebentar kepada Yeji.

"Sesek banget." Ucap Lino sambil memukul dadanya berkali-kali. Yeji menahan tangan Lino agar tidak melakukan itu lagi.

"Sampe satu saat. Papa gue bener-bener keterlaluan. Dia mukul kakak gue sampai kepalanya berdarah, sampe dia pingsan." Ucap Lino membuat Yeji membulatkan matanya.

"Waktu itu gue masih SMP. Gue bener-bener gak tahan lagi ngeliat kelakuannya. Waktu itu gue bener-bener meledak. Gue mukulin balik papa gue sampe babak belur. Dia udah terlalu banyak nyakitin orang-orang yang gue sayangi." Ucap Lino lagi. Yeji masih mendengarkan. Sesekali dia mengusap bahu Lino lembut.

"Tapi orang itu gak pernah berubah. Dia tetep ngelakuin hal yang sama. Dan gue pun jadi selalu bales mukulin dia tiap dia mukulin mama atau kakak gue."

"Saat itu gue ngerasa kalo cuma gue yang bisa ngelindungin mereka. Walaupun mama dan kakak gue gak suka sama cara gue, tapi gue tetep ngelakuin itu. Karena gue rasa, cuma itu yang bisa gue lakuin buat ngelindungin mereka."

"Dan Lo tau Ji?" Tanya Lino dengan tersenyum getir.

"Tiap gue mukulin papa, rasanya semua beban amarah yang gue punya jadi lepas. Gue merasa lega. Kadang gue juga mikir, gue mukulin papa karena kue mau ngelindungin mama dan kakak gue atau cuma ngelampiasin amarah gue doang." Ucap Lino.

"Puncaknya terjadi saat gue kelas dua SMP. Papa gue mukilin kakak gue sampe berdarah lagi. Parahnya saat itu gue gak ada di rumah. Mama juga pingsan. Mama gak bisa langsung nolongin kakak gue."

"Dan... " Ucapannya tercekat.

"Kakak gue gak bisa ketolong. Dia meninggal kehabisan darah." Lino susah payah mengucapkan kalimatnya.

"Waktu gue balik rumah, gue liat dua perempuan yang gue sayangi tergeletak di lantai. Dua-duanya dalam kondisi lemah Ji." Lino kembali bersusah payah meneruskan ucapannya.

"Gue langsung telepon ambulans. Mama gue bisa ditolong. Tapi kakak gue, kakak gue kehabisan darah Ji. Dia pergi ninggalin gue." Ucapnya lagi. Kali ini air mata lino meluncur begitu saja.

Yeji langsung mendekap pemuda yang kini berstatus sebagai kekasihnya itu.
"Saat itu gue bener-bener marah bercampus sedih. Gue langsung cari dimana papa gue berada. Dan setelah ketemu, gue hajar dia habis-habisan. Sampe kalo gak ada yang misahin, mungkin Lino yang ada di hadapn Lo ini adalah seorang pembunuh." Ucap Lino masih disertai tangisannya.

Yeji melepaskan pelukannya. Ia memandangi wajah Lino. Wajah yang biasanya dingin dan tak berekspresi itu kini menggambarkan kesedihan yang amat mendalam.

"Papa gue masuk rumah sakit. Dia gak sadar sampe tiga hari."

"Pas dia sadar. Gue langsung kasih tau dia kalau anak perempuannya udah mati karena ulahnya. Dan Lo tau apa reaksinya?" Tanya Lino kepada Yeji.

"Dia teriak-teriak macam orang gila. Dia bilang gak mungkin kalo anak perempuannya mati. Apalagi karena dia. Dia nangis Ji."

"Gue terus caci maki dia. Ngeluapin kemarahan yang gue simpen ke dia. Dia makin ngamuk-ngamuk gak karuan."

"Semenjak itu dia berubah Ji. Di depan makam kakak gue dia nangis. Gue bisa ngerasain penyesalan yang papa gue rasakan."

"Perlahan dia berubah. Dia perlakuin gue sama mama gue lebih baik." Lino berhenti sebentar.

"Keluarga gue mulai dari awal lagi. Sejak saat itu seolah-olah gue jadi anak pertama. Dan gak lama gue punya adek. Yang dia tau cuma gue kakaknya. Dia gak tau sebenernya dia punya kakak perempuan. Keluarga gue gak mungkin cerita ke dia kalo kakaknya meninggal karena bapaknya." Terus Lino.

"Kita udah seperti keluarga normal. Tapi sayang Ji." Ucap Lino tertahan.

"Sayangnya kenapa?" Tanya Yeji heran. Bukankah keluarga sudah kembali baik? Apa yang perlu disayangkan?

"Tapi saat dia berubah, gue gak sadar kalo gue juga berubah Ji. Sikap gue yang suka meluapkan amarah gak ilang. Gue masih gak bisa nahan emosi gue. Dan lebih milih ngelampiasin kemarahan gue."

"Inilah gue sekarang Ji. Gue emang punya temperamen buruk."

"Apa Lo mau nerima gue setelah tau jatidiri gue yang sebenarnya?" Tanya Lino ragu-ragu.

Yeji diam tak segera menjawab. Membuat Lino tertunduk lesu.

Jujur Yeji bingung. Secara logika dia ingin menghindari Lino setelah tahu dia memiliki sifat seperti itu. Dia juga sedikit takut.

Tapi kenapa hati kecilnya merasa berat untuk meninggalkan pemuda yang sedang menunduk di hadapannya itu? Yeji kembali menarik napas panjang.

"Jujur gue kecewa kak. Jujur gue gak suka sama sifat Lo yang kayak gitu. Jujur gue juga takut." Ucap Yeji apa adanya. Lino semakin tertunduk. Mungkin sudah nasibnya akan ditinggalkan Yeji.

"Tapi entah kenapa hati kecil gue nolak untuk ninggalin Lo." Akhirnya Yeji memutuskan jujur.

Lino mengangkat wajahnya. Menatap lekat gadis di hadapannya itu.
"Jujur, gue udah mulai sayang sama Lo. Gue juga percaya kalo Lo gak bakal nyakitin gue." Ucap Yeji.

"Jadi gue minta jangan kecewain gue. Jangan rusak kepercayaan gue." Ucap Yeji lagi.

Lino menatap Yeji dengan mata yang berkaca-kaca. Ia langsung kembali memeluk Yeji.

"Makasih, makasih udah kasih gue kesempatan. Gue janji gak bakal ngecewain Lo." Lino memeluk Yeji erat. Entah dorongan dari mana, Yeji membalas pelukan itu. Lino tersenyum saat merasakan Yeji membalas pelukannya.

"Awalnya gue gak pengin minta lo ngerubah sifat lo. Tapi kali ini gue minta sama Lo buat berusaha ngerubah sifat lo itu. Gue yakin, sifat pemarah Lo itu bukan jatidiri Lo. Gue bakal bantu lo buat jadi diri Lo yang dulu. Diri lo yang lebih baik." Ucap Yeji sambil mengusap lembut punggung Lino.

"Janji mau berubah ya?" Tanya Yeji.
Lino mengangguk keras. Yeji melepaskan pelukannya. Memandang Lino dengan tersenyum.

"Janji?" Ucapnya sambil mengeluarkan jari kelingkingnya. Lino tersenyum dan menyambut kelingking kecil Yeji dengan kelingkingnya.

"Janji." Keduanya tersenyum.
Yeji kembali merentangkan tangannya. Memberikan isyarat kepada Lino agar memeluknya.
Pipi lino memerah. Namun akhirnya dia kembali memeluk gadisnya itu. Nyaman.

"Lo harus berubah. Kalo bukan karena gue, seenggaknya Lo lakuin itu demi diri lo sendiri kak." Ucap Yeji tepat di samping telinga Lino.

"Gue janji Ji. Makasih. Makasih banyak." Ucap Lino sambil mengeratkan pelukannya.

......

Deepest Love - Yeji Leeknow (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang