Very, Slowly

729 121 19
                                    

Kepergok seperti ini tentu membuat Yeriska kagok. Siapa sangka kalau pria di depannya ini mendengar apa yang dikatakan Yeriska di pantri tadi.

Dia sekarang diajak makan siang bersama, di luar. Biar ke luarnya cuman ke warteg sebelah kantor ya, tetap saja di ajak keluar. Kata dia (read: Jakti) ntar macet kalau keluar Jakarta pas makan siang. Terus dia cuman bawa helm satu, jadi nggak bisa ngajak keluar.

Alasan sih, tapi ya biarin deh. Yeriska tidak mempermasalahkan itu. Yang dia permasalahkan adalah tatapan Jakti yang terlihat aduhai. Aduhai karena apa ya, natapnya dalem banget. Dari bibir pria didepannya kini tersungging senyum manis.

Apa? Kenapa senyum? Sengaja ya biar aku tambah klepek-klepek

Iya, itu jeritan Yeriska di dalam hatinya. Di luarnya dia hanya diam, dengan wajah tanpa ekspresi.

"Di makan, Yer." Kata Jakti yang memulai kegiatan sendok menyendok makanan di piring.

Pindang, telur ceplok, dan tumis kacang panjang tempe. Itu menu pria di depannya. Sementara dia memilih ayam, dan sayur buncis wortel. Berbeda.

"Yer,—" kata Jakti meletakkan sendoknya. "—yang di Pantri tadi bener?"

Mau jawab apa?
A. "Nggak? Itu cuman mas yang salah denger aja.
Atau B. "Iya bener terus mas mau apa?"
Atau C. "Iya suka sebagai teman aja maksudnya."

Mengakui perasaan dihadapan orang yang kamu suka itu tricky. Tricky karena kalau bilang iya, terus orangnya nggak suka, gimana? Kalau orangnya sama-sama suka juga gimana ya, masa cewe duluan?

Emansipasi sih, cuman dia nggak mau emansipasi.

"Oke, nggak dijawab nggak papa."

Rupanya Yeriska terlalu lama berpikir, dan Jakti tidak menuntut untuk dijawab.

"Cuman lain kalau bisa kalau memang suka, tolong perlihatkan. Jangan seperti nggak suka begitu. Nanti aku jadi nggak berani untuk maju, soalnya seperti nggak ada harapan." Ucap Jakti, lalu melanjutkan menyendok makanannya.

Yeriska tentu saja ingin membalas perkataan tersebut, tapi ucapan Jakti benar. Dia seperti wanita tsundere, hanya karena malu Jakti mengetahui kalau dia suka padanya.

"M—memangnya mas Jakti mau maju?" Balas Yeriska kemudian.

"Ya setiap mau maju selalu nggak bisa maju karena kamu seperti nggak suka kalau aku suka sama kamu. Cuman kalau emang aku salah paham, ya tolong dibenarkan." Ujarnya.

"Memangnya kalau sudah maju, terus gimana?"

Jakti tersenyum. "Ya, Yeri maunya gimana? Pacaran? Langsung nikah?"

Aduh.

Kenapa harus tersenyum begitu.

Yeriska mengulum bibirnya, mencoba tidak salting di senyumin begitu. Akhirnya dia memilih menjawab "Tapi kalau kita jadian, tapi ngedatenya cuman di warteg begini. Turun dong pamor aku. Nanti dikiranya aku takluk sama mas Jakti cuman karena Warteg."

"Takluk? Bukannya kita sama-sama suka?" Jawab Jakti.

Takut salah paham, Yeriska segera menggeleng. "Bukan, maksud aku ajak Date dulu kek, atau gimana baru jadian."

"Oh," lalu Jakti tertawa. "Oke, nanti pulang kantor? Sekalian kuantar pulang."

Yeriska kemudian mengangguk riang, sebelum mulai melanjutkan makan siangnya.

🏢🏢🏢

"Payah." Kata Selly di pantry, saat Yeriska menceritakan apa yang terjadi di Warteg tadi kepada Valent dan dirinya.

Lantai 12Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang