Who?

1.6K 271 19
                                    

Perubahan memang tidak begitu menyenangkan. Musuhmu menjadi bosmu, atau seseorang yang lebih muda menjadi bosmu, atau kamu harus belajar dari awal mengenai sesuatu.

"Rapat dengan Marketing jam 10, presentasi ke pembeli jam 3, laporan progres penjualan menyusul." Ujar Wendy seraya meletakkan dokumen bertumpuk di meja Dika.

Melihat tumpukan dokumen, tentu saja Dika memijat keningnya. "Kerja kalian banyak juga ya." Ujarnya seraya melihat Jakti yang sibuk di depan komputernya, sementara Wendy hanya tersenyum.

"Ya mau gimana lagi, kita kan eksekusi terakhir." Ucap Wendy seraya berjalan kembali ke kursinya. "Jakti, presentasinya?"

"Dikit lagi mbak." Sahut Jakti tanpa melihat ke arah Wendy karena dia lebih memilih untuk menyelesaikan PPT yang memang sudah ditanggungjawabkan padanya dari awal.

Di meja lain, tepatnya meja marketing, Yeriska cukup kaget dengan perubahan Jinendra. Benar kata Jakti, kalau sama anak buah sendiri dia baik. Mengayomi banget. Tidak ada nada tinggi.

"Nanti pas presentasi sama divisi sales, kamu langsung to the point aja, ajukan angka, sama hasil survey. Jadi biar jelas. Jangan lupa bilang angka yang di dapat dari keputusan bersama, dan diambil angka minimum, soalnya kadang hasil survey itu diisi seenaknya. Jadi kalau misalnya di ambil yang tertinggi, atau tengah-tengah seperti biasa, nanti zonk kayak biasanya." Jelas Jinendra, kepada Yeriska, sementara Vania memutar mata.

"Konsep penentuan target itu--"

Ucapan Vania dipotong dengan cepat oleh Jinendra "Aku tahu, tapi kita playing save. Ingat, Dika itu mantan akunting, dia kalau masalah uang bakalan ribet banget walaupun dia sekarang sales. Kalau hasil salesnya bisa lebih tinggi dari target, kita yang di puji. Maksud aku, kita set standar terendah, supaya ketika dia bisa mencapai target tertinggi kita yang dapat pujian."

Vania menggelengkan kepalanya. "Aku tahu niat kamu baik. Cuman kalau misalnya kita pasang target minimum, kerja penjualan jadi kurang ke push. Kalau kita set target maks, kita jadi bisa secara tidak langsung memaksa sales untuk muter otak, supaya target tercapai."

"Itu yang kamu lakukan selama ini?"

"Karena aku tahu kamu bisa, Jinendra."

Yeriska yang memperhatikan perdebatan dua orang ini secara tidak langsung melirik desk sales yang ada di kirinya. Melihat bahwa Sales juga sedang berdiskusi lewat mejanya masing-masing.

"Yeriska, bisa rubah target marketnya?"

Suara Jinendra mengagetkan Yeriska, yang dengan cepat mendongak.

"Rubah targetnya jadi seperti apa?" Tanyanya.

"Maksimum. Biar nanti sales yang putar otak."

Yeriska tidak menjawab apapun, dia hanya dengan segera duduk di kursinya dan mulai mengotak atik ppt yang akan di presentasikan dalam waktu 1 jam itu.

***

Saat pertama kali mendengarkan bahwa dia dipilih menjadi manajer Quality, dia dengan senang hati menerima. Dari asisten manajer marketing, dan sekarang naik pangkat. Tentu saja dia senang. Dia tidak perlu lagi terlibat dengan pertikaian receh Jinendra dan Vania, dan gajinya juga lumayan. Dua keuntungan yang menyenangkan. Bedanya dia tidak tahu bahwa menjadi manajer quality itu tidak menyenangkan.

Ketika dia memegang jabatan ini, Jiman pernah berkata padanya
"--kalau nanti ada permasalahan quality, misal gagal produksi, atau cacat produk, baru dipikirkan jalan keluarnya. Kalau misalnya nanti menurut Valent, OK, tinggal buat laporannya saja, dan ditandatangani. Mas Junior bisa kok." Ucap Jiman seraya menepuk pundak Junior. "Kalau misal masih terasa bingung bisa tanya mba Selly. Dia dulu juga yang bimbing aku kok. Jadi Quality Control gak begitu susah kok."

Lantai 12Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang