Life Goes On

1.1K 202 20
                                    

Jakti, setiap beberapa detik sekali, melirik jam dinding digital yang menunjukkan pukul 14:14. Bekerja di waktu ramadhan memang membuat dirinya ingin pulang dengan sangat cepat, walaupun nanti di rumah kontrakan dia tidak melakukan apapun.

Semenjak terjadi perubahan atasan, dia semakin malas bekerja. Entah, mungkin karena dia terbiasa dengan gaya bekerja Jinendra, yang selalu memberitahukan salahnya maupun apa yang harus dilakukan olehnya. 

Jinendra adalah pria yang istilahnya memang menyebalkan ke orang lain, tetapi dia tahu bagaimana bekerja dibidangnya. Seperti yang pernah Jakti bilang sebelumnya, wajar bagi Jinendra selalu mengomel, karena tim marketing memang melakukan kesalahan. 

Sementara Dika, bos barunya ini tidak mengetahui mengenai Sales, dan harus belajar dari 0. Sehingga dia juga keteteran, karena selain harus mengerjakan tugasnya sendiri, dia dan Wendy harus mengajari Dika. 

Seandainya bisa, Jakti lebih memilih Jinendra menjadi bosnya, karena dia handal dibidangnya. 

"Kamu tiap menit melihat jam, jam itu nggak tiba-tiba jam 3." Seru Yeriska dari mejanya yang berada di seberang meja Jakti. Ya, semenjak bulan ramadan alias bulan puasa, jam pulang mereka adalah jam 3 sore.

Jakti hanya menaikkan sudut bibirnya, terlihat kesal sebelum menjawab. "Aku cuma tidak sabar pulang."

Wendy yang mendengar obrolan Yeriska dan Jakti hanya tersenyum tipis. "Hari ini ada rapat loh, Jak."

Helaan terdengar dari mulut Jakti kemudian. Ia melirik bos barunya yang sepertinya sedang mengetik sesuatu di layarnya. "Jadi hari ini kita makan di kantor lagi?"

Wendy mengangguk, dan suara helaan kembali terdengar. 

"Sabtu dan Minggu, tak akan ku ganggu." celetuk Dika, dan Jakti hanya bisa mengangguk.

Ping.

Suara Whatsapp Desktop milik Jakti berbunyi. 

Manajer Marketing Jinendra (EX BOSS)

Piye? Enak jamanku tho?

dan Jakti tentu saja segera melirik pria yang juga melirik dirinya dari seberang meja di sana. Gelengan kepala adalah jawaban Jakti, walaupun saat dia mengalihkan pandangannya dia tetap tersenyum.

*** 

Jiman memijit pelipisnya seraya menunggu Coffe Maker menyelesaikan kopinya. Walaupun beberapa hari terakhir ini dia sudah bisa menyelesaikan satu buku berkat bantuan Hosea dan Putri, tetapi tetap saja setiap dia pulang ke rumah rasanya sebelum tidur yang dia lihat adalah angka-angka, persis seperti Queen Gambits yang terus melihat bidak catur di langit-langit kamarnya.

"Lagi sakit kepala, Jiman?" 

Jiman mendongak, dan melihat Selly yang baru saja menutup pintu. Jiman mengangguk tipis. 

"Mau obat gak?" 

Jiman menggeleng, "Tidak bisa sembuh pakai obat. Aku sepertinya butuh cuti."

"Then, cuti." Kata Selly seraya mendekat ke arah Jiman. Ia melihat beberapa capsul coffee yang ingin di minumnya, lalu memutuskan untuk meminum latte machiatto. 

Jiman menghela napasnya, "Kalau segampang itu, kerjaanku belum selesai satu-satu. Kalau aku cuti rasanya aku hanya kabur dari kenyataan, dan ketika kembali yang kulakukan adalah kembali bertemu dengan kenyataan tersebut."

Selly kemudian memutuskan untuk bersender di pantri, "bagaimana kalau bilang ke direktur, bahwa kamu tidak sanggup? Maksudku kamu sebagai quality juga sudah melakukan yang terbaik, kamu tidak melakukan sesuatu yang aneh. Aku sebagai bawahanmu, tidak melihat kekurangan apapun."

Lantai 12Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang