Cerpen 3. Doctor Romance
"Sorry, Bella... Seharusnya ini adalah kabar gembira untukmu. Tidak ada yang salah dengan rahimmu, atau alat reproduksimu yang lain. Semuanya sehat dan siap dibuahi."
Aku mendesah berat sambil merapatkan kembali pakaian pasienku. Entah sudah ke berapa kali aku meminta Shawn memeriksa apakah ada kelainan dengan diriku. Sudah tiga tahun lebih aku menikah, tapi perkawinanku dengan Damien tak kunjung mendapatkan buah hati. Aku sangat sedih. Apalagi, ibu Damien semakin kuat mendesakku untuk memiliki momongan, seolah semua ini hanya salahku. Setiap kali kubilang tak ada masalah denganku, dia selalu mengoceh dan malah menganggapku menuduh putranya yang punya masalah.
Dr. Shawn Strong membelakangiku sementara aku berganti pakaian. "Maaf juga karena kali ini aku tak bisa memberimu resep apa-apa, Dear," katanya sewaktu aku duduk di hadapannya. Aku tersenyum kecut pada kawan masa kecilku itu.
Aku sebenarnya malu memeriksakan diri padanya. Kami bertemu di reuni akbar SMA kami tahun lalu dan baru tahu dia mengambil spesialisasi di bidang infertilitas. Namun, dia meyakinkanku supaya aku datang kepadanya karena dia sangat ingin membantu. Sayangnya, seperti dokter-dokter lain yang kutemui, dia bersikeras tak ada yang salah denganku. Apakah aku tidak senang? Tentu saja aku lega, tapi tidak juga senang. Kalau bukan aku, berarti Damien yang bermasalah.
Orang bijak mengatakan, jangan menganggap kehamilan sebagai keharusan dalam pernikahan sebab itu justru akan memicu stres dan membuatku semakin sulit untuk hamil. Tapi, bagaimana aku tidak stres? Mertuaku mulai mengancam supaya Damien bersikap tegas kepadaku, dia mengira aku yang tak ingin punya anak. Dia tak pernah memaksa putranya memeriksakan diri bersamaku, dan itu membuat Damien merasa mendapat dukungan untuk menolak tuntutanku. Dia yakin dirinya tak bermasalah, tak ada bibit kemandulan dalam silsilah keluarga mereka, sementara ibuku dulu baru mengandung setelah menjalani sepuluh tahun pernikahan. Mereka menuduh aku memiliki masalah yang sama dengan ibuku. Segala cara sudah kucoba, tapi tak juga membuahkan hasil. Masalah keduanya, Damien yang pada awal perkawinan membelaku, kini mulai berpihak kepada ibunya.
"Kau perlu mengajak suamimu ke sini," Shawn mengatakan hal itu untuk keseribu kali, setiap kali kami ada janji temu, kira-kira lima belas kali setiap pertemuan. Aku sampai muak mendengar sarannya. "Otherwise... Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Kalau kau tak ada masalah dan ternyata suamimu demikian halnya, kalian bisa menganggap keberuntungan belum berpihak pada kalian. Tapi tanpa memeriksakan diri?" Shawn menggedikkan bahunya. "Aku tak bisa menyimpulkan apa-apa. Yakinkan dia untuk bisa datang kemari. Kadang memang lebih sulit bagi pria menerima kenyataan ini, tapi dia harusnya sadar... kau tak Akan bisa hamil kalau berusaha sendirian, Bel...." Ucapan Shawn terhenti karena ponselnya berdering. "Maaf, boleh aku menjawab ini sebentar? Ini sangat penting. Aku tidak biasanya mengaktifkan ponsel saat ada pasien, tapi...."
"Oh. Tentu saja. Silakan."
Shawn masih setampan dulu. Ah, aku malu mengakui ini, tapi sebenernya kami bukan kawan masa kecil. Aku pernah berhubungan seks dengannya di suatu pesta saat kami masih remaja. Aku berdansa dengannya dalam keadaan sangat mabuk, liukan tubuhnya yang seksi dan caranya tersenyum menggoda membuatku berhasrat ingin berduaan dengannya. Aku menariknya ke sudut dan kami bercumbu. Shawn kemudian tak bisa menahan birahinya dan mengajakku ke toilet.
Sampai sekarang aku tak bisa melupakan ukuran kelaminnya yang sangat besar dan membuatku menelan ludah saat melihatnya pertama kali. Aku mengocoknya di dalam mulutku dan Shawn memasukkannya ke dalam milikku berulang kali hingga kami kelelahan di bathtub Roger Lawn malam itu. Itu adalah hubungan seks terbaikku saat remaja, mungkin bahkan sampai saat ini karena suamiku mengalami masalah dengan ejakulasi dini. Kekasih-kekasihku juga tak jauh beda, kebanyakan dari mereka hanya peduli pada kepuasan mereka semata. Shawn lain. Dia sanggup membuatku benar-benar orgasme sampai beberapa kali, aku bahkan hampir mengencingi penisnya saat benda itu menyesaki liangku dan memompa dahsyat tubuhku. Sayang sekali hubungan seks istimewa itu tak pernah berlanjut. Kami sama-sama memiliki kekasih.