Bibir Douglas tersenyum. Dia jarang sekali tersenyum di depanku, atau di depan siapapun. Dia membiarkan rambut wajahnya tumbuh lebih lebat, dia terlihat jauh lebih jantan. Aku yakin perempuan-perempuan di luar sana tergila-gila padanya. Tidak ada yang berubah darinya, dia baik-baik saja tanpaku. Tubuhnya masih segagah dan seatletis dulu. Tentu dia mempertahankannya dengan baik demi bisnis dan petualangan-petualangan cintanya.
"Aku tahu apa yang kaupikirkan," gumamnya. "Seorang pria bisa menahan rasa sakit di hatinya dan tetap kelihatan sempurna, Cal...."
"Kecuali jika mereka sama sekali tidak merasakan apa-apa," balasku getir.
"Kau terlalu asyik dengan prasangkamu sendiri.... Aku gagal menjadi suami yang baik untukmu... kupikir aku bisa mendapatkan segalanya, ternyata aku salah. Bukan berarti aku tidak kehilanganmu, Cal. Aku merindukanmu... tubuhmu... dan malam-malam panas yang kita miliki berdua. Sejak kau pergi... aku tidak merasakan apapun... aku—"
"Aku tidak ingin tahu itu," potongku. "Sudah terlambat. Calon suamiku menungguku di bawah, Doug...," kataku sambil membuka amplop tersebut untuk pertama kalinya. "Tolong tanda tangani ini."
"Aku tidak pernah tidur dengan perempuan lain setelah kau pergi," tuturnya.
"Kau berharap aku mempercayai itu?"
"Bukannya aku tidak berusaha," imbuhnya. "Tapi aku... tidak bisa. Mungkin itu kutukan...."
Tidak bisa? Apa maksudnya? Apa dia kehilangan kemampuannya untuk ereksi? Ludahku tertelan membayangkan betapa keras ereksinya dulu. Benda itu tidak pernah puas memenuhi liangku dengan keperkasaan dan ukurannya yang luar biasa. Untuk itukah dia bersedia menemuiku? Mungkin dia pikir dengan maafku, dia akan mendapatkan apa yang hilang darinya karena rasa bersalah? Tidak bisa tidak, aku melirik ke bagian bawah pinggangnya, tapi sesuatu itu tertutup rapat di balik jubahnya. Seolah dia bisa membaca apa yang kupikirkan, tiba-tiba dia menyingkap jubahnya sehingga aku bisa melihat miliknya mengular begitu keras dan perkasa di balik celana piamanya.
"Oh!" seruku malu. "Kau benar-benar tidak bisa dipercaya, Douglas!"
Dia tergelak dan menutup kembali bagian tubuhnya yang mengeras itu. Aku yakin dia tidak mengenakan celana dalamnya sebab benda itu tercetak begitu jelas. "Hanya dengan berada bersamamu di kamar ini... benda ini kembali seperkasa sebelumnya...," katanya pelan, dia lalu bangkit dan menghampiriku. Aku mengulurkan berkas di tanganku supaya dia berhenti merapat padaku. "Aku tidak bilang aku tidak bisa bercinta dengan perempuan lain secara harfiah... mungkin mustahil itu terjadi... hanya saja... aku tidak merasakan kenikmatan sehingga aku berhenti melakukannya. Aku terus... membayangkanmu... Cal... aku memimpikan suara rintihanmu... desahanmu saat tubuhku menghimpitmu, tangisanmu saat pinggulku memompamu—"
"Hentikan...."
"Aku ingin menjilatnya sekali lagi—"
"Kubilang hentikan!" bentakku marah. "Kau sudah keterlaluan!"
"Aku sama sekali tidak menyangkalnya... seharusnya aku memohon lebih keras... dan bukannya menunggumu merasakan hal yang sama dengan yang kurasakan. Aku tidak menyangka... kau akan mengambil jalan pintas...."
"Jalan pintas?"
"Kau tahu dia tidak akan bisa membuatmu sebahagia saat kau bersamaku."
"Kalau aku bahagia bersamamu... aku tidak akan meninggalkanmu."
"Setidaknya aku memuaskanmu di atas ranjang. Kau menggelepar seperti perempuan gila setiap kali kita bercinta... kau pikir itu bukan kebahagiaan? Kau baru akan merasakan kebahagiaan yang hilang itu saat kau tak lagi bisa mendapatkannya. Sepertiku. Aku juga merasakan kehilangan itu saat kusadari... hanya dirimu yang bisa membuatku mengejang orgasme sehebat itu. Milikku... hanya menginginkanmu, Cal...."