My Step Little Brother Who Loves Me
By Tamara Aruna
"Selamat pagi, Sayang... terima kasih kau sudah mau bangun lebih pagi dan melakukan ini semua."
Aku menoleh dari omelet yang sedang kumasak di atas kompor untuk memberikan senyum lebarku pada ayah. Dia mendekat dan mengecup pipiku.
"Dad... kau yakin sudah akan berangkat kerja?" tanyaku. "Tidakkah seharusnya kau libur lebih panjang?"
"Aku sudah libur cukup panjang... banyak sekali hal yang kulewatkan di kantor, Pat. Aku tidak bisa meminta semua orang terus menerus memaklumi kondisiku...."
"Dad...," kesahku seraya mematikan kompor dan memindah omelet ketigaku ke atas piring. Aku membawa salah satu piring itu dan menyajikannya bersama tiga potong sosis. "Istrimu baru saja meninggal. Semua orang akan mengerti."
"Tiga tahun lalu, istriku juga meninggal. Semua orang berpikir aku menikahi Liz terlalu cepat. Apa kau tidak berpikir, kalau aku terlalu lama mengambil libur... mereka akan semakin banyak menggunjingkanku? Kemarin aku ke supermarket dan kulihat senyum semua orang mengasihaniku. Mungkin dalam hati mereka berkata... itu karmaku?"
"Dad!" aku berseru lagi. "Tidak ada yang berpikiran seperti itu."
"Benarkah itu, Pat?" tanya Ayahku sedih. "Kau tidak berpikir begitu?"
Aku menelan ludah.
Kutarik sebuah kursi di depan ayah, lalu setelah duduk, kugenggam tangannya. "Seharusnya aku pulang lebih awal. Kalau saja aku tahu Tante Betty sakit... aku...."
"Tidak apa-apa, Sayang... tidak apa-apa... terima kasih sudah membuatkan kami sarapan. Kau juga membuat sepiring untuk Will?"
"Tentu saja."
"Seharusnya dia akan bangun beberapa saat lagi. Dia juga sudah mau berangkat kembali ke sekolah. Tidak ada gunanya kami bersedih lagi... kami sudah terlalu lama menghadapi Betty yang sakit. Sekarang kurasa... kami berdua sudah lega. Betty sudah ada di tempat yang jauh lebih baik, kan?"
"Ya... dia sudah tidak sakit lagi, Dad...," kataku, sambil menepuk tangannya dan kembali berdiri menyiapkan piring kedua. "So... William sekarang sudah besar, kan?"
"Dia sudah hampir delapan belas tahun," jawab Ayah sambil menyuap. "Mungkin kau perlu memberinya dua omelet dan lebih banyak sosis. Dia sangat besar. Dia bergabung di team basket dan lumayan terkenal di kota ini."
"Oh ya?" seruku senang. "Tiga tahun yang lalu... dia baru mau lima belas tahun dan seingatku dia tidak terlalu tinggi."
"Puberty hit him so hard," kekeh Ayah.
Lima menit kemudian, dia selesai makan. Aku berkata sekali lagi bahwa aku menyesal tidak tiba tepat waktu saat dia memakamkan istrinya. Aku banyak pekerjaan di LA dan baru mendapatkan cuti meski sudah mengajukannya beberapa hari sebelum itu. Karena itu hanya ibu tiriku, mereka tidak bisa langsung melepaskanku dari segala tanggung jawab.