Cerpen 4. My Bestfriend's Wife
Oh sial.
Bryan menemukanku juga.
Begitu melihatku duduk bersembunyi di kubilel Pansy, matanya berbinar dan langkahnya nyaris melompat-lompat menghampiriku. Pansy menggeleng samar seraya menepuk-nepuk bahuku supaya menyingkir dari kursinya. Bryan masih terus mengikutiku saat aku bangkit malas dan kembali ke mejaku. Di depanku, pria yang memulai karir di tahun yang sama denganku di firma mengaitkan jari jemarinya di depan dada dan mulai memohon seperti pengemis, "Please, please... Matthew... aku hanya bisa mengandalkanmu."
Aku mendenguskan napas kencang dan malas. Kutatap Bryan dengan tatapan mencemooh. Bisa-bisanya dia melakukan ini padaku. Entah sudah berapa kali aku menolak permintaan bantuannya. Dia selalu bisa menemukan orang lain untuk melancarkan niat busuknya itu, tapi sepertinya sekarang semua orang sudah dimintainya tolong. Aku memijat pelipis, pura-pura memainkan tetikus, tapi percuma. Bryan tahu aku baru sukses membantu Mr. Fredward memenangkan kasus melawan warga Falcon Street mengenai rembesan limbah pabrik teksil raksasa yang baru sepuluh tahun ini beroperasi tak jauh dari sumber air warga. Pekerjaan yang sangat melelahkan dan mencabik hati nurani, tapi mau bagaimana lagi? Risiko pekerjaan. Selain itu, aku dibebastugaskan sampai minggu depan dan mendapat banyak bonus dari perusahaan atas kepiawaianku menyusun bukti dan mempengaruhi para saksi.
Bryan tahu aku punya banyak waktu untuk sekadar mampir ke rumahnya, menyampaikan pesan bahwa dia harus bekerja lembur, berikut sebuket bunga konyol untuk menunjukkan pada istrinya dia begitu menyesal meninggalkannya sendiri di rumah. Maksudku... kurang kotor apa lagi sih pekerjaan kami ini? Sampai dia masih mau berbuat sejauh ini untuk dosa-dosa yang lain?
Tidak usah mengkhianati istrimu dengan meniduri pelacur saja, aku yakin kami akan masuk neraka, apalagi ditambah menodai janji pernikahan? Aku memang belum menikah, dia akan mengataiku naif karena tak tahu betapa beratnya menjalani rumah tangga. Tapi, aku mengenal banyak lelaki lain yang setia di firma ini. Bahkan, kalaupun satu atau dua orang dari mereka suka bermain dengan wanita tuna susila, paling-paling mereka hanya memakainya sekali, membayar, lalu sudah. Bryan memelihara perempuan itu, menyewakannya apartemen, mengiriminya uang setiap bulan, bahkan kudengar bonus tahunannya kemarin tidak sampai ke tangan istrinya karena dia lebih memilih membelikan pelacur itu mobil bekas.
Gila.
"Kau bisa meneleponnya, Bryan. Kenapa harus selalu menyusahkan orang lain?" gumamku malas.
"Oh... kau seperti tidak tahu saja bagaimana Claire," dengkusnya sambil memutar bola mata. "Dia sangat manja dan susah sekali percaya. Kalau bukan kawanku sendiri yang meyakinkannya, dia akan menuduhku berbohong, apalagi hanya menelepon."
"Tapi kau memang berbohong, Dude...," kataku.
Bryan mendecapkan lidahnya kuat-kuat. "Yeah... yeah, aku bosan mendengarkan ceramah moralmu, Matt. Oke... kau pria setia, tapi kau belum menikah. Kau tak tahu betapa sulitnya membina rumah tangga!" katanya, sesuai dugaanku. "Aku akan melakukan apa saja agar rumah tanggaku tidak berantakan, ini hanya salah satu caraku mengatasi kebosanan. Kalau aku sudah merasa cukup, aku akan berhenti."
Aku menjilat bibirku untuk menghindari kuap, omong kosong, batinku.
"Look, listen, Dude," katanya sembari menahan permukaan mejaku dengan kedua tangannya. "Kau mau membantuku, atau tidak?"
"Kenapa aku harus membantumu? Kau gila?!"
"Ayolah... kau tahu kenapa!" serunya agak keras sampai membuat Pansy menoleh dari layar komputernya ke arah kami. Bryan menyengir dan meminta maaf, lalu dia mulai mengintimidasiku lagi. "Aku tahu kau masih marah padaku."