Cerpen 5. The Bad Boy
Aku terbangun saat matahari sudah terbit.
Mataku mengerjap dan memincing. Butuh beberapa detik sebelum aku menyadari tubuhku terbaring di tempat yang sepenuhnya asing. Bola mataku menjelajahi sekitar, ke setiap sudut ruangan yang tercakup dalam sudut pandangku. Aku melihat poster band di dinding, sebuah gitar listrik dan komputer, juga pakaian pria yang berserak di mana-mana. Sementara kesadaranku perlahan pulih, otakku belum bekerja sempurna. Aku mengedip dengan tenang menatap langit-langit di atas kepalaku dan memproses kenyataan bahwa aku berbaring di atas ranjang di dalam kamar yang jelas bukan kamar flat-ku. Aku baru pindah ke kota ini. Flat-ku juga masih sering membuatku terjaga dengan perasaan seperti ini. Asing. Tapi, ini berbeda. Detik berikutnya, aku baru terkesiap dan bangkit sambil memegangi selimut di dadaku. Refleks-ku sudah mulai bekerja. Aku masih belum tahu di mana tepatnya aku berada, tapi aku sudah tahu kenapa aku berada di sini.
Hal pertama yang kulakukan adalah menggesekkan kedua pahaku di balik selimut dan meraba bagian intimku. Ya. Apa yang terjadi semalam memang terlalu nyata untuk kupercayai sebagai mimpi.
Aku memang mabuk, tapi tak sampai lupa kejadian semalam. Seorang pemuda yang membantuku mencari taksi akhirnya membawaku ke flat-nya gara-gara aku tak bisa menjawab jelas alamat lengkapku. Seperti yang kubilang, aku baru pindah dan belum bisa mengingatnya. Aku mencatat alamat itu di ponselku tapi tak bisa mengingat kombinasi angka kunci untuk membuka layarnya.
Aku ingat kami berciuman di depan pintu gara-gara tak sabar. Di meremas bokongku dan mengerang di telingaku sebelum mengangkatku ke pinggang dan menggendongku ke dalam. Di dalam, kami bercinta seperti pasangan haus seks yang sudah lama tak bertemu. Kamar dalam keadaan gelap. Birahinya tak bisa ditunda untuk sekadar menghidupkan lampu. Mungkin karena gelap, aku melakukannya sambil memikirkan Alan. Tapi dalam keadaan mabuk pun aku tahu, Alan tidak pernah meniduriku dengan gairah sedahsyat itu. Dia benar-benar membuatku merasakan hal yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Hasrat yang membara, gairah yang panas, sentuhan yang menuntut. Dia membuatku merasa dipuja dan terpuaskan. Saat tubuhnya menyatu denganku dan aku berbaring dengan kaki terbuka lebar di bawahnya, atau duduk di atas pinggangnya, matanya tak bisa berhenti menatapku. Jika kami berubah posisi, dia terus melakukannya sambil menciumi kulitku seolah aku kekasih yang sangat dicintainya. Dari balik tubuhku saat penisnya menembus ke dalam diriku, dia terus berusaha menyentuh payudaraku atau menempelkan dadanya ke punggungku. Membuatku merasakan panas suhu tubuh yang menguap lewat pori-pori kulitnya.
Bisa jadi aku hanya berhalusinasi gara-gara sakit hati. Buktinya, aku tidak bisa mengingat wajahnya sama sekali meski batang kejantanannya yang menghunjamku keras semalaman seolah masih membekas di kewanitaanku. Ini sungguh gila. Aku masih bisa mengingat jelas bagaimana rasanya ketika aku memohon supaya dia memasukiku lagi setelah mencabutnya, tapi aku bahkan tak bisa mengingat bagaimana rupanya?
Sekarang aku terbangun dalam keadaan bugil dan sepenuhnya awas terhadap sekitarku. Pemuda yang menyetubuhiku semalam berada di sampingku. Dia mendengkur sambil tidur telungkup membelakangiku.
Semula, aku berniat membangunkannya. Aku sangat penasaran. Tapi bagaimana kalau dia tidak menginginkannya? Bagaimana kalau dia pura-pura tidur? Untuk apa aku harus berkomunikasi dengannya? Ini jelas hubungan satu malam yang sebaiknya tak berkelanjutan. Hal terakhir yang akan kulakukan saat ini adalah terlibat masalah. Terutama urusan seksual.
Namaku Sarah Tucker. Besok pagi aku akan memulai hari baru dengan menjadi guru SMA di kota kecil ini. Ada baiknya aku menghindar dan mengecilkan kemungkinan perbuatanku ini ketahuan oleh siapapun. Aku tidak akan melakukannya lagi. Semua ini gara-gara Alan yang tiba-tiba memutuskan hubungan denganku. Dasar brengsek. Dia bilang dia tak keberatan berhubungan jarak jauh, tapi belum genap seminggu dia sudah tidur dengan perempuan lain. Dia bahkan tidak berusaha menutupinya. Aku mendengar suara perempuan saat kami berbincang di telepon. Saat aku menuduhnya, dia langsung bilang aku pacar yang tak bisa mempercayai pasangan. Dia juga tidak menjelaskan apapun, mengingkarinya, atau apa. Dia malah bilang sebaiknya kami tak melanjutkan hubungan sama sekali.