Cerpen 6. Flame with Brother in Law
"Apa sore ini kau ada di rumah? Aku meminta Jeremy ke sana untuk mengambil barang-barangku. Aku membutuhkannya untuk dikirim ke Paris lusa bersama sisa barangku yang lain di rumah Mom. Anyway... kuharap kau baik-baik saja. Apakah terapimu sukses? Jangan terus berkubang dalam kesedihan. Itu tak bagus. Keluarlah, temui teman-temanmu, atau pergi minum ke bar. Kuharap kau segera menemukan seseorang. Kalau kau bahagia, aku juga ikut bahagia."
Aku terpekur membaca pesan singkat itu.
Saking bodoh pesan itu kedengarannya saat kubaca keras-keras, aku sama sekali tidak bisa memakinya lagi. Bertanya tentang terapiku, lalu pada paragraf yang sama menyuruhku keluar minum ke bar???
Apa dia bahkan ingat untuk apa aku menemui terapis?
Ibuku seorang alkoholik, aku tak ingin kesedihan ini mengubahku sepertinya. Sejak kami bercerai, aku melampiaskan kekecewaanku terhadap diri sendiri dengan minum-minum.
I am a wine tester, menguji anggur adalah pekerjaanku. Ratusan botol anggur dari berbagai merek dan tempat memadati unit kondominiumku. Meski demikian, sebelum suami brengsekku itu berselingkuh dengan klien asingnya yang dungu, aku tak pernah menyecap lebih dari segelas anggur dalam semalam. Saat pernikahan kami yang baru seumur jagung hancur karena dia lebih memilih mengikuti pelacurnya ke Paris dan mendapatkan pekerjaan di sana, aku melampiaskannya dengan menghabiskan botol demi botol anggur.
Sampai kemudian berkali-kali aku mendapati diriku terbangun di satu bagian tempat tinggalku tanpa bisa kuingat bagaimana aku tertidur di sana. Terakhir kali, saat aku akhirnya menelepon salah satu terapis yang dulu menyelamatkan Jeremy dari ketergantungan, aku terbangun di balkon dalam keadaan setengah telanjang. Malam sebelumnya aku minum sambil meratapi nasib pernikahanku.
Kenyataannya, aku sudah membolos dua kelas terapi minggu ini gara-gara mendapatkan cara yang lebih ampuh untuk mengendalikannya. Aku tidak merasa terapi itu membantuku. Sebaliknya, aku seakan dihakimi di setiap sesinya. Ujung-ujungnya aku kembali minum setelah meninggalkan kelas. Dua minggu lalu, Jeremy menanyaiku tetang progres terapi itu lewat panggilan telepon. Sejak itu aku lebih sering menghabiskan malam berbincang dengannya, lalu tahu-tahu keinginanku untuk tenggelam dalam efek minuman keras lenyap sama sekali. Aku lebih senang menghabiskan malam berbincang dengan lelaki itu.
Bagaimana aku mengenal Jeremy dan siapa Jeremy?
Well... aku menikahi Benedict dua tahun lalu.
Kami bertemu di sebuah acara penggalangan dana yang diprakarsai oleh ibuku. Sebagai public figure yang akhirnya berhasil lolos dari jerat minuman keras, ibuku yang dulunya seorang bintang film mendirikan yayasan untuk menolong para pengungsi yang masuk US bersama kawan-kawan selebritasnya. Benedict yang merupakan salah satu team pengacara ibuku turut menghadirinya. Kami mengobrol singkat, bertukar nomor telepon secara resmi. Awalnya, tak ada yang istimewa.
Kemudian, kami bertemu lagi di acara lain yang terpaksa kuhadiri. Lagi-lagi demi kepentingan publisitas ibuku. Karena aku memang seorang penyendiri, Benedict dengan mudah membuatku merasa nyaman di tengah orang asing gara-gara kami sudah pernah berbincang sebelumnya. Dia mengajakku makan malam keesokan harinya, kami semakin akrab dan secara gencar dia mulai terang-terangan mendekatiku.
Semuanya berjalan terlalu cepat sampai kemudian kami menikah. Pada malam di mana Benedict mengundangku bertemu dengan keluarganya, Jeremy-adik lelaki bungsunya-pulang dalam keadaan mabuk berat dan mengacau. Dia mengoceh tentang kekecewaannya pada keluarganya. Menurutnya, semua orang di rumah itu palsu. Dia juga menuding Benedict hanya terpesona pada status sosialku. Aku adalah anak seorang bintang yang kebetulan juga sukses menjalani pekerjaan unik lain. Wajahku sering menghiasi majalah-majalah karir yang menyoroti kaum perempuan sukses. Benedict-sebaliknya-sedang merintis karir di sebuah firma yang kerap menangani kaum selebritas. Pernikahannya denganku melambungkan karirnya.