Blurb

5.2K 639 30
                                    

"Maafin Mas, Ra.

Lama kami terdiam di tengah suasana ramai sebuah kafe di pinggir kota Solo, suasana yang riuh dengan para mahasiswi yang menggunakan wifi gratis walau hanya membeli secangkir kopi sama sekali tidak membuat suasana di antara aku dan pria di hadapanku turut mencair.

Sudah nyaris 6 bulan kami sama sekali tidak bersua, lebih tepatnya pria di hadapanku sekarang menghilang begitu saja tanpa ada pesan, meninggalkanku yang menunggunya di rumah dengan seabrek persiapan lamaran, dan setelah banyak waktu berlalu dia tiba-tiba saja datang ke hadapanku dan berkata maaf?

Sungguh, aku ingin tertawa sekaligus ingin menangis di saat bersamaan. Begitu enteng dia mengucapkan maaf setelah dia mempermalukan aku dan keluargaku di hadapan banyak orang.

Aku kini bertanya-tanya apa di otak Uttara Soetanto yang terkenal pintar hingga menjabat sebagai salah satu petinggi di Hotel Berbintang di Solo ini berfungsi dengan baik, sampai-sampai hal sekonyol ini saja dia tidak tahu jawabannya.

"Maaf kamu bilang, Uttara?" Aku sama sekali tidak menahan sarkasku saat berbicara, nasib baik aku bisa menahan diriku untuk tidak melemparkan isi gelasku pada wajahnya sekarang ini. Bahkan memanggilnya Mas seperti yang selama ini aku lakukan kepadanya aku sama sekali tidak mau lagi.
"Setelah kamu tiba-tiba ngilang di hari lamaran kita kamu masih punya keberanian buat minta maaf sekarang? Kamu sudah lempar kotoran tepat di muka keluargaku, Ta!"

Kemarahan menggelegak di dadaku, bayangan menyakitkan enam bulan yang lalu membuatku ingin menangis sekarang ini. Kekecewaan yang membuncah di dadaku membuatku tidak ingin mendengar apapun.

"Dengerin aku, Ra." Kutepis kuat-kuat tangan besar yang hendak meraih tanganku, dahulu tangan tersebut adalah tangan yang begitu nyaman untuk aku genggam, namun sekarang jangankan di sentuh olehnya, melihatnya saja aku tidak sudi. "Waktu itu aku bingung, mendadak aku nggak siap...... "

"Nggak siap kamu bilang?" Jeritanku keluar tanpa bisa aku cegah, rasa amarah yang susah payah aku cegah untuk keluar kini meledak mendengar ucapan tanpa otak barusan, aku tidak peduli jika sekarang aku menjadi sebuah tontonan, yang ada di kepalaku sekarang adalah bagaimana caranya menyadarkan Uttara si brengsek ini betapa jahatnya dia kepadaku. "Aku nggak pernah minta kamu buat lamar aku, kamu yang datang ke aku bawa keseriusan, kamu yang bilang ke aku sudah waktunya kita meresmikan hubungan setelah lama pacaran, dan tiba-tiba kamu ngilang gitu saja dengan alasan nggak siap? Di mana otakmu yang pintar itu, Bodoh!"

Nafasku tersengal, kecewa yang selama ini aku pendam sendirian karena takut membuat orangtuaku bersedih kini aku tumpahkan pada pelaku utama yang membuat hidupku kacau balau.

Tidak aku pedulikan tatapan penuh penyesalan Uttara aku kembali bersuara.

"Kamu tahu gimana hancurnya aku lihat keluargamu datang dan bilang kalau adikmu yang lamar aku karena kamu ngilang gitu aja, Ta? Aku udah kayak badut, Uttara. Aku harus nerima lamaran orang yang sama sekali nggak aku kenal, dan orang yang sama sekali nggak mengharapkan aku gara-gara keegoisan kamu! Kamu nggak tahu kan sakitnya aku lihat orangtuaku kecewa kamu permainkan!"

Air mataku meleleh tanpa bisa aku cegah, selama 6 bulan aku berusaha menyembuhkan luka karena kecewa, tapi hadirnya Uttara luka tersebut kembali terbuka dan mengalirkan darahnya kembali.

"Sahara, maafin aku!" Lirihan pelan tersebut sama sekali tidak menyentuh hatiku justru membuatku semakin muak, "kita mulai semuanya dari awal, ya. Toh kamu sama Barat nggak saling cinta, aku benar-benar nyesel udah pernah ragu sama kamu, Ra!"

Sebuah tarikan kuat aku rasakan di tanganku, membuatku membentur bahu kokoh dengan aroma familiar yang terasa akrab selama 6 bulan ini, sosoknya yang menyebalkan di mataku kini berubah menjadi penyelamat di saat aku tidak bisa berkata-kata.

Untuk kesekian kalinya aku bersyukur, dia menolongku, menyelamatkanku dari kehancuran yang di perbuat Kakaknya sendiri. Rengkuhan posesif di pinggangku seperti yang dia lakukan sekarang seperti mengejek Kakaknya sendiri.

"Jangan ganggu calon istri Barat, Mas Tara! Ingat, semenjak hari dimana Mas ninggalin dia, kalian sudah putus hubungan!"

Bukan PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang