11 : Anton Prasatya

1.7K 457 16
                                    

"Pacaran setelah nikah tuh kata Abang seniorku enak tahu dek, katanya nggak dosa kalau mau rangkul-rangkul atau pegangan tangan. Mau ya, kita siapin berkas buat pengajuan."

Gemas dengan dirinya yang asal jeplak tidak peduli jika jalanan tengah ramai sesak dengan orang yang mungkin saja mencuri dengar omongannya yang absurd aku mencubit bahunya dengan keras.

"Ntar kalau mau di ajak nikah Mas kasih tahu satu rahasia deh kenapa Mas mau jadi pengganti, gimana?"

Tidak tahan dengan ajakan nikah atau lebih romantis jika di sebut orang lainnya dengan kata lamaran di atas motor trail ini terus terdengar dari sosok berseragam loreng yang tengah memboncengku ini aku menutup mulutnya kuat-kuat.

"Dahlah, diem aja nih mulut. Orang kok nggak ada romantis-romantisnya. Ngajak nikah kok maksa." Dumelku tidak karuan, hiiisss dua hari ini hidupku benar-benar di buat jumpalitan olehnya yang berubah-ubah. "Tutup mulut Mas Barat rapat-rapat dan biarin aku nikmatin pagi ini tanpa ajakan nikah. Heran aku tuh, nggak Kakak nggak adik ngebet ngajak nikah, ntar ujung-ujungnya di pehapein lagi!"

Tepisan aku rasakan di tanganku yang sebelumnya membekap bibirnya, belum sempat aku kembali menutup mulutnya yang cerewet itu dia kembali bersuara. "Udah Mas bilang, Mas nggak akan ninggalin kamu, Dek."

"Heleh, mulut buaya!" Balasku sengit.

Gelak tawa seorang Mas Barat kembali bersuara, tapi kini dia menuruti apa permintaanku untuk tidak membahas tentang ajakannya menikah, sembari menggenggam sebelah tanganku dia melajukan motornya semakin kencang.

Semilir angin pagi yang menerpa wajahku membuat mataku terpejam, dingin dan menyenangkan, melupakan polusi yang akan membuat penuaan dini cepat terjadi aku menikmati hal yang sudah lama tidak aku rasakan.

Rasanya sangat menyenangkan, seperti kembali ke masa SMA di mana hal yang sama pernah aku rasakan dengan sosok yang kini menjadi salah satu bagian dari kenangan yang aku simpan di dalam pojok indah sudut hatiku. Sosok yang mungkin tidak akan pernah aku temui lagi seumur hidupku.

Sebelah tanganku yang tidak di genggam oleh Mas Barat terentang, menyapa angin pagi mengacuhkan mereka, pengendara lain, yang kami lewati dan memandangku dengan dahi yang mengernyit, mungkin mereka sedang mengelus dada karena kelakuan norakku, tapi bodoh amatlah, karena sensasi menyenangkan tiap kali naik motor seperti sekarang membuatku nostalgia di masa bahagia tidak terasa mencekik dengan memikirkan ini dan itu akan pandangan orang.

"Cuma di ajak naik motor loh kamu bahagia banget, dek?"

Suara dari Mas Barat yang terdengar sayup-sayup membuatku membuka mata, sembari menurunkan tanganku yang sedari tadi menyapa angin aku beralih memeluknya.

Aku sadar aku terlalu cepat mendekatkan diri pada Mas Barat, tapi entahlah, aku merasa ada sesuatu yang familiar di dirinya yang membuatku merasa nyaman untuk mendekat seperti sekarang.

"Aku lebih suka naik motor kayak gini, kena angin sepoi-sepoi nyegerin walau ntar skincare anti aging musti di kencengin. Ara udah bosen naik mobil, tiap hari nemenin test drive para customer."

Apalagi dulu sama Tara nggak akan pernah di izinin naik motor walau kepepet harus pakai goride, entah apa alasan Tara tidak pernah mengizinkanku naik motor, tidak tahu dia benar-benar mengkhawatirkan keselamatanku atau hanya sekedar menuruti gengsinya yang sebesar gunung Himalaya. Bukan hanya tidak memperbolehkanku naik motor tapi Tara juga selalu memberikan peringatan padaku apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh aku lakukan dengan dalih sebagai calon istri seorang Petinggi Hotel ternama di kota ini aku harus bisa menjaga sikap agar layak bersanding dengannya.

Cih, bisa-bisanya aku dulu manut dengannya manggut-manggut seperti kerbau bodoh karena buta dengan yang namanya cinta tidak ingin mempermalukannya. Bahkan aku melupakan dan menyingkirkan apa yang aku sukai hanya karena tidak seperti yang Tara inginkan.

Aku menjadi seperti yang di minta Tara, menuruti apa yang dia katakan walau aku tidak menyukainya karen aku tidak ingin mengecewakan dan mempermalukannya, tapi nyatanya setelah semua hal yang aku lakukan dia meninggalkan aku begitu saja.
Sekarang aku baru menyadari betapa manipulatifnya mantan pacarku tersebut, hal minus yang semakin memperpanjang daftar julukanku untuknya selain dominan dan juga pemaksa.

Astaga, mungkin jika aku tidak di campakkan olehnya selamanya hidupku hanya akan menjadi boneka yang di atur sedemikian rupa olehnya, tidak peduli jika hal tersebut menghilangkan jati diriku.

Perpisahanku dengan Tara ini terasa menyakitkan luar biasa, namun juga sangat melegakan, rasanya seperti keluar dari penjara tidak kasat mata yang selama ini mengikatku dengan erat.

Sentuhan di tanganku membuatku tersentak, dan aku baru menyadari jika motor ini sudah berhenti di depan showroom tempatku bekerja. "Nggak ngomong kalau udah sampai" gerutuku sembari melepaskan helm hijau army yang tadi di pasangkannya ke pada si empu yang kini menatapku lekat, seolah dia tahu jika aku baru saja tenggelam dalam balutan masalalu yang pernah membahagiakan sekaligus menyesakkan.

Bibir tersebut bergerak hendak mengatakan sesuatu, namun belum sempat Mas Barat mengatakan apapun kepadaku sebuah mobil yang terhenti tepat di depan motor Mas Barat yang terparkir mengalihkan perhatian kami.

Sebuah mobil Toyota Camry hybrid yang sangat aku kenali siapa pemiliknya, siapa lagi kalau bukan si Anton Prasatya yang merupakan Branch Manager yang sering kali membuat diriku gondok setengah mati.

Melihat bagaimana bentukannya yang sombong keluar dari mobilnya dengan penuh gaya yang dia pikir pasti terlihat sangat keren padahal sebenarnya nyaris saja dia membuatku mual saking songongnya,  dia berjalan menghampiriku.

Orang lain, atau wanita lain yang mengenalnya, baik sama-sama marketing atau pun customer kami, mengagumi penampilannya yang sangat dandy dalam setelan kemeja yang licin halus berserta dasi dan kini kacamata hitam bertengger di hidung mancung yang halus karena perawatannya jauh lebih mahal daripada perawatanku, namun untukku, Anton Prasatya adalah mahluk nomor satu yang harus aku hindari di dunia ini.

Dia seperti kuman untukku. Kalian ingin tahu kenapa aku membencinya, mari mendekat dan dengarkan sapaan songongnya.

"Sahara, wah-wah saya nggak nyangka secepat ini kamu bawa gandengan baru." See, dengarkan bagaimana sapaannya, dia ini seorang Manager, namun mulutnya nyinyir sekali membicarakan masalah pribadi. Dan dia berbicara seringan dan seenteng ini tepat di depan muka Mas Barat, kacamata hitam Segede gaban yang dia banggakan karena merk-nya benar-benar membuatnya buta. "Padahal dari gosip yang tersebar di group kantor ini katanya kamu baru saja di tinggalin pacarmu yang kamu banggakan setinggi langit di depan wajahku."

Huuuh, tahan Ara. Tahan tinjumu agar tidak melayang pada wajah tampan yang sayangnya menyebalkan tersebut.

Masih dengan tatapan mengejek berpura-pura tidak melihat wajahku yang nyaris meninjunya, Anton Prasatya justru mengalihkan pandangan kepada Mas Barat yang balas menatapnya dengan pandangan datar.

"Huuuhh, jadi ini penggantinya, astaga Sahara kamu bikin saya terhina, okelah saya kalah dengan pacarmu yang dulu karena dia punya posisi menter di Hotel, tapi sekarang seleramu jatuh ke dasar jurang hanya sebatas Bintara?"

Bukan PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang