4

2.1K 449 12
                                    

Tentang Keseriusan

Dinginnya air membasuh wajahku yang sebelumnya panas dan sembab karena tangis yang sempat hinggap sebelumnya. Dari pantulan cermin toilet bayanganku balas memandang dengan senyuman, menguatkan diriku sendiri jika badai besar akan berlalu, dan tokoh antagonis, si Tara, akan kena batunya.

Hanya soal waktu, dan mungkin jika aku beruntung aku bisa melihat Tara terseok karena sakit hatinya, satu langkah yang harus aku ambil agar bisa mendapatkan kesempatan itu adalah menemui pria yang beberapa waktu lalu datang dengan heroiknya menyelamatkanku dari rasa malu walau selebihnya aku justru semakin merasakan sakitnya di lempar kesana kemari seolah tidak memiliki perasaan layaknya permainan.

"Kamu cantik, Sahara." Gumamku pelan menyemangati diriku sendiri. "Udah nggak terhitung berapa banyak teman Mas Huda yang pengen deketin kamu." Ya, bukannya geer, tapi semenjak Kakakku kuliah, setiap temannya yang bertandang ke rumah selalu berusaha mendekatiku, itu sudah cukup membuktikan jika parasku menawan bukan? "Dan kamu juga pintar, kamu juga berpenghasilan. Kalau Mas Tara meninggalkanmu, bukan kamu yang rugi. Tapi dia yang rugi kehilangan kamu."

Aku sadar di bandingkan dengan perempuan yang ada di sekelilingnya, diriku yang menjadi seorang Marketing Mobil bukanlah sesuatu yang prestise, namun untuk urusan gaji, jangan remehkan kami, karena jika seorang Marketing pandai menggaet pembeli dan berhasil closing melebihi target, di jamin rekening kami gendut dalam waktu cepat.

Karena itulah aku tidak ada alasan untuk merasa rendah diri bertemu dengan Barat yang notabene adalah adiknya Mas Tara dan pasti sifatnya sebelas duabelas dengan Kakaknya tersebut.

Berhasil kembali memupuk rasa percaya diriku yang sempat anjlok dengan tingkah kurang ajar seenaknya Mas Tara, aku melangkah dengan percaya diri dan senyuman menawan yang biasanya sukses membuatku closing unit customer yang sebenarnya hanya berniat melihat-lihat, aku menemui Barat Soetanto yang ingin menemuiku.

Calon suamiku. Seorang yang menghilang pasca menyematkan cincin pada jemariku usai sikap sok pahlawan kesiangannya kini datang. Aku kira dia mau menghilang bak di telan bumi kayak Kakaknya.

Entah apa sebenarnya motif dari Barat tersebut sampai tiba-tiba dia mau menggantikan Kakaknya, bukan tidak mungkin jika sebenarnya dia juga hanya balas dendam pada Kakaknya, kita tidak tahu bukan dalamnya hati seseorang. Sangat aneh di pikirkan seorang adik mau bekas Kakaknya.

Tidak ingin berpikiran yang tidak-tidak aku menggeleng pelan, mengusir segala pikiran yang mengganggu, toh cepat atau lambat aku akan tahu apa niatnya.

Dan saat aku keluar dari kantor, tidak sulit menemukan sosoknya, sosok jangkung yang sebelas duabelas mirip dengan Kakaknya, nyaris serupa hanya seragam loreng yang dia kenakan yang membuatnya berbeda dari Mas Tara yang biasanya mengenakan kemeja berlapis jas karena tuntutan pekerjaan.

Namun semakin aku mendekatinya yang kini terpekur duduk menghayati ponselnya di kursi tempat biasa kami menjamu tamu, aku semakin bisa melihat perbedaan antara Barat dan Uttara yang sebelumnya aku bilang mirip.

Jika Mas Tara terlihat hangat dan menebarkan kesan positif khas anak marketing yang di tuntut ramah walau sebenarnya dia adalah pria yang begitu mendominasi dan sangat antipati dengan sikapku yang terlalu mandiri, maka pria dengan potongan rambut cepak juga bahu yang lebar lengkap lengannya yang nampak berotot tertutup seragamnya yang tergulung, Barat justru nampak begitu dingin tidak tersentuh.

Astaga, benarkah pria kaku ini yang melamarku? Mendadak kepalaku kembali pening memikirkan apa benar keputusan gegabah yang sudah terlanjur aku ambil ini.

Seolah sadar akan hadirku yang semakin dekat dengannya pria berseragam yang pasti menjadi incaran para Mbak-mbak kesehatan tersebut mendongak, menatapku dengan tajam begitu lekat.

Namun kontras dengan auranya yang dingin seperti ada benteng tak kasat mata yang membatasinya, seulas senyum hangat justru tersungging di bibirnya.
Alamak, bagaimana kakak adik yang muncul dari rahim yang sama justru mempunyai sifat yang bertolak belakang?

"Mas Barat." Lidahku terasa kelu mendapati senyuman tulus darinya, niatku ingin balas dendam pada Mas Tara melalui dirinya mendadak menjadi ide yang buruk, terlebih saat lidahku ini tanpa izinku sudah memanggilnya dengan sebutan 'mas', tolong itu adalah panggilan sakral untukku khusus bagi orang yang spesial karena biasanya aku memanggil orang yang lebih tua dengan sebutan Abang. "Kita bicara di luar saja." Tambahku lagi yang hanya di angguki olehnya sebelum beranjak bangun mengekoriku.

Baru setelah kami sampai di luar, lebih tepatnya di pelataran parkir yang rindang karena pohon pucuk merah yang menjulang, aku langsung menodong calon suami penggantiku ini tanpa basa-basi.

"Ada yang mau Mas Barat omongin?"

Pria yang ada di hadapanku ini menatapku lekat, begitu lekat seolah memindai setiap mili kulitku mengabsen bekas jerawat atau pori-pori besar yang ada di pipiku, tapi di saat bersamaan juga aku bisa melihat, walau antara Barat dan Uttara memiliki garis wajah serupa, mereka berbeda.

Tidak ada jawaban langsung darinya, pria tegap dengan bahu lebar yang membuatku mengkhayalkan betapa nyamannya bersandar pada bahu tersebut justru menyorongkan ponselnya.

"Nomor telepon kamu, Dek!"

Dek? Astaga, tiba-tiba saja aku merasa pipiku memanas mendengar panggilan yang lazim di ucapkan oleh para pria berseragam kepada pasangannya. Kenapa kedengaran manis sekali sih.
Bahkan saking syoknya aku dengan panggilan yang efeknya dahsyat dari pria bersuara berat ini, dengan bodohnya aku justru terdiam di tempat seperti patung.

"Kemarin waktu di rumah aku lupa buat minta." Duhhh, kenapa nih laki ngomongnya bisa seluwes ini sih, sementara aku mendadak jadi gagu, ayolah, Ra, kemana keahlianmu merayu para pak Bos, tunjukkin dong ke calon suami pengganti ini. "Harusnya aku minta waktu itu buat ngasih kabar, kayak kemarin, aku minta maaf seminggu ini nggak lihatin batang hidungku karena ada latihan keluar kota, kamu pasti mikirnya aku nggak serius kan sama lamaran aku?"

Kalimat panjang lebar dari Barat ini menjawab tanyaku akan apa membuatnya menghilang tiba-tiba dengan kurangajarnya. Sungguh aku salah mengira Barat ini tipe pria wattpad yang kaku dan stay cool, karena nyatanya pria ini berbicara panjang dan begitu luwes, tanpa dominasi atau kesan kaku seperti wajahnya.

Tidak ingin terpesona dengan sikap adik mantan calon tunanganku ini aku membalik pertanyaan.

"Memangnya Mas Barat serius sama lamaran Mas kemarin?" Ucapku to the point, setelah aku di permainkan seenak hati oleh Mas Tara aku banyak belajar jika  tidak ada yang bisa di percaya di dunia ini selain keluarga. "Mumpung kita belum ada apa-apa, lebih baik sekarang Mas katakan saja, apa tujuan Mas sebenarnya mau jadi pengganti buat Uttara. Aku seorang yang berpikiran terbuka, apalagi setelah kejadian kemarin, jika kamu mau kerja sama balas dendam ke kakakmu, ayo kita bicarakan."

Bukan PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang