14 : Nggak Adil

1.7K 438 12
                                    

"Mas kira saat kamu berbicara dengan Atasanmu tentang kamu yang mengenal Mas lebih dahulu karena kamu sudah mengingat siapa aku, Dek."

"..........."

"Ada berapa Bara di dalam hidupmu sampai begitu sulit untuk mengingatnya? Atau memang tidak pernah ada Bara yang pernah singgah hingga kamu tidak mengenalinya."

"............"

"Aku tidak terburu-buru, aku justru terlambat sangat lama sampai akhirnya sekarang kamu lupa."

Tangan besar dengan jam tangan sport tersebut terulur, bukan jam tangan mahal seperti milik Mas Tara, namun terlihat begitu serasi di kenakan oleh Mas Barat, mengusap rambutku dengan penuh kelembutan.

"Tolong ingat aku, Dek. Rasanya aku nggak sanggup harus memperkenalkan diri sekali lagi. Aku nggak setangguh yang kamu kira."

Kalimat Mas Barat yang di ucapkan penuh kesenduan tersebut kini terngiang di kepalaku. Bayangan akan wajah kecewanya yang melaju pergi meninggalkan aku begitu saja di depan kantor seolah tidak mau lepas dari ingatanku.

Rasa bersalah yang menghantamku karena sudah mengecewakan pria asing yang sudah menyelamatkanku dan keluargaku dari rasa malu karena di tinggalkan Mas Tara begitu saja melebihi rasa sakit karena gagalnya lamaran tempo hari.

Seolah sudah menjadi kebiasaan dari Mas Barat, dia pergi begitu saja usai mengucapkan kalimat ambigu yang sulit sekali untuk aku pahami, entahlah, memikirkan kalimatnya yang menyiratkan jika dia adalah seorang yang sangat aku kenal membuatku pusing sendiri.

Apalagi di luar dugaanku Mas Barat menyebutkan nama yang membuat dunia remajaku jungkir balik tidak karuan karena cinta monyet pada sosok kurus, berkulit pucat, dan berkacamata, seorang yang memperkenalkan dirinya dengan nama Bara.

Bara dan Barat. Dua nama tersebut sudah membuat hari-hariku belakangan ini tidak nyaman dan membuatku tidak fokus bekerja di kantor dan di rumah aku seperti Ayam teler yang kena virus H5N1 yang membuat Ibu dan Ayah senewen karena aku tidak nyambung di ajak ngobrol. Apalagi obrolannya tidak jauh-jauh dari tanggal pernikahan yang ternyata sudah di tentukan tanpa menunggu persetujuanku terlebih dahulu, bahkan mungkin Ayah sudah bergerak mengurus surat-surat untuk pengajuan nikah yang terkenal ribet tersebut.

Sama seperti Mas Barat yang ngebet ingin menikahiku, Tante Umi dan Om Ridwan juga orangtuaku, mereka juga tidak sabar untuk menggelar pernikahanku, tidak peduli aku mengiyakan atau menolak. Lamaran yang gagal kemarin berefek dahsyat untuk dua keluarga kami.
Ibu dan Ayah khawatir jika terlalu lama menunda pernikahan, kegagalan yang sama seperti lamaran kemarin akan kembali terjadi, dan aku akan berakhir menjadi perawan tua. Sungguh konyol rasanya saat mendengar alasan Ibu yang percaya dengan mitos kalau perempuan yang gagal menikah tidak akan ada yang mau melamar lagi.

Uggghhh, rasanya ingin aku getok orang pintar yang mengeluarkan pemikiran konyol tersebut.

Semua orang seperti tidak peduli dengan pendapatku. Jangankan peduli apa pendapatku, bahkan tidak ada satu pun yang sadar jika separuh kepalaku terasa kosong memikirkan apa dugaanku tentang Bara dan Barat adalah sosok orang yang sama.

Rasanya sulit untuk aku percaya jika Mas Barat dan Bara, kakak tingkatku di bimbel dahulu adalah orang yang sama, sudah aku katakan bukan mereka orang yang sangat berbeda dari segi fisik.

Akan tetapi kalimat ambigu Mas Barat mengusik benakku. Ucapannya tempo hari seolah penegasan jika mereka adalah orang yang sama dan  menekankan betapa aku adalah orang yang begitu buruk hingga tidak mengenali cinta pertamaku saat kami bertemu kembali.

Huhuhu, bisa kalian rasakan bagaimana tertekannya aku sekarang, gagal di lamar pacar setelah dua tahun pacaran, setelan itu di lamar oleh pria asing, tidak lama kemudian orangtua memaksa untuk segera menikah karena ketakutan yang tidak masuk akal, dan sekarang di tambah ada kemungkinan jika sosok yang melamarku adalah masalalu yang tidak aku kenali saking berubahnya dia. Rasanya kepalaku ingin pecah karena  perasaanku yang campur aduk tidak karuan sudah tidak muat lagi di kepalaku.

Ya Tuhan, kenapa hidupku yang sebelumnya datar-datar saja sekarang jadi semrawut kayak gini, sih? Kalau benar Mas Barat itu Bara yang sama seperti Bara yang pernah aku kenal, kenapa dia nggak langsung bicara to the point tanpa ada banyak hal bertele-tele yang membuatku gamang seperti sekarang.

Kembali untuk kesekian kalinya aku memandang ponselku, menatap layar chatting yang memperlihatkan sosok yang membuat hidupku tidak nyaman semingguan ini.

Rasanya sangat menyebalkan melihat wajah Mas Barat yang terlihat datar namun tetap menawan bahkan di saat dia hanya mengenakan kaos loreng sederhana yang di pakainya, tatapannya seolah mengejekku yang kini hanya mampu memandang setiap storynya tanpa berani menghubunginya lebih dahulu untuk menanyakan kepadanya apa yang ada di kepalaku.

Bisa-bisanya seorang Barat Soetanto yang mengejar dan memaksaku untuk menikah dengannya bisa menjalani harinya yang sibuk dan penuh jadwal latihan dengan begitu baik sementara aku di sini nyaris vertigo.

Huuuh, aku tidak terima di acuhkan olehnya seperti ini sementara dia baik-baik saja menjalankan tugasnya di Batalyon.

"Abang lihat sekarang kamu betah banget bengong di sini, Ra!" Entah sejak kapan karena khusyuknya aku bengong aku tidak menyadari Mas Huda yang kini duduk di sebelahku, wajahnya yang biasanya tengil dan suka sekali memamerkan jika dia akan menjadi seorang Ayah sekarang melihatku dengan pandangan menyipit khas dirinya jika sedang ingin mencecarku.

Perlahan aku beringsut, sedikit menjauh dari Kakakku dan bersandar pada pinggir gazebo, hatiku sedang menimbang apa aku harus bercerita pada Mas Huda atau tidak apa yang sedang aku rasakan sekarang.

Akan tetapi belum sempat aku mengatakan apa-apa, calon Ayah ini sudah kembali mengeluarkan suaranya.

"Mas kira Barat cuma asal ngarang saja waktu bilang suruh perhatiin kamu, ternyata apa yang dia omongin memang benar, overthinking-mu itu loh Ra di kurangin, napa! Jidatmu bisa makin lebar kalau kamu gunain buat mikirin hal-hal yang nggak perlu kamu pikirin sebenarnya. Nasib baik bengong di sini nggak di tempelin Mbak Kun-Kun."

Mendengarkan nama Barat di sebut radar di telingaku langsung berdiri, di antara banyaknya alasan kenapa Masku mendadak nongol di sini, alasan di minta oleh Barat adalah alasan terakhir yang bisa aku pikirkan.

Alih-alih menjawab tanya Mas Huda aku langsung melemparkan tanya balik ke Kakakku tersebut, "kok Mas Barat sih, memangnya Mas Barat kontakan sama Mas?"

Sebuah toyoran aku rasakan di dahiku, tidak sakit memang tapi jika Mas Huda sudah seperti ini berarti dia sedang kepalang kesal sekarang ini kepadaku.

"Menurutmu, Ra? Ya kali dia mau nikahin adik Mas tapi nggak ngehubungin Mas sama keluarga kita. Bahkan calon suamimu itu menurut Mas lebih perhatian ke orangtua kita dari pada kamu sama Mas. Bikin iri saja, nggak cuma mau ambil kamu jadi istri, tapi dia juga ambil hati Ayah sama Ibu."

Aku semakin merengut tidak suka saat menyadari situasi yang mulai aku tangkap dari apa yang di ceritakan Mas Huda. "Haa, perhatian sama orangtua kita? Berarti di sini cuma Ara yang di cueki Mas Barat sementara sama Mas dan Ayah tetap kontakan sama dia."

Nggak adil banget, sumpah!!!!!

Bukan PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang