17 : 9 Tahun Yang Lalu

1.6K 357 11
                                    

"Mas Bara, nanti turun di depan gang saja."

Seumur-umur selama 17 tahun aku hidup, aku tidak pernah di antarkan oleh teman lelakiku pulang, jangankan di antar pulang, sedari SMP atau saat pulang sekolah setiap kali temanku melihat wajah garang Mas Huda yang memanjangkan rambutnya sampai dia lebih mirip Yakuza atau wajah Ayah yang menyeramkan dengan jambang baplangnya seperti mafia, mereka akan enggan untuk mendekatiku.

Teman sekolahku terlalu ngeri dengan kedua pengawalku tersebut. Bahkan seringkali saat di kelas mereka akan menggodaku jika sampai lulus sekolah aku tidak akan punya pacar karena tidak ada yang berani menghadapi Ayah dan Kakakku.

Sebab itulah aku meminta Mas Bara menurunkanku di gang masuk kampung, jika biasanya aku tidak peduli dengan pendapat para teman lelakiku, bodo amat aku di katain tidak laku oleh temanku karena tidak punya pacar, tapi aku takut Mas Bara juga akan ketakutan lalu menjauhiku seperti yang lain saat mungkin saja nanti di rumah dia akan bertemu Ayah yang sudah pulang.

"Nggak sopan nganterin anak orang di turunin pinggir jalan, Dek!"

Aku mendesah pelan mendengar jawaban dari Mas Bara yang terdengar begitu tenang di tengah lajunya motor yang dia kendarai.

"Ayah sama Kakakku galak loh, Mas." Bujukku lagi, sungguh aku tidak ingin Mas Bara menjauhiku seperti orang lainnya, orang lainnya boleh menjauhiku, tapi jangan seniorku di Bimbel ini. Aku memang tidak mengenal Mas Bara selain dia seorang seniorku di Bimbel, bahkan aku hanya sekedar tahu dia murid kelas XII salah satu SMA Negeri favorit di Solo tanpa tahu hal lainnya seperti di mana rumahnya atau hal-hal lainnya, namun satu kenyamanan yang dia tawarkan kepadaku yang bahkan tidak aku tahu namanya membuatku enggan untuk menjauhinya.

Aku bisa melihat Mas Bara menoleh ke arahku, dari celah sempit helm Cakil yang di pakainya aku mendengarnya bergumam dengan begitu jelas. "Segalaknya orangtuamu mereka nggak akan makan aku karena nganterin kamu pulang, Dek. Percaya sama Mas."

Mendapati keras kepalanya Mas Bara aku hanya bisa mendesah pelan, bergumam sembari berdoa dalam hati semoga Ayah dan Mas Huda keduanya tidak berada di rumah, doa yang semakin kencang aku gumamkan seiring dengan semakin dekatnya laju motor ini menuju rumahku.

Tidak sampai lima menit, deru motor yang sebelumnya begitu kencang perlahan semakin melambat sesuai instruksi yang aku berikan hingga akhirnya motor trail dengan slogan 'one heart' ini berhenti di sebuah rumah Jawa dengan halaman yang cukup luas.

Hatiku seketika mencelos saat mendapati mobil pick up Ayah yang penuh dengan beberapa barang dagangan terparkir berjajar berdampingan dengan motor matic Scoopy Mas Huda, dalam hati aku tidak hentinya menggerutu pada Mas Huda, tadi saja dia setengah mati sulit aku hubungi tapi lihatlah lagi-lagi dia paling kelupaan dan ketiduran di kamarnya.

Huuuhh, lihat saja, akan aku adukan Mas Huda pada Ibu, sungutku dalam hati.

"Ini rumahmu, Dek?" Pertanyaan dari Mas Bara saat aku turun dari motornya membuatku langsung mengangguk.

"Iya, Mas. Ini rumah Ara. Makasih ya Mas Bara sudah nganterin." Jawabku sembari tersenyum, mendapati laki-laki di hadapanku yang membalas ucapan terimakasihku dengan senyuman yang sama, aku merasakan kepak aneh muncul di perutku, rasa yang menyenangkan dan membuat pipiku terasa panas. Ingin aku berlama-lama memandangnya sayangnya rasa malu membuatku menundukkan wajah.

Sebuah usapan hinggap di kepalaku darinya, tampak sekali senyumannya yang menggemaskan terlihat dan itu membuat jantungku seperti salto jungkir balik tidak karuan.

"Sama-sama, Dek. Ngomong-ngomong di mana Ayah sama Kakakmu yang kamu bilang galak tadi?"

Mendengar nama Ayah dan Mas Huda yang di sebut-sebut membuatku tersentak, untuk beberapa saat aku malu-malu meong di hadapan Mas Bara hingga lupa dengan Ayah dan Mas Huda yang ada di rumah. Tidak ingin Mas Bara bertemu dengan mereka aku buru-buru ingin menyuruhnya pergi.

Tapi belum sempat apapun terucap dari bibirku, suara menggelegar Ayah yang biasanya beliau gunakan untuk memanggil kuli panggul di Pasar terdengar hingga membuatku nyaris saja terjungkal saking kagetnya.

"HEI SIAPA KAMU YANG NGANTERIN ARA! SINI TURUN KALAU BERANI!"

Dengan cemas aku menggeleng, tidak aku sangka Ayah bisa segarang ini dalam bersuara, apa yang di takutkan teman-temanku rupanya benar adanya jika Ayah memang mengerikan. Terbiasa mendapati Ayah yang begitu lembut kepadaku aku menjadi ngeri sendiri sekarang ini.

"Udah balik aja Mas daripada kena omel!" Mencegahnya untuk turun aku menahan Mas Bara, tapi pria berkacamata yang terlihat tidak seimbang dengan Mas Huda ini justru tersenyum kecil sembari menepuk tanganku pelan.

Bukannya pergi seperti yang aku minta Mas Bara turun dari motornya, mengabaikan aku yang sudah ngeri sendiri dia justru menghampiri Ayah yang ternyata bersama Mas Huda.

Seumur hidupku baru kali ini aku melihat dua orang pria paling aku sayang bereaksi begitu mengerikan, tapi berbeda denganku yang sudah menciut ketakutan dengan tampang Ayah dan Mas Huda, Mas Bara justru dengan santainya meraih tangan Ayah dan Mas Huda bergantian memberikan salam.

Hal yang membuatku ingin pingsan seketika.

"Kenalin Pak saya Bara, senior Dek Ara di Bimbel." Sungguh aku di buat takjub dengan ketenangan Mas Bara yang tidak terintimidasi oleh Ayah dan Mas Huda, ketenangannya sangat bertolak belakang dengan penampilannya yang seringkali di katain culun oleh yang lain dan identik dengan pengecut.

Hal yang sangat salah mengenai Mas Bara, karena dia sama sekali bukan pengecut, di mataku kata pemberani saja tidak cukup menggambarkan dirinya sekarang.

Bukan hanya aku yang terkejut dengan sikap Mas Bara, terlihat jelas jika Ayah dan Mas Huda juga merasakan hal yang sama. Apalagi dengan lancarnya tanpa di minta Mas Bara menjelaskan kenapa dia bisa berakhir dengan mengantarku pulang, penjelasan yang membuat Mas Huda mendapatkan pelototan kesal dari Ayah.

Huuuhhh, marahin aja Yah Mas Huda, seenaknya dia lupa sama adiknya ini. Coba kalau nggak ada Mas Bara, mungkin Mas Huda akan menjemputku menjelang isya, itu pun kalau dalam perjalanan ke tempat lesku dia nggak mampir-mampir.

"Pacaran kamu sama si Ara sampai punya kewajiban banget buat nganterin dia pulang?"

Bukannya berterimakasih karena Mas Bara sudah menolongku Mas Huda justru melemparkan pertanyaan konyol yang sangat memalukan tersebut tepat di depan wajahku.

Entah di mana otak Masku itu, mungkin terlalu penat dengan matkul yang padat membuat otaknya dia gadaikan separuh.

Tidak tahukah Mas Huda bagaimana efek pertanyaannya barusan kepadaku, rasanya memalukan saat crush kita di tanya demikian.

Tapi semesta memang seolah ingin menjungkirbalikkan seorang Ara, aku baru saja mengenal hal yang bernama cinta pada seorang yang bisa membuatku nyaman bersamanya, dan saat itu juga aku mendapatkan jawaban dari perasaannya terhadapku.

"Saya nggak berani ngajak adek Mas buat pacaran. Saya masih sekolah Mas, nanti kalau saya sudah jadi orang saya langsung datang ke sini buat lamar dek Ara langsung. Untuk sekarang saya cuma berani berteman."

Bukan PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang