16

1.6K 387 23
                                    

24 Agustus, 9 tahun yang lalu.

"Kalau kamu ngerjain pakai cara kayak gini, sampai Albert Einstein bangun lagi nggak mungkin bisa kamunya, Dek!"

Kalimat sok tahu dari sosok kurus yang tiba-tiba muncul di hadapanku membuatku semakin jengkel. Kepalaku sudah berasap karena PR Fisika yang tidak kunjung bisa aku selesaikan karena kepalaku sudah berkunang-kunang duluan setiap kali melihat rumus dan dia menambah pusingku dengan kalimat sok tahunya.

Terkadang aku benar-benar menyesal kenapa dengan otakku yang pas-pasan ini aku justru masuk ke IPA sementara hal yang paling aku kuasai hanya matematika itupun masalah menghitung uang, bukan angka apalagi menyangkut rumus seperti yang aku hadapi sekarang.

Andaikan saja aku tidak masuk jurusan memusingkan ini, aku pasti tidak akan di sibukkan dengan jadwal les yang padat dan tidak menambah kadar kepintaran otakku.

"Ya sudah kalau Mas pinter nih kerjain aja..." Tidak ingin berdebat dan ingin tahu sepintar apa dirinya aku menyorongkan bukuku kepadanya, tidak lupa juga cibiran meremehkan aku sunggingkan kepada sosok kurus berkacamata dan sepucat vampire tersebut.

Hiiiss, si Nerd ini mau unjuk gigi rupanya, batinku dalam hati.

Seolah tidak terpengaruh dengan kalimat ketusku barusan, si jangkung yang tidak aku ketahui namanya ini tersenyum kecil menanggapiku, tidak memedulikan aku yang memasang wajah tidak ramah, dia mulai berbicara sembari mencorat-coret buku yang aku miliki, membedah soal yang membuatku nyaris muntaber tersebut dan mengajarkanku cara menggunakan rumus dengan cara yang mudah, aku ingin mengabaikannya karena masih jengkel mendapati dia yang sok kenal, tapi penjelasan runut dan sederhana yang dia katakan jauh lebih mudah masuk ke dalam telingaku dari pada para guru dan mentor, hingga tanpa aku sadari aku larut dalam dunia yang di ciptakan si kacamata.

"Coba kerjakan soal bawahnya. Pahami rumusnya pakai cara yang aku ajarin, angka dalam soal boleh berubah tapi rumus matematika itu nggak akan berubah, kamu cuma perlu pahami dia dan kamu akan mudah mengerti, Dek."

Perintah yang di berikan oleh pria ini membuatku manggut-manggut, kontras sekali sikapku barusan dengan beberapa saat yang lalu.

Mencoba menerapkan apa yang di katakan oleh pria di sampingku ini aku melakukannya, walau dengan susah payah memeras otakku dan sesekali di koreksi olehnya, tidak aku sangka satu soal yang sebelumnya membuatku ingin menangis bisa aku selesaikan kurang dari 10menit.

"Nah, bener, kan?! Akhirnya!!" Satu pencapaian yang membuatku memekik bahagia penuh kepuasan bisa menaklukan hal sulit yang menjadi musuh terbesarku yang bernama fisika.

Senyuman mengembang di bibirku, rasa senang yang aku rasakan sama seperti saat mendapatkan bonus SMS gratis ke semua operator tanpa harus membeli paketan yang akan menguras pulsa pelajar setengah kere sepertiku.

Rasa bahagia yang akhirnya membuatku mengubah raut wajahku pada sosok berkacamata di hadapanku, jika sebelumnya aku memasang wajah ketus maka aku mengulas senyum tulus sarat terimakasih kepadanya.

Jika biasanya para lelaki yang akan terpesona pada diriku, maka sekarang aku yang di buat terpaku saat mendapatkan senyuman di wajahnya yang tirus.

Senyuman yang membuat jantungku mendadak berdegup lebih kencang. Bukan hanya senyuman yang membuat perasaan asing tumbuh di hatiku, saat tangan tersebut terulur, aku merasakan aliran listrik menyenangkan mengaliri seluruh tubuhku.

"Kenalin Dek, namaku Bara."

Bara, itu namanya. Satu pertemuan klasik yang bagi sebagian orang membosankan, tapi sangat membekas untuk seorang Sahara. Pertemuan pertama yang tidak akan aku lupakan untuk selamanya.

***

3 Desember, 9 tahun yang lalu

"Masmu nggak jemput, Dek?"

Aku yang sudah berulangkali menelepon Mas Huda hanya bisa mengalihkan pandanganku dengan pasrah kepada sosok jangkung yang ada di sebelahku.

"Nggak ada jawab, Mas Bara. Mana Ayah pergi hari ini ke Semarang buat setoran." Aku benar-benar ingin menangis sekarang ini, hari sudah mulai sore dan tidak ada yang menjemputku padahal tempat bimbel sudah mulai sepi.

Sudah pasti Mas Huda kalau nggak lupa ya pasti dia ada tugas di kampusnya. Sebenarnya aku bisa saja naik angkot untuk pulang, tapi aku ini orangnya terlalu Cemen naik kendaraan umum karena sudah terbiasa di antar jemput Ayah atau Mas Huda, tentu saja hal ini membuatku kelabakan sekarang.

Aku melirik Mas Bara, sosoknya yang begitu akrab denganku semenjak pertemuan pertama kami di mana dia mengajarkanku kini melirik jam tangannya dan mendesah pelan. Salah satu kebiasaannya yang kini aku hafal saat dia sedang gelisah. Pertemuan kami di tempat bimbel membuat kami sering menghabiskan waktu untuk sekedar berbicara di sela waktu yang sempit.
Di bandingkan dengan teman bimbelku yang lain, sosok yang sering di panggil culun oleh rekan satu angkatannya ini adalah orang yang paling bisa membuatku nyaman.
Mas Bara bukan tipe lelaki caper dan sok yang sering kali mendekatiku, dia juga bukan tipe orang yang suka menggurui apalagi sok pintar, hal itu yang membuatku justru betah berlama-lama dengannya.
Di mataku damage seorang Mas Bara justru saat lelaki itu sedang berpikir keras memecahkan setiap soal.

"Mas anterin saja gimana, dek? Sudah sore loh ini?" Penawaran dari Mas Bara membuatku tersentak, tidak langsung mengiyakan aku menatap bergantian antara Mas Bara dan motor trailnya yang kini terparkir sendirian di antara motor para staf yang membuatku sedikit ngeri karena terlihat tinggi seperti belalang sembah. Terbiasa naik motor Scoopy Mas Huda atau Supra milik Ayah membuatku berpikir ulang beberapa kali. Namun seolah melihat kengerian di wajahku Mas Bara justru tertawa kecil. "Tenang saja, aman kok naik motorku. Di jamin pengalaman pertama sensasinya nggak akan di lupa."

Terhipnotis dengan kata-kata pria kurus berkacamata ini aku mengangguk mengiyakan, dan seperti mantera yang amat mujarab, semua yang dia katakan memang benar aku rasakan.

Motor yang terasa lebih tinggi dari motor lain yang melintas melewati kami ini melaju kencang menembus angin dengan cara anggun yang menyenangkan. Tidak aku sangka sosok Mas Bara yang aku lihat lebih kurus dari rekannya bisa begitu handal mengendalikan motor yang begitu gagah ini.

Meliuk, menembus keramaian, membelah angin dengan cara yang begitu menyenangkan. Setiap hari aku naik motor, mobil milik Ayah sangat jarang di gunakan, tapi bersama dengan Mas Bara aku menemukan sensasi yang berbeda saat semilir angin mengusap pipiku perlahan dan menyapa tanganku dengan lembutnya.

"Sudah aku bilang bukan, naik motorku sensasinya berbeda!"

Seruan penuh percaya diri Mas Bara saat aku merentangkan sebelah tanganku membuatku tersenyum sama seperti dirinya. Aku tidak ingin menjawab namun dalam hati aku bersuara keras.

"Dan sensasi menyenangkan ini karena kamu, Mas Bara!"

Bukan PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang