23

1.9K 379 8
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ara sama Barat udah komplet on playbook dan karyakarsa ya, yang mau baca bisa kesana 😁

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ara sama Barat udah komplet on playbook dan karyakarsa ya, yang mau baca bisa kesana 😁

Ikutin juga kisah Zakia-Rayyan-Tasya di bukan wanita kedua ya.
Update setiap hari.
Happy reading semuanya

"Percaya sama Mas, Dek. Fisik Mas boleh berubah tapi hati Mas tetap sama, di sana hanya ada nama Sahara Syahab dari dulu hingga detik ini.”

Bohong jika aku mengatakan aku tidak tersipu mendengar ungkapan Mas Barat barusan, kalimat manis yang terucap dengan begitu ringannya sukses membuatku salah tingkah dan mengundang tawanya.
Mungkin jika aku tidak sedang marah-marah beberapa saat lalu Mas Barat tentu tidak akan melewatkan kesempatan untuk menggodaku, tapi syukurlah dia dalam kondisi waras dengan berbicara hal yang lebih penting.
"Jadi baiknya kita mulai dari mana pembicaraan kita?"

Pertanyaan Mas Barat membuat mataku terbuka dan seketika netraku menangkap seraut wajah tampan yang kini menatapku dengan pandangan lekat seolah dia takut jika dia berkedip dia akan kehilangan diriku dari hadapannya.
Perlahan aku melepaskan pelukannya walau terasa begitu nyaman, aku harus mengeluarkan segala tanya yang ada di kepalaku sebelum aku pusing setengah mati karena berasumsi sendiri.

Tidak ingin membuang waktu dengan menjadi orang bodoh dengan lidah gagu aku buru-buru menjawab. "Kenapa Mas Barat ngilang gitu saja?"

Keterkejutan nampak jelas di wajah Mas Barat saat aku langsung menodongnya dengan pertanyaan tanpa basa-basi sama sekali, namun hanya sedetik keterkejutan itu karena selanjutnya dia menjawab dengan begitu tenang. Khas seorang Barat Soetanto sekali.

"Karena aku gagal masuk Akmil dan menjadi Perwira seperti yang pernah aku janjikan padamu dulu, Dek."

Aku ternganga, benar-benar tidak menyangka alasan Mas Barat seklise itu, ayolah, sampai di detik dia melamarku, aku bahkan tidak tahu dalam tentara ada jenjang kariernya yang bertingkat, bahkan aku tidak paham apa bedanya Bintara dan Perwira juga Sersan dan Letnan, lalu alasannya mendadak hilang kontak denganku adalah karena dia gagal masuk Akmil dan menjadi Perwira.

Ayolah, aku sudah menyiapkan diri untuk mendengar jika alasannya menghilang tiba-tiba karena dia kecantol cewek lain yang lebih cantik, anak atasan atau komandannya mungkin, namun ini?

Sungguh aku ingin berguling-guling nista sekarang sembari memukulinya agar otaknya kembali benar, tapi mendapati raut wajah penuh keseriusan pria di hadapanku membuatku menutup mulut dan mengalah demi mendengar apa penjelasannya lebih lanjut.

"Aku ngerasa gagal waktu itu, Dek. aku ngerasa minder nggak bisa nepatin janjiku ke kamu. Aku pamit kepadamu untuk mengejar mimpi menjadi seorang Perwira, namun nyatanya aku gagal dan hanya bisa lolos dari seleksi Bintara. Aku malu."

Aku memijit pelipisku perlahan, rasanya pening jika memikirkan para pria dan harga dirinya yang sulit aku mengerti, sama sulitnya seperti para pria yang tidak akan pernah mengerti bagaimana indahnya sepatu dan tas mahal untuk kaum hawa yang tidak cukup satu atau dua.

"Aku bahkan nggak tahu apa itu Perwira dan Bintara sampai seorang Barat Soetanto datang lamar aku, Mas. Bisa-bisanya kamu minder karena hal itu." Gumamku pelan, aku gagal menahan mulutku untuk tidak berkomentar saking gemasnya aku terhadapnya.

Kekeh tawa terdengar darinya yang sekarang menyandarkan kepalanya di bahuku, bukan hanya menyandarkan kepalanya di sana, tangan besar yang mungkin akan membuat Mas Huda pingsan jika tidak sengaja kena tampol tersebut kini memeluk kedua pinggangku dengan begitu posesif.

Anehnya jika biasanya aku tidak akan segan mendorong atau menghajar siapapun yang berani menyentuhku sekarang aku justru membiarkannya memelukku yang begitu kecil di dalam dekapan tubuhnya yang besar.

"Waktu itu aku masih seorang Barat yang mikirin tentang harga diri dan segala hal yang di sebut gengsi di atas segalanya, Dek. Aku ngerasa gagal dan kehilangan kepercayaan diri, itulah sebabnya saat ponselku hilang saat aku baru saja mengetahui aku lolos seleksi Bintara aku membiarkan begitu saja sama sekali tidak mengabarimu." Nada sendu yang begitu kental terdengar dari Mas Barat saat dia menceritakan hal ini membuatku turut merasakan bagaimana putus asanya dia saat itu. "Aku malu mengatakan padamu jika aku gagal dan hanya bisa menjadi seorang Bintara, katakan aku naif, namun saat gagal itu aku berjanji pada diriku sendiri Dek walau aku hanya lolos Bintara setidaknya aku harus menjadi Bintara yang hebat, aku melepaskan dirimu dan menitipkan pada Tuhan karena rencana yang aku susun berantakan. Aku ingin kembali padamu saat akhirnya aku sudah berhasil seperti yang aku inginkan walau itu artinya aku harus berjuang bukan satu dua tahun untuk membuktikan."

Di tengah suasana hening rumah dinas Mas Barat suaranya saat bercerita terdengar begitu tersekat yang menyiratkan betapa gagalnya dia masuk Akmil seperti yang dia harapkan begitu menyakitinya.

"Tapi saat aku akhirnya bisa bertugas di sini, aku justru menemukan kamu sudah tidak sendirian lagi. Kembali lagi, aku yang terlalu naif Dek dengan ngira kamu tetap nunggu aku seperti yang pernah aku minta dulu, aku lupa perempuan mana yang rela menghabiskan waktu 8 tahun tanpa ada kabar sama sekali. Aku bahkan sempat merasa konyol dengan cara berjuangku yang menitipkanmu pada Tuhan di setiap doa yang aku sematkan dalam sujudku."

Aku merenggangkan pelukannya, memaksanya untuk menatapku, wajahnya boleh saja garang dengan postur tubuh yang tinggi besar, tapi di hadapanku sekarang Mas Barat seperti anak kucing yang sedang memelas.

"Kenapa kamu nggak langsung nemuin aku dan bilang kalau kamu kembali, Mas?"

Bukan PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang