Lamaran II

2.2K 477 12
                                    

"Ra, ayo turun. Tapi tolong jangan kaget, ya!"

Aku pandangi Kakak iparku ini lamat-lamat, meneliti bagaimana mimik wajahnya yang kini nampak gelisah lengkap dengan bulir keringat yang membasahi kulit kuning langsatnya, bukan hanya Mbak Dea yang nampak gugup dan gelisah, namun suara ribut-ribut di luar sana semakin membuat jantungku tidak karuan.

Jika tadi jantungku berdetak kencang karena gugup dan euforia bahagia, sekarang aku justru merasakan sebaliknya aku benar-benar takut sesuatu yang buruk dan memalukan terjadi pada hari bahagiaku ini. Aku tidak bisa berpikiran positif sama sekali, yang ada aku justru merasa jika keributan yang terjadi sekarang adalah sesuatu yang akan menyakitiku.

Ibu, aku ingin menangis, kenapa mendadak aku takut pada apa yang terjadi di depan sana.

Apalagi Mbak Dea kini justru menangkup wajahku, wajahnya yang tadi berbinar bahagia justru sekarang menampakkan mendung yang bergelayut, coba katakan bagaimana aku bisa tidak takut jika Kakak iparku saja begitu sendu.

"Apapun yang terjadi, masih ada kita ya, Dek. Ayah, Ibu, Mas Huda, Mbak, bahkan keluarga Mbak sayang sama kamu."

Ayolah, Kata-kata apa yang di keluarkan Mbakku ipar ini, tidak ingin memupuk rasa parnoku, aku menggeleng keras, mensugestikan pikiranku jika tidak ada yang perlu aku khawatirkan. Sembari tersenyum aku meraih tangan Mbak Dea yang ada di wajahku, "aku sudah cantik belum, Mbak?"

Sudut air mata menggenang di mata indah milik Kakak Iparku sebelum mengangguk, "kamu cantik banget, Ra. Cantik banget." Tukasnya tegas. "Ayo keluar."

Mengangguk aku mengiyakan Kakak iparku yang kini membimbingku keluar kamar, rumah orangtuaku tidak besar, hanya rumah dua lantai karena luas tanah yang tidak lebar. Setiap tangga yang aku tapaki untuk turun, aku merapalkan doa, apapun yang terjadi, semoga itu yang terbaik, dan apapun itu, semoga hal tersebut tidak menyakiti atau mengecewakan orangtuaku.

Aku tidak mengharapkan keributan yang aku dengar adalah salah satu kejutan manis dari Mas Tara, aku pun sudah menyiapkan hati jika ada sesuatu yang buruk terjadi, namun tetap saja melihat Ibu menangis tersedu-sedu di bahu Ayah sementara Om Ridwan, Ayahnya Mas Tara dan juga Tante Wiwit menunduk lesu di antara banyaknya tamu yang beliau bawa dan para tetanggaku yang di undang untuk menyaksikan hari bahagiaku, hatiku tetap saja hancur berkeping-keping.

Ya, sesuatu yang buruk terjadi. Terlebih saat pandangan iba di tujukan padaku waktu mereka melihat aku menuruni tangga. Kini benakku bertanya-tanya, hal buruk apa yang sudah terjadi? Apa Mas Tara kecelakaan, jika iya mana mungkin Ayah dan Ibunya masih di sini, dan saat jawaban paling memungkinkan sudah bertengger di kepalaku, mendadak hatiku serasa berlubang, sebongkah besar hati yang sebelumnya penuh dengan nama Uttara Soetanto kini seolah terangkat hilang meninggalkan bekas yang menganga.

Sungguh tidak bisa aku jelaskan dengan kata-kata bagaimana perasaanku sekarang, andaikan semua yang aku pikirkan benar terjadi.

Aku menoleh pada Mbak Dea yang menatapku masih dengan pandangan yang sama. Seulas senyum berusaha aku tampilkan padanya, hal yang terasa sia-sia karena pasti hanya terlihat semakin menyedihkan. Aku ingin terlihat kuat menghadapi apapun yang terjadi, tapi tetap saja pandangan memilukan yang aku dapatkan.

"Saya harus gimana ke Sahara, Pak Ridwan? Salah apa Sahara sampai Uttara tega sekali sama putri bungsu saya."

Wajahku seketika pias mendengar nada sarat kesakitan Ayah di sela tangis Ibu yang teredam, hanya sepenggal kalimat tersebut namun aku bisa segera membaca semuanya.

Yah, skenario paling buruk di kepalaku benar terjadi. Aku di tinggalkan di detik terakhir sebelum lamaran. Hari di mana seharusnya menjadi hari paling bahagia di dalam hidupku berubah menjadi hari malapetaka.

"Saya benar-benar minta maaf Pak Ali, saya juga tidak menyangka Uttara bisa seperti ini, tadi pagi dia cuma pamit buat keluar sebentar menenangkan diri, tapi...... "

Kalimat Om Ridwan terhenti saat mendapati aku kini tiba di belakang kedua orangtuaku. Tatapan penuh penyesalan dan permohonan maaf terlihat di wajah mantan ASN yang berprofesi sebagai guru tersebut. Aku hancur, aku ingin menangis meraung-raung, namun aku tidak bisa menambahkan luka yang semakin banyak untuk kedua orangtuaku yang sama hancur berantakannya.

Bukannya marah aku justru tersenyum, merangkul ibuku yang terkejut dengan hadirku. "Sudah, Bu. Jangan nangis, jangan nangisin seseorang yang nggak cukup berharga buat air mata Ibu."

Bukannya mereda tangis Ibu justru semakin mengeras, beliau menangis sesenggukan karena seharusnya aku yang kini di tenangkan oleh beliau, bukannya aku yang menguatkan sementara di sini akulah yang di tinggalkan. "Ya Allah, Nduk. Salah apa kita Nduk sampai kita di permalukan kayak gini, Uttara, dia benar-benar ngelempar kotoran ke muka kita. Ya Allah, Nduk."

Aku memeluk Ibu semakin kuat, tidak ingin beliau meracau semakin parah, tapi hati orangtua mana yang sanggup anaknya di permalukan seperti ini.

"Kita nggak pernah minta Uttara buat lamar kamu, dia sendiri yang datang dan bilang buat kita nyiapin semua hari ini, tapi lihat apa yang sudah dia lakuin ke kita, Nduk. Lihat apa yang sudah dia lakuin ke kamu. Ya Allah, anak kesayangan Ibu"

Hancur, benar-benar hancur berkeping-keping hatiku mendengar tangis lirih Ibu saat beliau mengusap wajahku, selama ini aku selalu sepenuh hati menjaga hati beliau, tidak pernah aku mengecewakan mereka, dan sekarang Mas Tara yang baru masuk dua tahun dalam hidupku justru merusaknya sehebat ini.

"Maafin saya, terutama Uttara, Bu Ali." Kembali untuk kesekian kalinya Om Ridwan menundukkan kepalanya, sungguh hatiku semakin perih, Mas Tara bukan hanya melukai keluargaku, tapi juga keluarganya sendiri, entah apa yang ada di otaknya karena ulahnya kini Ayah dan Ibunya bahkan rela menundukkan kepalanya meminta maaf atas kesalahannya. "Maaf, saya benar-benar minya maaf!

" Maaf, Pak Ridwan bilang?" Tidak aku sangka, ibuku yang merupakan seorang yang lemah lembut kini menepis Om Ridwan dengan kasar, luka telah membangkitkan amarah yang sangat jarang Ibu perlihatkan. "Semudah itu Bapak meminta maaf, sampean pikir maaf bisa mengembalikan keadaan? Memangnya maaf bisa membuat harga diri anak saya yang di injak-injak dan di permalukan oleh anak Bapak bisa kembali? Anak saya tidak melakukan kesalahan apapun, tapi dia di tinggalkan anak Bapak begitu saja! Semua orang akan berpikiran buruk tentang Ara, Pak."

Kedua orangtua yang sudah mulai senja di hadapanku kini menatap kami terpekur, malu dan bersalah karena kelakuan putra mereka, hingga aku tidak tahu di sebut musibah atau anugerah saat sosok serupa Mas Tara yang tidak pernah aku kenali datang dengan tergesa walau langkahnya mantap penuh percaya diri.

Aku sama sekali tidak mengenalinya, tahu namanya saja tidak, tapi saat dia tiba tepat di hadapanku dan orangtuaku, sebuah cincin dalam kotak beludru merah terarah pada kami, seolah tidak melihat wajahku yang kebingungan, dia meraih tangan Ayah dan Ibu yang juga membeku dengan kehadirannya yang tidak kami undang.

"Perkenalkan, saya Barat Soetanto, Pak, Bu."

Haaah, tunggu dulu! Soetanto?

"Perkenankan saya meminta Putri Bapak dan Ibu untuk menjadi pendamping hidup saya ya, Pak, Bu. Saya berjanji segenap jiwa raga saya, saya tidak akan mengecewakannya seperti yang di lakukan oleh Kakak saya."

Bukan PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang