13 : sebuah permohonan

1.8K 456 30
                                    

"Jadi, tebakanku barusan benar?"

Suara dari Mas Barat mengejutkanku, menarikku dari bayangan seorang yang sudah lama aku lupa dan membawaku untuk kembali menatapnya. Tidak, aku menggelengkan kepalaku pelan, Mas Barat bukan dia , dia sangat jauh berbeda dengan Mas Barat yang ada di hadapanku.

Sosoknya yang kurus, berkulit putih pucat dengan kacamata yang membingkai matanya sangat jauh berbeda dengan sosok tegap Mas Barat yang mata dan pendengarannya setajam elang lengkap dengan kulit kecoklatan khas seorang yang lebih sering terbakar sinar matahari, antara Mas Barat dan dia sangat berbeda bagai langit dan bumi, lalu bagaimana bisa aku berpikiran jika Mas Barat mungkin saja dia yang sudah pergi meninggalkanku tanpa kabar sama sekali?

Jika ada satu hal yang sama dari mereka berdua hanyalah selera motor mereka, alih-alih menyukai motor dengan tipe sport adopsi motoGP, mereka justru menyukai motor trail untuk keseharian.

"Tebakan apa?"

Suara helaan nafas sarat akan kegusaran terdengar dari Mas Barat, untuk pertama kalinya aku melihatnya gelisah, sangat jauh berbeda dengan sikap datarnya beberapa saat lalu di mana Pak Anton bisa pergi dengan bersungut-sungut saking jengkelnya.

"Atasanmu itu, dia pernah menyukaimu?"

Ooohhh, itu maksudnya, arti dari kegusarannya, pria di hadapanku ini sedang cemburu rupanya, "iya, dia mengejarku seperti orang gila. Nggak tahu apa yang dia lihat dari diriku sampai dia bisa segila itu. Mungkin saja dia nggak terima seorang petinggi sepertinya di tolak kacung sepertiku." Jawabku acuh, tanpa ada yang aku tutupi, tanpa harus aku jelaskan pasti dia sendiri bisa menebak.

Mas Barat membuang muka, namun dari geraman tertahan dan tangannya yang terkepal membuatku tahu jika dia sedang kepalang kesal, hal yang membuatku bertanya dalam hati, secepat itukah rasa tumbuh di dalam hatinya untukku sampai Mas Barat harus sekesal ini, rasanya sangat tidak masuk akal di benakku ada orang mencintai dalam waktu sesingkat ini, sama tidak mungkinnya dengan aku merasa nyaman dekat dengannya yang notabene adalah orang yang baru aku kenal.

Tentu saja sikap Mas Barat ini membuatku keheranan, dan saat akhirnya dia kembali melihatku, suaranya yang berat dengan nada mutlak keluar dari bibirnya.

"Dua bulan dari sekarang kita nikah ya, Dek?!" Haaah, apa dia bilang, nikah dalam waktu dua bulan lagi, ini kenapa sih dia ngebet banget mau ngajak nikah, ini telingaku sedang nggak bermasalah, kan?

"Rasanya aku nggak sanggup lihat kamu di kelilingi banyak laki-laki yang menginginkanmu, nggak cukup bersaing dengan Kakakku, aku juga harus berhadapan dengan managermu dan entah berapa puluh pria lainnya yang nggak aku kenal yang mencoba mendekatimu!"

Aku mengangkat tanganku, memintanya untuk berhenti bersuara, aku akui bersama dengan Mas Barat aku merasakan kenyamanan yang familiar dan begitu aku rindukan, bersamanya dengan segala sikap sederhana namun membahagiakan membuatku kembali terlempar ke masa di mana aku merasakan indah dan manisnya cinta pertama yang kini menjadi kenangan.

Akan tetapi segala hal nyaman yang terasa familiar ini tidak cukup untuk meyakinkan diriku melangkah ke hal serius bernama pernikahan.

Ayolah, berpacaran selama dua tahun saja tidak cukup untuk menjadikan hubunganku dengan Uttara berhasil, lalu pria ini, kurun waktu kurang dari satu bulan dia sudah memaksaku untuk menikah dua bulan lagi.

Lelucon macam apa yang tengah di mainkan oleh Mas Barat.

"Menikah sekali seumur hidup, Mas Barat. Aku setuju saat kamu bilang kamu memperkenalkan dirimu agar aku menerimamu. Tapi menikah secepat waktu yang kamu usulkan, aku masih cukup waras dengan menolaknya." Aku beringsut mundur, menjauh darinya, "kalau kamu lupa, aku baru saja di tinggalkan oleh Kakakmu, dan kamu adalah orang asing untukku. Jadi buang jauh-jauh harapanmu untuk menikahiku dua bulan lagi."

Tatapan mata hangat yang sebelumnya menatapku tajam kini berubah menjadi sendu, ada kilatan luka di dalam tatapannya seolah apa yang aku katakan melukainya. Terlebih saat aku memperlebar jarak yang sebelumnya begitu dekat di antara kami.

Senyuman lebar yang tadi tersungging di bibir kami berdua kini lenyap hilang tidak berbekas. Genggaman hangat yang tadi membuat dadaku membuncah dengan perasaan menyenangkan kini menghilang di gantikan dengan rasa dingin yamg tidak nyaman.

Aku yang berkata sedemikian rupa pada Mas Barat, tapi saat melihat tatapan kecewanya sekarang aku juga turut merasakan sakitnya.

Ya Tuhan, kenapa dengan seorang yang baru datang ke dalam hidupku, dia berpengaruh begitu besar untukku? Kenapa aku tidak bisa mengacuhkan Mas Barat seperti aku mengacuhkan Mas Tara? Biasanya aku akan dengan mudah membalikkan badan tidak ingin berbicara dengan siapapun yang sudah membuatku marah, tapi Mas Barat, dia membuatku melewati batas yang sudah aku tentukan sendiri.

Kedua tanganku terkepal, menguatkan diriku untuk menyelesaikan kalimat agar dia berhenti memaksakan keinginannya menikahiku secepat ini.

"Jangan memaksakan keputusan Mas Barat. Orangtuaku memang merestuimu, aku pun menerima lamaranmu, tapi bukan berarti kita harus terburu-buru menikah seperti yang baru saja kamu katakan, apalagi alasanmu hanyalah cemburu pada orang yang sudah meninggalkanku dan orang yang tidak mungkin aku sukai seperti Managerku barusan." Aku menghela nafas panjang untuk kedua kalinya, "seharusnya kamu nggak maksa aku kayak gini, Mas. Seharusnya kamu tetap nepatin ucapanmu untuk mengenalkan dirimu lebih jauh kepadaku seperti janjimu kemarin, bukan malah kayak gini."

"...........…"

"Tindakanmu yang serba terburu-buru ini yang bikin aku takut. Kamu begitu menginginkanku sekarang ini, dan aku takut ini semua cuma obsesi dan penasaranmu saja, bukan tidak mungkin mungkin satu waktu nanti kamu membuangku begitu saja saat akhirnya kamu bosan setelah mendapatkan apa yang kamu inginkan, Mas."

Tidak ada yang berubah di wajah Mas Barat yang datar, tatapan sendunya masih terlihat dan itu sangat menyakitiku saat aku selesai mengatakan apa yang menjadi alasanku menolak dengan tegas keinginannya menikah dua bulan lagi, bahkan dia tidak membuka suara apapun saat kembali mengenakan helmnya. Diamnya Mas Barat membuatku merasa sedikit bersalah, tapi bagaimana lagi, aku tidak ingin terluka untuk kesekian kalinya karena menaruh harapan terlalu besar pada seseorang yang sudah berhasil membuatku nyaman.

Kisahku dengan Mas Tara di tutup paksa dengan cara yang tidak mengenakan dan aku tidak ingin memulai lembar baru dengan Mas Barat secara tergesa-gesa, aku tidak ingin dia di pandang orang lain hanya sebagai pengganti, aku ingin mengenalnya dengan baik dan jatuh cinta dengannya secara perlahan, bukan terpaksa. Sikap nyaman yang aku rasakan bersamanya sudah menjadi modal semuanya akan berhasil, namun cemburu dan paksaannya barusan justru membuatku yang hendak maju selangkah mendekat kepadanya terpaksa mundur beberapa langkah kembali menjauh.

Aku pikir dia marah dan akan meninggalkanku begitu saja mendengar semua perkataan ketusku barusan, tapi aku keliru, karena apa yang dia katakan justru menghantamku dengan telak.

"Mas kira saat kamu berbicara dengan Atasanmu tentang kamu yang mengenal Mas lebih dahulu karena kamu sudah mengingat siapa aku, Dek."

"..........."

"Ada berapa Bara di dalam hidupmu sampai begitu sulit untuk mengingatnya? Atau memang tidak pernah ada Bara yang pernah singgah hingga kamu tidak mengenalinya."

"............"

"Aku tidak terburu-buru, aku justru terlambat sangat lama sampai akhirnya sekarang kamu lupa."

Tangan besar dengan jam tangan sport tersebut terulur, bukan jam tangan mahal seperti milik Mas Tara, namun terlihat begitu serasi di kenakan oleh Mas Barat, mengusap rambutku dengan penuh kelembutan.

"Tolong ingat aku, Dek. Rasanya aku nggak sanggup harus memperkenalkan diri sekali lagi. Aku nggak setangguh yang kamu kira."

Bukan PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang