02. Harapan

2.8K 385 882
                                    

Aku harap vote dan komen gak akan pernah kalian lupain😊

Happy Reading❤

📌

Vote dulu ya;)

Vote dulu ya;)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°°°°

"Ada tawa yang hilang, ada senyuman yang hampir punah, ada harapan yang kian lama kian pudar, hingga pada akhirnya mati."

Jovan tidak ingat jelas kapan waktunya dia pernah membaca kalimat itu. Yang dia ingat hanya, waktu itu di gramedia dia mengelilingi jejeran rak buku lalu tanpa sengaja menemukan kalimat itu pada sebuah sampul novel cukup tebal berwarna hitam pekat dengan gambar ilustrasi orang yang seolah penuh akan tekanan.

Kala itu gak pernah sedikit pun Jovan terpikirkan kalau pada akhirnya kata-kata itu berakhir sangat cocok untuk dirinya saat ini, dan entah kenapa tiba-tiba saja dia sedikit menyesal karena tidak membeli bukunya saat itu.

Harapan?

Jovanka bahkan sudah lupa apa itu artinya sebuah harapan atau seperti apa rasanya berharap. Setelah banyak dan sudah berkali-kali harapan Jovan dibuat kandas oleh keadaan. Setelah 3 tahun terakhir juga Jovan berjuang keras untuk kesembuhan, mendengar apa kata dokter bahwa masih ada harapan untuk matanya bisa pulih kembali. Semua usaha Jovan lakukan, mulai dari periksa rutin, terapi mata yang disarankan dokter, bahkan sampai pada pengobatan tradisional pun sudah Jovan coba. Nahas, semuanya masih sama tidak ada perubahan.

Padahal awal-awal penglihatan Jovanka hanya sebatas samar-samar memasuki buram, dimana dia pikir ini akan membaik seiring berjalannya pengobatan rutin. Tetapi alih-alih membaik, Jovan merasa semakin kesini justru semakin gelap, kelam. Awalnya Jovan takut, karena kegelapan menghampirinya tanpa permisi. Jovan bahkan tidak bisa lagi merasakan adanya cahaya biarpun itu hanya dari ponselnya. Jovan menyerah, nyatanya pengobatan tidak membawa pengaruh apa-apa. Lalu dari hari itu, Jovanka enggan dan mulai berhenti melakukan pengobatan rutin. Biarpun tiap kali bunda masih sering memaksa, tapi mentah-mentah Jovan akan menolak.

Sementara bagian hebatnya, kesedihan Jovan sedikit-sedikit berangsur hilang berganti menjadi ikhlas yang sudah seharusnya. Setiap saat pelukan bunda selalu menyertai, kala Jovan lagi dan lagi berakhir menyalahkan keadaan. Hanya pelukan bunda, sebab sehancur apapun dia bunda adalah orang pertama kali yang akan menenangkan juga meyakinkan Jovan. Terutama setiap kali Jovanka bertanya.

"Bund. Apa Jovan ini cacat?"

Lalu jawaban dari bunda selalu gelengan kecil, sembari mengusap-usap punggung milik Jovan. Kemudian adem-adem bunda menjawab. "Enggak, Jovan itu gak cacat. Jovan cuman lagi sakit."

Dan entah bagaimana bisa Jovan merasa lebih tenang setiap kali bunda berkata begitu, nyatanya bunda itu satu-satunya orang yang bisa menuntun Jovanka untuk keluar dari keterpurukan, bunda juga orang pertama yang bisa bujuk Jovan untuk keluar kamar kala dia merenung terus dalam kegelapan seorang diri tanpa arah, disitu bunda kembali datang. Bahkan yang pada saat itu keadaan di luar sedang hujan deras, juga suara petir yang memekakan telinga. Suaranya tak terdengar lagi, lenyap terutama ketika bunda berkata.

[✔]Tomorrow•Esok Tak Pernah DatangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang