35. Tidak Ada Pilihan

382 115 263
                                    


Bintang malam katakan padanya
Aku ingin melukis sinarmu di hatinya
Embun pagi katakan padanya
Biar ku dekap erat ia, waktu
dingin membelenggunya

📌

Wajib vote sebelum baca!!

○○》《○○

Pukul setengah delapan malam, di kontrakannya Tomi. Jovan menatap tetes demi tetes air yang membasahi daratan Jakarta dengan tatapan nelangsa. Berkali-kali asap putih mengitari keberadaan mereka karena Tomi si pemilik rumah dan Aheng tengah mengisap penuh kenikmatan sebatang nikotin pada genggaman masing-masing.

Hanya mereka berdua. Jovan bukannya tidak merokok, dia hanya terbilang tidak sesering mereka. Paling butuh rokok kalau memang benar-benar sedang ingin saja, sementara Jibran lebih ke pengguna vape dan kebetulan alat itu sedang tidak dia bawa jadi mau tidak mau keduanya sedari tadi hanya sibuk mengunyah keping perkeping kuaci dari dalam toples.

Sejak sore tadi gerimis memang sudah menguasai cuaca, dan sekarang saat malam mulai merajai waktu, air yang turun perlahan-lahan berubah menjadi deras. Dilengkapi dingin dan segenggam rasa kecewa pada harapan untuk rencana mereka yang belum bertemu akan jalan keluar.

Pikiran Jovan benar-benar dibuat kalang kabut, terutama ketika beberapa jam setelah pertemuan mereka, Tomi bicara.

"Waktu kejadian cctv di sana mati Van, saksi mata juga gak ada. Gue jadi heran?"

"Sama." Aheng yang tengah meneguk sekaleng nestcafe nya tiba-tiba menambahkan, "Anehnya cctv mati pada waktu kejadian doang, sebelum dan selanjutnya semuanya normal."

"Apa gak ada cara lain? Selain dari cctv atau saksi mata?" tanya Jovan, entah kenapa mendengar itu kekesalannya naik sampai ubun-ubun.

Tomi memasang tampang datar sebentar, dilanjut berdecak malas. "Ya lo pikir biasanya yang bisa dijadiin bukti apa lagi? Selain dua itu. Dan juga kita-kita kayaknya masih kurang berpengalaman deh."

"Termasuk tukang nasi goreng di sana?" Jibran menambahkan. Sedetik kemudian mendapat anggukan dari Tomi dan Aheng.

Hingga kini keempatnya hanya bisa terdiam akan fantasinya masing-masing. Kebisuan satu sama lain seakan menyimpulkan, mereka tidak bisa menemukan jalan keluar akan rencana ini. Jadi selain memperhatikan derasnya hujan dan juga mengunyah kuaci, Jovan hanya bisa berkali-kali bertanya pada dirinya sendiri, atau mungkin Jovan juga bertanya pada. Dia.

Sebenarnya sejak jauh-jauh hari dari pada saat Jovan kalang kabut seorang diri mencari si pelaku tabrak larinya Tristan sebelum meminta tolong teman-temannya, ayah sering bicara. Sudah, lupakan saja- Biar tuhan yang membalas- tugas kita sekarang hanya perlu perbesar rasa ikhlas dan perbanyak doa.

Tapi Jovanka tidak serta merta mengiyakan saran dari ayah begitu saja. Bukan karena dia belum bisa menggenggam kata ikhlas untuk melepas kepergiannya Tristan, bukan juga karena ada rasa dendam. Jovan hanya merasa-- rasa bersalahnya pada Tristan berada di ujung puncak tanpa pernah mereda sedikitpun. Ingat akan kejadian di mana dia tidak bisa berbuat apa-apa, dan saat ini Jovan hanya ingin membayar lunas ketidakberdayaan dia di hari-hari sebelumnya, Jovan ingin bertindak sebagaimana kakak yang sesungguhnya. Setidaknya Jovan ingin melindungi Tristan, walau kenyataannya sudah terlambat.

Pada gerimis hujan Jovan hanya bisa berbisik samar, air matanya lolos tanpa di sadari orang-orang di sekelilingnya.

"Tolong kasih tahu kak Jovan, tolong kasih tahu kalau keputusan kakak gak salah kan, dek?"

[✔]Tomorrow•Esok Tak Pernah DatangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang