37. Karma Yang Setimpal

443 130 424
                                    

Kalau harus ku mengingatmu lagi
Aku takkan sanggup dengan yang terjadi pada kita
Jika melupakanmu hal yang mudah
Ini takkan berat, takkan membuat hatiku lelah

Kalah, kuakui aku kalah
Cinta ini pahit dan tak harus memiliki

Jika aku bisa, ku akan kembali
Ku akan merubah takdir cinta yang kupilih
Meskipun tak mungkin, walaupun ku mau
Membawa kamu lewat mesin waktu

-Mesin Waktu-

📌
Wajib vote sebelum baca!!
(Luangkan 1 detiknya untuk klik bintang^^)

○○》《○○

Derasnya rintik hujan mengetuk jendela; bersahutan dengan petir yang hendak sumbang suara dari kejauhan. Di depan sebuah pintu cafe yang terbuat dari kaca, Jovan berdiam diri di sana barang sejenak: sebatas menimang-nimang juga berpikir untuk siapa dirinya berada di sana dan dengan alasan apa? Nyaris tidak dia temukan jawaban pastinya; seandainya Jovan menolak ajakan pertemuan dari nomor asing yang meneleponnya semalam dan meminta untuk bertemu di tempat ini.

Otaknya kebas. Jovan merasa dia tidak punya pilihan lain selain melaksanakan apa yang diperintah, serta rasa penasaran yang malam itu mendominasi, berhasil membuatnya berada di sini.

Suara lonceng berbunyi nyaring tepat Ketika dia membuka pintu dan memantapkan diri untuk benar-benar masuk ke dalam. Sempat menongok-nengok sebentar, lalu lambaian tangan menyadarkannya. Tepat di kursi paling pojok dekat dengan jendela seorang pria dengan usia cukup rentan duduk di sana. Sekali lagi Jovan tidak begitu yakin kalau bapak itu beneran menunggunya. Jas berwarna biru navy dengan sedikit pernak-pernik kemewahan membalut tubuh bapak ini, termasuk jam tangannya yang Jovan yakini berlapis logam emas murni yang harganya tidak terbilang murah.

Jovan turut duduk, bapak kaya raya di hadapannya tersenyum. "Mau pesan kopi?" tawarnya.

Jovan mengangguk mengiyakan, di lanjut si bapak memanggil satu pelayan di sana.

Mulanya mereka saling berdiam diri. Yang ada hanya kebisuan selama menunggu kopi pesanannya Jovan datang dan setelah pelayan menaruh kopi pas sekali di hadapannya, si bapak kaya raya mempersilahkan Jovan untuk minum dulu dengan Gerakan tangannya. Lagi, Jovan hanya menuruti. Kemudian setelah satu tegukan kopi mengalir di kerongkongannya, bapak itu berdeham pelan hingga akhirnya buka suara.

"Begini nak Jovan. Saya yakin kamu pasti mengingat siapa saya." Jovan mengangguk, dia tahu siapa sosok di depannya; juga mengingat bicaranya bapak ini semalam di telepon. Sedetik kemudian tangannya terulur, usah menunggu lama Jovan menjabat tangan yang sudah tidak lagi muda itu.

"Sekali lagi... Saya Wedo Cakara, pemilik yayasan Wedikara juga ayah.... dari Antonius."

Jovan bungkam, kerongkongannya seperti tersendat sesuatu sehingga salivanya susah mengalir. Jantungnya memompa dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Jovan menduga di adegan berikutnya adalah inti dari segalanya, itu artinya dia harus bersiap diri.

Lagi dan lagi Jovan membalasnya dengan sebuah senyuman seakan tidak menunjukan kalau kenyataan sebenarnya berbanding terbalik. "Saya Jovanka pak. alumni mahasiswa universitas Wedikara, juga kakak dari korban dalam kasus penabrakan anak bapak."

Bapak kaya raya tersenyum tanpa menunjukan gelagat cemas atau rasa bersalah, dia mengangguk kecil. "Jadi tujuan saya mengajak nak Jovan untuk bertemu di sini adalah, bagaimana kalau kita buat kesepakatan di luar jalur hukum?"

"Tentang?"

"Negosiasi." Jelasnya. Jovan berkerut kening.

"Alangkah baiknya kalau nak Jovan mencabut atau meringankan tuntutan terhadap anak saya, dan sebagai imbalannya saya akan beri kompensasi. Bagaimana?"

[✔]Tomorrow•Esok Tak Pernah DatangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang