25. Cahaya Yang Padam

644 185 378
                                    

Sebelum lanjut izinkan author menyampaikan isi hatinya dulu🙂🙏

Jujur, aku sedih banget karena masih ada beberapa readers yang gak serius sama cerita ini, tolong ya readers kerja samanya aku bahkan gak akan minta kalian untuk komen di tiap paragraf kok, cukup kalian vote aja itu semangat aku udah tinggi. Sebaliknya kalau vote dari kalian gak serius alias loncat-loncat semangat menulis aku menurun. Tolong hargain aku yang menulis penuh perjuangan ini😭 1 part yang biasanya aku tulis cuman 2-3 hari, sekarang bisa 1 minggu lebih.

Atau kalian boleh gak lihat aku, tapi tolong hargain Tristan sama Jovan. Kalau kalian sayang sama mereka, jangan lupain votenya:).

Aku ucapin makasih banyak banyak buat readers yang gak pernah lupain vote♡

Okee dehh kita lanjut...

📌

Vote dulu yaaa

•••

Masih bersinar namun seperti akan pecah. Potongan kertas di tanganku, bisakah kau melihatnya? Masa depan yang aku impikan.

-paper cuts-

○○》《○○

Tristan tertegun selama beberapa saat sembari menyimpan satu figura di atas nakas di samping tempat tidurnya. Sebuah potret dirinya bersama Aruna, Juna dan Haikal mengenakan seragam kelulusan, lengkap dengan topi toga yang membuat keempatnya terlihat kompak dalam foto itu.

Waktu melesat tanpa terasa hari kelulusan sudah Tristan lalui tiga hari yang lalu, itu artinya kenangan yang sempat terpatri di dalamnya hanya perlu dia kenang sampai nanti. Mungkin akan ada saatnya dia rindu pada suasana kelas, rindu bunyi nyaring bel sekolah, juga rindu waktu-waktu kebersamaan bersama teman-temannya. Suatu waktu dia pernah mendengar kalau katanya, sedekat apapun pertemanan pada akhirnya akan di pisahkan oleh masa depan. Itu memang benar adanya. Tapi biarpun begitu Tristan berharap, semoga setidaknya akan ada lagi waktu dimana dia dan teman-temannya bisa saling meluangkan waktu untuk jumpa. Biar hanya satu minggu sekali, ataupun satu bulan sekali.

Masih soal prinsip, Tristan meyakini dirinya untuk tidak ragu lagi pada pilihannya yang memantapkan untuk memilih DKV (Desain Komunikasi Visual) sebagai jurusan kuliahnya nanti. Dia suka menggambar, dia juga suka fotografi jadi atas dasar suka dan juga saran dari keluarganya, maka Tristan memutuskan untuk menggeluti jurusan itu.

Jarum pendek pada jam di dinding menunjukan tepat pada angka 4, lalu jarum panjangnya menunjuk angka 2. Sudah sore, begitu Tristan melongok ke jendela cakrawala sempurna menguning perlahan-lahan. Sang bagaskara sudah tidak nampak di atas langit sana, entah kemana. Mungkin keberadaannya tersembunyi sebab langit mulai terlihat mendung.

Seharian ini Tristan cukup dibuat lelah rasanya. Karena selain habis diajak muter-muter oleh ayah untuk lihat-lihat kampus di Jakarta dia juga sempatkan untuk mampir ke warung sebatas bantu-bantu ayah di sana, karena hari ini bagiannya bunda libur. Jadi atas inisiatif sendiri juga kebetulan ayah mengajaknya ke sana, maka dari itu Tristan harus bisa setidaknya menyesuaikan. Biarpun cuman angkat-angkat meja dan bangku.

Waktu masih berlalu. Di atas kasur yang spreinya porak poranda, Tristan terlelap dan mulai masuk ke alam mimpi. Rasa lelah hampir membuatnya tak sadar kalau waktu sudah akan memasuki magrib, maka tanpa dasar keinginan Tristan hanya membiarkan matanya memejam begitu saja. Sampai dia lupakan kalau saat ini rumah hanya di huni oleh dirinya dan juga Jovan, sebab beberapa menit yang lalu ayah dan bunda pamit sebentar untuk keluar.

[✔]Tomorrow•Esok Tak Pernah DatangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang