28. Lalu Ending Cerita Seperti Apa Yang Harus Kakak Tulis?

701 143 346
                                    

Bermimpi tak bertemu lagi
Tak sanggup bayangkan sendiri
Tanpamu menjalani hari
Sehari pun sangat berarti

Berjanji berdua s'lamanya
Apakah kita 'kan menyerah?
Menangis kar'na ku tak bisa
Putar kembali waktu

Temani sehari lagi
Kar'na rindu belum selesai
Bisakah sabar sebentar lagi?
Kar'na esok tak mungkin

📌
Wajib vote sebelum baca!!

○○》《○○

Semesta rupanya paham betul kemana ia mesti menghantarkan bahagia, atau sebaliknya kemana ia mesti membawa kelabu berkabut duka. Innalillahi wa Inna Ilaihi Raji'un, mungkin menjadi kalimat pembuka untuk awal di hari ini. Gumpalan awan hitam mulai berkumpul, saling terhubung dengan gemuruh petir di tempat di mana ia layak berperan sekarang ini. Air hujannya mungkin belum tumpah, tapi mendungnya sudah mampu memberi bukti bahwa ia tidak salah sasaran berada di sana.

Pagi ini Anya bertanya-tanya pada dirinya sendiri, kenapa mimpi buruknya belum berakhir?, kenapa jam weker di kamarnya belum berbunyi?, kenapa mamahnya tak membangunkannya? Di saat sorot mata penuh genangan air mata itu menatap lurus tubuh yang terbujur kaku tak berdaya. Rasanya dia ingin berteriak pada dunia atau bertanya pada siapa saja yang bisa menjawab, kenapa takdir begitu kejam?

Perempuan itu menunduk. bahkan lantunan yasin yang tengah ia baca belum sampai pada ayat terakhir. Tapi alih-alih sanggup melanjutkan, Anya hanya membiarkan air matanya menetes lebih banyak membasahi setiap lembarnya yang ia buka.

Di sampingnya ada bunda yang menyender di tembok menghadap tubuh Tristan, dengan pandangan kosong seakan-akan tengah ia cari kesadaran itu. Pagi ini bunda sudah tidak sadarkan diri dua kali, jadi setelah dapat beribu-ribu kalimat iba dan maksud menguatkan dari orang-orang, bunda kembali duduk tak berdaya di samping tubuh anaknya yang tak mampu bergerak lagi.

Melihat bunda seperti itu cukup membuat perasaannya semakin tersayat rasanya, tapi ketika begitu Anya mendapati Jovan duduk di pojok ruangan air matanya kembali menetes deras. Tangisan Jovan memang tidak sederas dirinya, tapi sama seperti melihat Jovan yang dahulu sempat hilang semangatnya, hari ini Anya melihat Jovan juga seperti itu malah mungkin lebih parah lagi. Anya seakan-akan tidak melihat kehidupan pada pria itu, yang dirinya dapati hanya sebuah patung pajangan yang seakan hanya diberi raga tapi tak diberi nyawa.

Sementara di ambang pintu ayah berdiri di sana menyambut siapa pun yang datang dan memberi bela sungkawa. Memberikan senyum paling menyakitkannya setidaknya hanya untuk terlihat tegar, tapi nyatanya akan ada saat di mana lelaki itu lumpuh. Raganya mungkin masih kuat menopang segalanya, tapi perasaannya seringkali membuat dia sebentar-sebentar menitikan air mata. Sebuah senyum yang mengartikan, dia tidak mampu meski dengan segala paksaan.

"Kak." Ayah menghampiri Jovan yang masih membisu dan tak bergerak di pojok ruangan.

"Kita berangkat sekarang ya."

Namun tidak ada respon ataupun jawaban. Ayah berusaha untuk tenang, digenggamnya erat-erat pergelangan tangan Jovan. Pagi itu Ayah merasa seperti mengajak bicara sebuah patung, sebab yang di ajak bicara tak memberi respon apa-apa.

"Jovan dengerin ayah," suara bicara ayah melembut. "Ikhlas ya kak?" dia lalu terisak, sama seperti Jovan tangisan keduanya pecah.

Bicaranya lelaki itu seakan-akan mempertegas kata 'ikhlas' padahal dirinya sendiri susah payah menelan baik-baik kenyataan pahit hari ini. Dalam bayangannya masih tergambar jelas sebuah adegan Tristan dengan seragamnya pamit untuk pergi ke sekolah, masih tergambar jelas juga bagaimana anak itu sering teriak-teriak mencari barangnya yang hilang atau lupa menyimpan. Semuanya dia lihat dalam bayang-bayang semu, dari balik tubuh Tristan yang saat ini bahkan tak mampu lagi memberi pergerakan barang sedikitpun.

[✔]Tomorrow•Esok Tak Pernah DatangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang