19. Jovanka Dan Keputusannya

664 148 751
                                    

Hari-hari kujalani, harap ada yang bermakna
Kembalikanlah senyumku yang pergi
Secepat seperti di lahirkan lagi

Tiada yang meminta seperti ini
Tapi menurutku Tuhan itu baik
Merangkai ceritaku sehebat ini
Tetap menunggu dengan hati yang lapang
Bertahan dalam macamnya alur hidup
Sampai bisa tiba bertemu cahaya

-Usik-

📌

Votenya jangan lupa ya.. selamat membaca💙

○○》《○○

Berita hari ini membahas informasi tentang pohon-pohon tabebuya yang mekar lebih banyak di sepanjang jalan Jakarta Pusat. Keberadaannya memikat banyak orang untuk sebentar menghentikan perjalanannya, hanya untuk mengabadikan keindahannya.

Samar-samar dari kamarnya informasi itu terdengar dari televisi yang dibiarkan menyala tanpa ada yang menonton, sebab Jovan tahu Tristan sedang berada di kamarnya bukan di ruang tengah. Dari balik jendela kamar yang dibiarkan terbuka, Jovan masih kalut mendengarkan. Seolah-olah tengah mencerna apa yang sedang ia dengar. Padahal kenyataannya pikirannya justru dibiarkan terbang ke mana-mana.

Sama seperti orang-orang, dahulu pun Jovan sangat menyukai keindahan tabebuya. Tetap dipandang indah walau terjatuh. Tapi alih-alih ingin menjadi seindah tabebuya, kali ini Jovan lebih menyukai rumput liar yang keberadaannya justru sering kali terabaikan.

Rumput liar, sederhana. Tidak pernah merengek untuk di siram. Selalu tumbuh walau banyak pasang mata tak pernah menganggapnya ada, terus berdiri biar berkali-kali angin kencang meniupnya dan kemarau panjang selalu menderanya. Injakan dari beberapa orang tak mampu membuatnya mati meninggalkan kehidupan ini.

Seperti rumput liar, tidak pernah mengeluh. Kalau jatuh ya bangkit lagi, kalau mati tumbuh lagi.

"Lo emang udah gak bisa lihat dunia kak, tapi setidaknya lo bisa lakuin satu hal..., itu dia. Buat dunia yang akan melihat lo."

Hampir berhari-hari ini Jovanka terus-terusan merenung, terutama kata-kata dari Tristan saat itu berhasil membuat benaknya terus bertanya-tanya kalut diantara dua pilihan. Sejujurnya Jovan ingin mengiyakan tawaran dari Tristan, tapi rasa-rasanya dia masih ragu, sungguh. Mungkin bisa saja Tristan yang menyusun naskahnya sementara dia yang menyusun jalan ceritanya, tapi Jovan takut kalau ceritanya hanya akan berakhir sebagai tulisan tanpa rasa.

Seperti yang dia bilang minggu lalu pada Tristan, kalau menulis juga perlu perasaan. Jovan bahkan sering menangis dalam diam hanya karena masalah dan kesedihan yang dirinya ciptakan, untuk tokoh-tokoh dalam tulisannya. Orang-orang mungkin akan berpikiran aneh, tapi sejujurnya arti menulis bagi seorang Jovanka adalah rasa juga point penting yang selalu menyertai di setiap bait kalimatnya adalah perasaan.

Namun tak bisa mengelak kalau Jovan juga ingin berhasil dalam dunia tulis, rasa-rasanya terlalu sia-sia kalau usaha dia selama ini tidak membuahkan hasil apa-apa. Dari jaman sekolah dasar dulu, buku itu menjadi sesuatu yang sangat Jovan suka terlebih lagi kalau itu buku cerita. Sampai entah pada umur keberapa tahun Jovan punya niat untuk masuk dan giat dalam dunia sastra. Sebab mulai mengikuti jejak-jejak penulis favoritnya. Karena baginya selalu ada sihir tersendiri dalam setiap kata yang dituangkan oleh Boy Candra atau Fiersa besari.

Walaupun jujur Jovan lebih fokus pada proses dari pada hasil, sebab suatu hari ayah pernah bicara begini. "Untuk meraih mimpi itu gak seperti kamu sedang menanjaki sebuah lereng Jovan. Kamu tahu? Semakin lurus dan semakin mulus sebuah lereng, maka potensi terjadinya longsor juga semakin besar."

[✔]Tomorrow•Esok Tak Pernah DatangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang